Jakarta (ANTARA) - Ketua PP Muhammadiyah yang juga mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas mengatakan setahun pelaksanaan Undang-undang No 19 tahun 2019 tentang Revisi UU KPK menyebabkan lembaga tersebut kehilangan independensinya.

"Setahun UU KPK baru ditandai dengan dihapusnya kata independen, jadi KPK tidak lebih dari aparat pemerintah, pegawai KPK jadi aparatur sipil negara (ASN) seperti pegawai negeri karena pasti terjadi benturan kepentingan politik dan bisnis berselingkuh secara terbuka," kata Busyro dalam diskusi virtual, Senin.

Busyro menyampaikan hal tersebut dalam diskusi "Merekfleksi satu tahun Revisi UU KPK, Mati Surinya Pemberantasan Korupsi" yang diselenggarakan Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

"Terjadi radikalisasi dengan penempatan perwira-perwira tinggi, ada 9 perwira tinggi Polri di KPK, artinya KPK sudah dilumpuhkan tapi masih terus terjadi kooptasi pada era kepemimpinan Pak Firli Bahuri dan pimpinan lain," tambah Busyro.

Baca juga: Akademisi: Saatnya membangun KPK yang baru

UU KPK No 20 tahun 2003 remsi tercatat pada lembaran negara pada 17 Oktober 2019 sebagai UU No 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK. KPK sudah mengidentifikasi 26 hal yang berisiko melemahkan KPK dalam revisi UU KPK tersebut.

"Selain terjadi radikalisasi juga digdaya oligarki bisnis dan politik, pelumpuhan KPK tidak bisa dilepaskan dari 2 oligarki itu," ungkap Busyro.

Kondisi tersebut menyebabkan terancamnya pembongkaran aktor-aktor utama mega kasus koruspi yang ditangani KPK, seperti dugaan korupsi terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Meikarta, eks komisaris KPU, reklamasi pantai DKI Jakarta, Bank Century, e-KTP.

"Ditambah sikap pasif pimpinan KPK terhadap skandal korupsi tertinggi, yaitu dalam kasus Djoko Tjandra karena KPK punya kewenangan mestinya bisa segera diambilalih, tapi ini yang diragukan karena masuknya birokrasi kleptorasi," tambah Busyro.

Busyro juga tidak yakin Dewan Pengawas KPK akan membuat rekomendasi agar Ketua KPK Firli Bahuri mengundurkan diri karena melakukan pelanggaran etik.

Baca juga: Bagir Manan nilai ada anomali Presiden tak teken revisi UU KPK

Sedangkan pengajar Hukum Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar menyatakan pasal 32 UU No 19 tahun 2019 tentang revisi UU KPK merupakan cek kosong bagi Dewas KPK untuk melakukan pengawasan.

"Konteks pengawasan adalah menindaklanjuti saat ada laporan, rekomendasi tidak ada aturan detailnya. Kalau ada rekomendasi mengundurkan diri terus apa? Apa bisa memaksakan mengundurkan diri? karena tetap hanya jadi rekomendasi," kata Zainal.

Menurut Zainal, syarat seorang komisioner KPK diberhentikan adalah karena melakukan perbuatan tercela.

"Saya lebih memilih kategorisasi yang mengatakan tindakan pelanggaran etik masuk dalam perbuatan tercela, kalau Dewas 'clear' menyatakan Firli Bahuri melakukan pelanggaran berat dan bagian perbuatan tercela maka kualifikasinya terpenuhi dan cukup untuk pemberhentian seorang komisioner KPK," tambah Zainal.

Sidang pembacaan putusan etik terhadap Ketua KPK Firli Bahuri yang seharusnya disampaikan pada Selasa (15/9) ditunda menjadi Rabu, 23 September 2020 ditemukan indikasi interaksi antara pegawai yang positif COVID-19 dengan anggota Dewas KPK.

Belakangan anggota Dewas KPK yang juga anggota majelis etik Syamsuddin Haris terkonfirmasi positif COVID-19 dan dirawat sejak Jumat (18/9) di RS Pertamina. Sedangkan 4 orang anggota Dewas KPK lain dinyatakan negatif COVID-19.

Baca juga: Laode masih berharap KPK ampuh berantas korupsi

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020