Solo (ANTARA News) - Kirab "Grebeg Sudiro" menjadi tradisi warga kawasan Sudiroprajan, Solo, menjelang perayaan Tahun Baru China atau Imlek.

Ribuan warga setempat memadati tepi kanan dan kiri jalan di kawasan itu, di Solo, Minggu, untuk menyaksikan tradisi yang melibatkan sekitar 1.200 orang itu.

Mereka menampilkan berbagai atraksi kesenian seperti barongsai, liong, reog, dan kesenian tradisional setempat lainnya.

Peserta kirab juga tampak mengusung lampion berukuran relatif besar berbentuk teko yang dikenal dengan sebutan "Bok Teko".

Seorang tokoh masyarakat Kampung Sudiroprajan, Sri Harjo, mengatakan, "Bok Teko" telah menjadi ikon kampung itu.

Masyarakat kampung itu, katanya, sejak relatif lama mewujudkan pembauran antara warga pribumi, Jawa, dengan keturunan Tionghoa.

"Ada mitos bahwa di Kampung Mijen, Kelurahan Sudiroprajan, tutup teko pemberian Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Pakoe Buwono X, jatuh di jembatan sungai kecil yang melintas kawasan tersebut. Tetapi saat dicari tidak ditemukan. Selanjutnya jembatan itu dinamakan "Bok Teko". Hingga saat ini masih ada beberapa warga yang sering berdoa di tempat itu," katanya.

Ia menjelaskan, teko sebagai simbol masyarakat sedangkan tutup teko sebagai simbol penguasa.

Masyarakat dengan penguasa, katanya, harus bersatu supaya terbangun hidup yang tenteram dan sejahtera. "Jika tidak bersatu, akan terjadi kekacauan," katanya.

"Grebeg Sudiro", katanya, tradisi warga setempat sejak bertahun-tahun, menjelang Imlek.

"Sebelumnya hanya dilakukan di Kampung Sudiroprajan, sekarang diperluas," katanya.

Peserta kirab juga tampak mengusung gunungan berukuran relatif besar yang dibuat dari tatanan kue keranjang. Kue itu biasanya menjadi santapan masyarakat terutama warga keturunan Tionghoa saat Imlek.

Sekitar empat ribu kue keranjang dibagikan kepada warga yang menyaksikan kirab itu.

Pada Sabtu (6/2) malam, warga setempat juga menggelar kirab gunungan hasil bumi dan kirab lampion sedangkan puncak "Grebeg Sudiro" ditandai dengan penyulutan lampion "Bok Teko". (J005/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010