Jika di tahun lalu kita bisa berteriak, berkumpul, berorasi secara fisik, sekarang kita harus lakukan ini secara maya, secara daring.
Jakarta (ANTARA) - #FridaysForFuture, sebuah gerakan bolos sekolah yang diinisiasi aktivis perubahan iklim muda Swedia Greta Thunberg (16) di 2018, khusus untuk memprotes minimnya aksi pemangku kepentingan mengatasi krisis iklim yang mengancam kehidupan masyarakat global, semakin terasa gaungnya di Indonesia.

Anak-anak muda dari lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang menaruh perhatian pada isu lingkungan di Indonesia, khususnya perubahan iklim, kini ikut menggelar sejumlah kegiatan secara daring di masa pandemi COVID-19 untuk mendukung aksi Global Climate Strike yang di 2020 ini dilaksanakan di Jumat terakhir Bulan September.

Masing-masing mereka pada Jumat pagi menyuarakan kegelisahan dan harapannya perihal aksi nyata untuk menyelamatkan kehidupan di masa depan dari dampak krisis iklim yang saat ini terjadi dengan menggelar diskusi maupun webinar.

Baca juga: "Kami memberontak": Aksi global para siswa untuk lawan perubahan iklim

Seperti Change.org dan Yayasan Indonesia CERAH yang khusus mengeluarkan hasil survei persepsi anak muda terhadap krisis iklim saat ini. Sementara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama peneliti-peneliti mudanya mengeluarkan Analisis Kesenjangan Kebijakan Iklim Indonesia dalam Perspektif Keadilan Antar-Generasi.

Dan di sore harinya, mereka bergabung dalam Jeda untuk Iklim meramaikan aksi #PukulMundurKrisisIklim yang menjadi afiliasi dari kegiatan Global Climate Strike yang menyerukan Climate Action Now. Setidaknya lebih dari 300 anak muda dari berbagai daerah sempat ikut bergabung dalam aksi secara daring tersebut.

Peserta aksi Jeda Untuk Iklim Kecil menunjukkan posternya untuk mendukung aksi Global Climate Strike yang dilaksanakan serempak di berbagai negara secara virtual diakses dari Jakarta, Jumat (25/9/2020). (ANTARA/Virna P Setyorini)
Dalam undangannya pada media, Climate Strike Indonesia menyebutkan di masa pandemi COVID-19 yang menuntut semua orang untuk menjaga jarak dan disiplin melaksanakan protokol kesehatan, sehingga aksi turun ke jalan menjadi hal yang sulit dilakukan.

Namun demikian, ratusan anak muda Indonesia akan beraksi secara virtual untuk mendorong pemerintah dan masyarakat bersama-sama bergerak melawan krisis iklim dengan mengedepankan isu lingkungan sebagai prioritas dan lebih meningkatkan komitmen kepada dunia untuk menurunkan emisi.

Baca juga: Laporan dari San Fransisco - GCF pertegas Deklarasi Rio Branco jaga hutan
 

Pemikiran kaum muda

"Jika kita masih bertemu setiap tahunnya, sebenarnya bukan hal yang baik, karena berarti apa yang kita tuntut belum tercapai. Dan kita harus bertemu untuk berdiskusi dan beraksi, untuk bagaimana menyelesaikan ini. Setelah satu tahun ini, rasanya pencapaian yang kita harapkan masih jauh dari tujuan akhir kita, yaitu pendeklarasian darurat iklim di Indonesia," kata dr Dimas Muhammad, dokter muda yang ikut ambil bagian dalam aksi Jeda untuk Iklim secara daring kali ini.

Saat suara-suara mereka semakin berlipat ganda sejak Tahun 2019, kelompok masyarakat dari yang tua, muda, mahasiswa, pengusaha bergabung dengan gerakan Jeda untuk Iklim, pandemi COVID-19 justru melanda dunia dan memaksa manusia untuk beradaptasi. Namun Dimas mengatakan aski yang berbeda bentuknya kali ini masih memiliki tujuan yang sama, yaitu menuntut pemangku kebijakan untuk melakukan Aksi Iklim Sekarang atau #ClimateActionNow.

Tidak hanya di Indonesia, pada hari yang sama anak-anak muda di seluruh dunia juga sedang melantangkan satu kalimat yang sama. "Jika di tahun lalu kita bisa berteriak, berkumpul, berorasi secara fisik, sekarang kita harus lakukan ini secara maya, secara daring. Tapi kembali lagi tetap dengan satu tujuan dan semangat yang berapi-api," kata dr Dimas.
 

