Jakarta (ANTARA News) - Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat meminta polemik kawin siri yang belakangan ini makin mengemuka di berbagai media massa untuk dihentikan karena Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama (HMPA) belum disampaikan ke legislatif.

"Itu baru draf, yang dimaksudkan untuk melengkapi Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, UU Perkawinan itu sendiri masih belum disampaikan ke DPR RI," kata Bahrul Hayat melalui telepon kepada ANTARA di Jakarta, Kamis malam.

"Saya heran, itu kan masih dalam bentuk draf, kok tiba-tiba sudah ramai dibicarakan dan menjadi bahan perbincangan sengit," Bahrul Hayat menambahkan.

Dalam draf yang diberitakan dalam berbagai media massa sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2010, terdapat ketentuan pidana antara lain terkait dengan perkawinan siri, perkawinan mut`ah (kontrak),

Pada draf RUU itu memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mut`ah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, serta perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.

Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.

RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 Ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.

Bahrul menjelaskan, tak ada maksud pemerintah untuk mempidanakan warga muslim yang melakukan nikah siri. Pemerintah juga tak berkeinginan memasuki wilayah privasi seseorang terlalu jauh. Tetapi dalam konteks ini adalah berupaya agar setiap warga merasa terlindungi secara administratif.

Seperti juga anak yang lahir harus memiliki akte kelahiran dan tercatat di kantor catatan sipil, termasuk jika seorang warga meninggal dunia, harus tercatat secara administratif.

"Dengan demikian maka ada kejelasan secara administratif dan kepastian hukum bagi yang bersangkutan. Jadi, esensinya adalah mencatatkan diri secara administraif dan melindungi warga itu sendiri," kata Bahrul.

Untuk pernikahan atau kawin siri itu sendiri, hal itu sudah menjadi wilayah agama dan sah menurut agama. "Persoalannya kini bagaimana melindungi hak setiap warga negara, karena itu harus tercatat secara administratif," katanya..

Kementerian Agama sudah lama mempersiapkan pengajuan Rancangan Undang-Undang Materil Peradilan Agama (HMPA) guna melengkapi Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, sehingga hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan perkawinan punya pegangan kuat.

Selama ini hakim berpegang pada kompilasi hukum agama dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian dan hal lainnya yang berkaitan dengan masalah keluarga.

(T.E001/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010