Padang (ANTARA News) - Ketua Umum Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) Sumatra Barat, H.Irfianda Abidin, mengharapkan pemerintah tidak menyamakan antara nikah siri dengan nikah secara syar`i.

"Persepsi pemerintah tentang nikah sebagaimana dimuat dalam Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama perlu diluruskan. Kalau nikah siri hukumnya haram dan memang harus dilarang Sementara pernikahan secara syar`i mengacu kepada ketentuan Alquran dan hadis, dan menurut ketentuan agama," kata Irfianda di Padang, Jumat.

Ketua Umum Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) itu menjelaskan, nikah siri merupakan pernikahan diam-diam yang dilakukan oleh dua orang, bisa di hotel, di rumah dan tempat-tempat lainnya. Pernikahan seperti ini harus dilarang. Sementara nikah syar`i merupakan pernikahan sesuai Al Quran dan hadits, mengikuti prosesi mulai dari perkenalan, hingga ijab kabul di hadapan wali dan saksi.

Dia mengatakan, pernikahan syar`i ada yang tercatat dalam pembukuan negara (KUA), dan ada yang tidak tercatat. Pernikahan secara syar`i ini tidak bisa dipersoalkan, karena merupakan ketentuan Allah.

Hanya saja, menurut Irfianda, mereka yang menikah secara syar`i dan belum tercatat agar melakukan pencatatan ke KUA.

Dengan mengeluarkan RUU Peradilan Agama, terkesan pemerintah memukul rata pernikahan.

RUU Peradilan Agama tersebut menurut Irfianda, merupakan upaya pemerintah untuk membidik umat Islam yang berpoligami.

"Ini sepertinya mengikuti agenda barat. Padahal Islam sebetulnya membolehkan berpoligami, sepanjang berlaku adil," katanya.

Menurut dia, kebijakan pemerintah itu jelas-jelas menolak hukum Allah. Pada akhirnya, kebijakan seperti itu akan mendorong munculnya perzinahan, karena rentannya suami memiliki istri simpanan.

Pemerintah, kata dia, melalui kebijakan-kebijakannya telah mempersulit pernikahan lebih dari satu (poligami). Padahal, cukup banyak perempuan yang belum mendapat kesempatan dapat suami di usia yang seharusnya sudah menikah. Demikian pula dengan janda-janda di usia masih produktif. Pertanyaannya, siapa yang akan menyalamatkan mereka ?

Kebijakan pemeirntah yang mempersulit berpoligami, kata dia, terlihat dari persyaratan yang dibuat pemerintah yang tidak mengacu kepada ketentuan Islam.

Misalnya, bisa berpoligami bila istri tidak memiliki keturunan, harus dapat izin dari istri pertama yang dikuatkan sidang pengadilan, dan sebagainya.

"Padahal ketentuan Islam sudah jelas tentang berpoligami. Tujuannya menyelamatkan umat manusia, tapi pemerintah memaksakan kehendak," ujarnya.

RUU Hukum Materil Peradilan Agama sebelumnya menuai polemik di tengah-tengah masyarakat.

Dalam RUU itu ada pasal yang menyatakan jika melakukan nikah siri akan dipidanakan. Ancamannya kurungan maksimal 3 bulan dan denda maksimal 5 juta bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak.

Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat meminta polemik kawin siri yang belakangan ini makin mengemuka di berbagai media massa untuk dihentikan karena Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama belum disampaikan ke legislatif.

"Itu baru draf, yang dimaksudkan untuk melengkapi Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, UU  Perkawinan itu sendiri masih belum disampaikan ke DPR RI," kata Bahrul Hayat. (O003/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010