Pangkalpinang (ANTARA News) - Menjelang Tahun Baru Imlek 2561 pada Minggu (14/2), warga Tionghoa Kota Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung (Babel) mengelar sembahyang Dewa dan leluhur dengan menyajikan berbagai makan dan minuman di klenteng dan rumah masing-masing.

"Sehari menjelang Imlek, umat Konghucu melakukan sembahyang dewa dan leluhur dengan menyajikan daging ayam, babi, kue, buah, teh dan arak di klenteng dan rumah masing-masing dengan membakar dupa," ujar Pengurus Klenteng Ketapang, Ashiong, di Pangkalpinang, Sabtu.

Ia mengatakan, Sembahyang Dewa di klenteng - klenteng dengan tujuan untuk mensyukuri nikmat yang telah dilimpahkan dan Sembahyang Leluhur dilakukan di rumah masing-masing untuk mengingat dan mengenang para leluhur, keluarga, famili yang telah meninggal.

"Sembahyang Dewa dan Leluhur sudah tradisi yang harus dilakukan menyambut Tahun Baru Imlek," ujarnya.

Ia menjelaskan, pada malam sebelum tahun baru atau Chu Si Ye, malam seluruh anggota keluarga harus kumpul bersama dan makan Thuan Yen Fan (makan malam sekeluarga), jika ada keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi.

Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen.

Tiga lambang tersebut adalah lambang yang sangat dihormati masyarakat Tionghoa pada zaman kekaisaran dahulu, juga Kiau Se atau pangsit yang bentuknya dibuat mirip dengan uang perak zaman dulu, dan menurut mereka makan Kiau Se akan mendatangkan rejeki, malah di antara pangsit tersebut salah satunya diisi dengan koin.

Bagi yang mendapatkan koin tersebut konon akan mendapatkan rejeki besar, di meja juga disiapkan ikan yang dihias dan akan dimakan yang maknanya Nien nien yeu yi atau setiap tahun ada lebihnya.

Pada hari pertama Sin Nien atau tahun baru, pertama yang mereka lakukan adalah sembayang leluhur bagi yang ada altar di rumah, bagi yang tidak altar akan kelenteng terdekat untuk sembayang mengucapkan terima kasih atas lindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun, setelah itu memberikan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat.

Selain itu bagi anak-anak muda mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main barongsai yang mengandung arti mengusir segala yang jahat dan menyambut segala yang baik.

Banyak pantangan yang tidak dilakukan pada hari tersebut, seperti tidak menyapu, tidak membuang sampah yang katanya akan mengusir rejeki keluar rumah, tidak boleh bertengkar atau mengeluarkan kata-kata fitnah, tidak boleh memecahkan piring atau mangkok pecah.

Namun jika kebetulan secara tidak sengaja piring atau mangkok pecah, untuk penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an yang artinya setiap tahun tetap selamat.

Pada hari kedua tahun baru adalah hue niang cia atau pulang kerumah ibu, hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau angpao (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya, secara tradisi Ang pau atau Fung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua.

Pada hari ketiga, mereka lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas.

Pada hari keempat adalah hari menyambut para dewa untuk kembali kebumi, pada hari tersebut masyarakat keturunan akan ke kelenteng untuk Hi Fuk atau memohon kepada dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rumah rejeki, sesaji biasanya adalah buah-buahan juga ciu cha atau arak. (PK-HDI/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010