Pasuruan (ANTARA News) - Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Desa Ketapan, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, KH Machrus Ali menolak Rancangan Undang-undang Nikah Siri dan mengkritik klausla ancaman pidana terhadap pelaku nikah siri di RUU itu, padahal syariat Islam menyatakannya sah.

Ketua Umum Forum Kiai Muda Indonesia ini menjelaskan, nikah siri sangat berbeda dari kawin kontrak (nikah mut`ah) dan meminta pemerintah tidak menyamakan keduanya, sebaliknya perlu melihat langsung kasusnya di lapangan.

KH Machrus khawatir, jika pelaku nikah siri dipidanakan maka efek yang bakal terjadi menyuburkan praktik prostitusi, karena sanksi pidana nikah siri hanya 6 bulan - 1 tahun, sementara pelaku prostitusi hanya dipidana kurungan 7 hari.

Ia menjelaskan, nikah siri yang terjadi di wilayah Rembang, Pasuruan adalah pernikahan yang dilaksanakan sesuai syariat Agama Islam, yakni syarat dan rukun nikahnya telah terpenuhi, sertua bertujuan membangun keluarga.

"Hanya saja pernikahannya tidak dicatatkan ke Kantor Urusan Agama," kata KH Machrus.

Ia mengibaratkan itu dengan orang membeli tanah, tapi tidak langsung mendapatkan tanah itu karena menunggu sertifikasinya yang bisa diproses lebih lanjut ketika dana tersedia.

Machrus setuju nikah kontrak dilarang atau dipidanakan, karena sejak awal sudah mempunyai berniat kurang baik, yakni pada periode tertentu nikah bisa putus.

KH Machrus Ali menyarankan pemerintah mensosilasikan terlebih dulu RUU itu supaya bisa mengetahui duduk persoalan setiap kasus nikah siri.

KH Machrus Ali mengakui, latar belakang kasus nikah siri di wilayah Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, memang kebanyakan faktor ekonomi, sementara jalannya ada dua, melewati kiai atau lewat calo.

Pernikahan siri yang dipandu kiai lebih mengutamakan membangun keluarga sejahtera. "Banyak pasangan suami istri yang nikah siri tingkat ekonominya semakin lebih baik," tegasnya.

Sebaliknya, jika nikah siri yang dilakukan melalui jasa calo, lebih banyak unsur bisnisnya dibanding membangun keluarga ejahtera, bahkan perempuan yang terjerat calo, sering menjadi korban pemerasan, demikian KH Machrus Ali.(*)
PK-MSW/C004/AR09

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010