Jakarta (ANTARA News) - Menciutnya kawasan hutan dan terbuka hijau di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi oleh perluasan lahan pertanian, pemukiman, bisnis, industri dan jalan telah membuat resapan air menyusut, sehingga saat hujan lebat, air mengalir deras di permukaan dan meluap untuk kemudian mengakibatkan banjir.

Semakin banyak air terbuang, maka semakin sedikit air tersimpan dalam tanah. Inilah penyebab kekeringan atau kesulitan air di musim kemarau.

Kerusakan lingkungan itu diperparah oleh meningkatnya produksi sampah yang tak mampu dikelola dengan baik. Buangan sampah terhanyut, menyumbat saluran drainase, kemudian mendangkalkan sungai, waduk dan situ.

Sementara tumpukan sampah organik di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi sarang berkembangnya bibit penyakit, mencemari udara berupa bau busuk dan gas rumah kaca, sekaligus air bawah tanah. Inilah yang membuat bagian terbesar masyarakat menolak TPA.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, kekeringan dan pecemaran akibat pembuangan sampah, menuntut kita --sebagai pengguna lahan dan air, sekaligus penghasil sampah-- untuk mengatasinya dengan memperbaiki fungsi hidrologis resapan air di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Salah satunya adalah dengan membuat Lubang Resapan Biopori (LRB).

LRB lebih mudah dibuat karena diameternya jauh lebih kecil ketimbang membangun Sumur Resapan (SR). Diameternya hanya 10 cm sedangkan kedalamannya mencapai 100 cm. Anda hanya perlu menyediakan bambu, pipa besi, dan bor khusus untuk menggali lubang.

Sementara diameter SR jauh lebih besar, sekitar 100 cm. Dan ini membuat biaya yang dikeluarkan menjadi terlampau besar, karena Anda harus menggali dan membuang tanah lebih banyak, selain mesti membeli bahan-bahan lain seperti kerikil, ijuk, batu bata, pasir dan semen untuk menguatkan dinding lubang.

Perbedaan penting lainnya adalah LRB diisi sampah organik, sedangkan SR diisi kerikil dan ijuk.

Habitat bagus


Dengan diameter kecil dan diisi sampah organik, dinding LBR tidak perlu diperkuat semen, melainkan dibiarkan tetap terbuka sehingga dengan mudah air meresap melalui dinding lubang.

LBR berisi sampah organik adalah habitat bagus bagi fauna tanah (seperti cacing) yang masuk sendiri ke lubang membantu menciptakan liang biopori, sementara sampah organik yang dimakannya menjadi kompos.

Jadi, LRB bisa mempercepat resapan air di tanah dan memudahkan pemanfaatan sampah organik. Kapasitas beban resapan LRB sendiri (volume air yang masuk dibagi luas permukaan dinding) sekitar 25 liter/m2, jauh lebih kecil dibandingkan SR yang kapasitas bebannya 250 liter/m2.

Lain dari itu, kerikil dan ijuk tidak cocok sebagai habitat fauna tanah, yang akibatnya membentuk biopori tidak mungkin dilakukan, dan jika tersumbat maka pori pun sulit diperbaiki.

Namun, karena dimensinya kecil, LBR perlu diperbanyak dengan menyebarnya pada jarak tertentu sekitar tanaman atau dasar saluran yang semula difungsikan untuk membuang air, tapi tak perlu ruang khusus.

Kelebihan-kelebihan itu membuat LBR lebih mungkin dibuat oleh pengguna lahan yang hirau mempertahankan resapan air dan terbiasa memanfaatkan sampah organik.

Biota tanah sendiri memerlukan bahan organik sebagai makanan dan sumber energi agar ekosistem tanah yang sehat di seluruh kawasan DAS terpelihara.

Prosesnya begini, fauna tanah menggali liang biopori, memakan, lalu menghaluskan ukuran sampah, kemudian mencampurkannya dengan mikroba penghancur sampah menjadi humus.

Namun itu semua perlu memperhatikan struktur tanah yang baik sehingga fungsi hidrologis yang menjamin ketersediaan air di seluruh kawasan DAS dapat dipertahankan.

Pendekatan perbaikan ekosistem tanah kawasan DAS inilah yang mendorong Bagian Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumbedaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, mengembangkan teknologi LRB sebagai metode peresapan air sederhana dengan memanfaatkan sampah organik untuk perbaikan porositas tanah oleh fauna tanah (biopori).

Lebih mudah

Keunggulan teknologi LRB adalah lebih mudah diterapkan dan lebih efektif meresapkan air hujan dan eksploitasi sampah organik untuk berbagai tipe penggunaan lahan, dibandingkan teknologi SR yang sudah dikenal lebih dulu.

Teknologi LRB bisa meluruskan persepsi keliru bahwa sampah harus dibuang dan kelebihan air hujan harus segera dibuang ke laut.

Mengapa persepsi itu dianggap keliru? Karena air dan sampah adalah sumberdaya yang harus dimanfaatkan untuk menjaga ekosistem tanah dan lingkungan hidup. Air itu vital bagi kehidupan, sementara sumber utama air bersih adalah air hujan.

Pada lingkungan sehat yang fungsi hidrologisnya baik, air hujan akan meresap ke tanah mengantikan air yang hilang oleh penguapan, lalu diserap tanaman untuk digunakan manusia dan kehidupan lain, kemudian menjadi sumber air di musim kemarau.

Upaya meresapkan air hujan mesti dilakukan para pengguna lahan sekitar DAS. Dan karena air hujan jatuh di seluruh kawasan DAS, maka peresapan air harus diupayakan di seluruh kawasan DAS, bukan hanya dibebankan ke kawasan lindung dan penyangga seperti hutan atau sempadan sungai.

Persepsi keliru yang membebankan semuanya ke kawasan lindung itu dapat diluruskan dengan menganjurkan pembuatan saluran pembuangan air (drainase) di lahan perkebunan, pertanian, dan kawasan pemukiman.

Anggapan sampah perlu dibuang juga mesti diluruskan, sebaliknya masyarakat perlu dibuat peduli pada pemisahan sampah organik untuk perbaikan peresapan air di lahannya. Lain dari itu, sampah nonorganik bisa disumbangkan kepada pemulung untuk didaur ulang menjadi bahan baku industri.

Lebih jauh, teknologi LRB mendorong masyarakat menjadi pengguna lahan yang bertanggungjawab, karena LRB membuat masyarakat tahu pasti bagaimana memanfaatkan air hujan dan meresapkannya di lahannya. LRB juga membuat sampah organik bisa menghidupkan dan mengaktifkan fauna tanah pencipta biopori.

Kewajiban membangun waduk, situ atau kolam pemancingan di kawasan pemukiman akan sangat tergantung pada sumber air hujan.

Di musim hujan, semua media itu tak bisa menampung limpahan banjir, sebaliknya di musim kemarau semua media itu surut karena cadangan air berkurang. Untuk itu, perlu upaya peresapan air di sekitarnya sebelum saluran drainase di permukiman terlanjur dikedapkan beton. Dan LRB adalah cara terefektif untuk mengatasi itu semua. (*)

Kamil/AR09

(**) Ir. Kamir R. Brata, MSc, adalah pakar ekologi tanah Institut Pertanian Bogor dan penemu teknologi LRB

Oleh Kamir R. Brata (**)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010