Keanekaragaman hayati Indonesia seperti perpustakaan besar untuk penemuan obat baru
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Masteria Yunovilsa Putra mengatakan Indonesia merupakan perpustakaan besar untuk penemuan obat baru karena memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati yang melimpah.

"Keanekaragaman hayati tumbuhan dan organisme laut Indonesia seperti perpustakaan besar untuk penemuan obat baru," kata Masteria dalam seminar internasional virtual tentang Biodiversitas Indonesia "Mainstreaming Biodiversity Conservation, Bioprospection, and Bioeconomy for Sustainable Livelihood" di Jakarta, Rabu.

Masteria menuturkan biodiversitas Indonesia menyimpan potensi besar untuk penemuan dan pengembangan obat. Diperkirakan 28.000 jenis tumbuhan ada di hutan tropis Indonesia.

Baca juga: Menristek: Ungkap lebih banyak kekayaan biodiversitas Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara mega keanekaragaman hayati di darat, yang menempati posisi kedua setelah Brazil. Indonesia juga memiliki sumber keanekaragaman hayati laut yang kaya.

Masteria menuturkan tanaman telah dimanfaatkan sebagai obat herbal tradisional sejak berabad-abad lalu. Kekayaan keanekaragaman jenis tumbuhan Indonesia yang melimpah memiliki peluang untuk dikembangkan untuk industri farmasi.

Masteria menuturkan lautan, yang mencakup lebih dari 70 persen wilayah Indonesia, merupakan sumber daya yang hampir belum dimanfaatkan untuk penemuan obat baru yang potensial.

Baca juga: Menteri: Pengarusutamaan biodiversitas untuk pembangunan berkelanjutan

Lebih dari 100 senyawa laut telah diisolasi dari organisme laut Indonesia, seperti spons, soft coral, tunicate, alga, dan dilaporkan di lebih dari 70 publikasi

Organisme laut seperti bakteri, jamur, mikro-dan makro-alga, sianobakteri (cyanobacteria) dan invertebrata laut menghasilkan bahan dengan berbagai aktivitas biologis, misalnya antikanker, antibakteri, antivirus.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengklasifikasikan obat tradisional menjadi tiga kelompok, yaitu: jamu tradisional, jamu terstandar dan fitofarmaka.

Tanaman dapat menjadi sumber bahan baku obat seperti untuk penyakit Alzheimer, agen antikanker, obat antivirus, dan obat antimalaria.

Namun, Masteria menuturkan butuh waktu bertahun-tahun dan proses panjang untuk membuat agen terapeutik yang laku secara komersial.

Baca juga: Menristek dorong biodiversitas jadi obat dan energi terbarukan

Selama beberapa dekade terakhir, para peneliti berfokus pada penemuan obat dari obat-obatan herbal atau sumber tumbuhan.

Sebuah studi baru pada tahun 2020 memperkirakan bahwa "median cost" untuk memasukkan obat baru ke pasar adalah 985 juta dolar AS, dan biaya rata-rata (average cost) adalah 1,3 miliar dolar AS.

Dari sekian banyak calon obat, ada satu obat yang akan dipasarkan. Obat tersebut harus melalui lima tahapan yakni penemuan dan skrining (skrining menyeluruh dan validasi target), pengoptimalan (desain obat berbasis kimia/ struktur), ADMET (adsorpsi, distribusi, metrik, ekskresi, studi toksisitas), uji klinis (uji klinis tahap 1, 2 dan 3), persetujuan dan perizinan sebagai obat baru.

Baca juga: LIPI ciptakan kandidat obat herbal perkuat imunitas lawan COVID-19

Profesor dalam bidang Farmasi dan Kimia di Oregon State University, Amerika Serikat, Taifo Mahmud mengatakan sekitar 70 persen antibiotik yang diisolasi pada tahun 1940-an dan 1950-an berasal dari bakteri tanah (actinomycetes).

"Kebanyakan antibiotik yang kita gunakan saat ini adalah antibiotik yang ditemukan pada tahun 1940 an, 1950 an atau 1960 an," ujarnya.

Penemuan dan pengembangan produk alami untuk obat merupakan kegiatan yang melelahkan dan menghabiskan banyak waktu karena proses yang cukup panjang dan dana yang tidak sedikit.

Baca juga: Dewan Riset Nasional dorong inovasi berbasis biodiversitas
 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020