Dokter Dimas Muhammad, dokter muda yang ikut ambil bagian dalam aksi Jeda Untuk Iklim secara daring diakses dari Jakarta, Jumat (25/9/2020). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Baca juga: Anak Indonesia jawab seruan panik Greta Thunberg untuk perubahan iklim

Saat anak-anak muda di sana berteriak sampai serak, meminta pemangku kebijakan untuk bertindak, mereka malah menutup mata dan memberikan narasi-narasi yang membungkam, kata dokter muda itu.

"Jeda untuk Iklim hari ini terkesan dikompromikan. Kalau kita lihat masih ada yang melakukan aksi secara fisik, kita tetap melakukannya tanpa harus bertatap muka untuk membantu para tenaga kesehatan untuk menekan angka penularan COVID-19. Meski begitu, kita tidak mengompromikan ancaman perubahan iklim yang tidak melambat," ujar dia.

Menurut dia, pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung lebih dari enam bulan diperkirakan juga terkait dengan kerusakan alam yang dipicu oleh sifat eksploitatif manusia yang juga merupakan penyebab krisis iklim. Kondisi tersebut mengancam segala sektor kehidupan, salah satunya kesehatan.

Baca juga: Anak-anak muda Indonesia ikuti seruan aksi iklim Greta Thunberg

Sebagai orang yang berprofesi di bidang kesehatan, Dimas mengaku khawatir akan ancaman terhadap kesehatan. Sebut saja gelombang panas yang semakin meningkat setiap tahunnya, penyakit menular yang semakin ganas setiap tahunnya, penyakit-penyakit yang tidak pernah timbul sebelumnya kini dengan mudah mewabah karena suhu Bumi yang meningkat tidak terkendali, penyakit merebak di tenda-tenda pengungsian akibat bencana iklim.

"Teman-teman sudah seharusnya kita mengkhawatirkan segala dampak dan ancaman yang kita hadapi setiap hari. Bukan hanya kita yang ada di ruang virtual ini, tapi semua yang ingin hidup selamat. Semua yang berharap melihat masa depan anak cucunya hidup di tempat yang layak. Ayo kita bertindak sekarang! Terima kasih, selamat berjeda untuk iklim. Selamat sore," kata dr Dimas.

Kontan semangat ratusan anak muda yang mengikuti aksi virtual dari aplikasi Zoom dan YouTube bergelora. Azka Wafi yang menjadi "tuan rumah" dari aksi itu lantas mengambil alih kendali, meminta semua untuk meneriakkan "yel-yel" Climate Action Now.

"What do we want?" teriak Azka. Dan dijawab peserta aksi,"Climate Justice!".

"When do we want it?" teriak Azka lagi. Dan dijawab serempak,"Now!"

Kak Wanggi Hoed Docs berpantomi dalam aksi Jeda Untuk Iklim secara daring diakses dari Jakarta, Jumat (25/9/2020). (ANTARA/Virna P Setyorini)
Celoteh saling jawab khas Generasi Z dan milenial segera mengalir di kolom "chat" aplikasi Zoom dan YouTube. Bahasa mereka menggambarkan betapa kangennya mereka berkumpul bersama melakukan aksi turun ke jalan, namun harus mereka tahan di tengah pandemi COVID-19 karena tidak ingin menaikkan angka penularan SARS-CoV-2 itu di Indonesia.

"Kangen teriak-teriak di jalanan, kak," kata dr Dimas di kolom "chat", yang kemudian dibalas oleh Redwinda Naibaho, "Jadi pengen ambil toa yaa".

Lalu ada Vadeltra Muhammad, peserta Jeda untuk Iklim lainnya, yang berorasi secara daring dari Melbourne, Australia, menyuarakan bahwa anak-anak muda di seluruh dunia sedang menyuarakan Bumi sedang dalam darurat iklim. Perubahan iklim yang terjadi saat ini sudah sampai pada level mengancam kehidupan.

Banyak saudara-saudara sebangsa yang harus dievakuasi karena rumah mereka terkena banjir, dan daerah di pinggir pantai terancam tenggelam. Perubahan pola hujan musiman, perubahan musim, kejadian hujan ekstrem, kenaikan muka air laut, hingga kekurangan air dan masih banyak lagi menjadi ancaman bagi umat manusia, kata Vadel.

Baca juga: Generasi muda dunia lakukan protes lawan perubahan iklim

"Saya, Anda, dan teman-teman semua menunggu aksi deklarasi dari pemangku jabatan," ujar Vadel.

Aksi Jeda untuk Iklim 2020 secara virtual tersebut berlangsung lebih dari tiga jam sejak pukul 15.00 WIB. Mereka bergantian membaca puisi dan berorasi tentang kegelisahan akan masa depan mereka, berpantomim, membacakan pernyataan sikap terkait lubang-lubang tambang yang merusak lingkungan hidup mereka dari Ketua Tani Muda Santan Taufik Iskandar, dari Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing, mendengarkan testimoni para ibu dari Pulau Kodingareng, dari musisi Hip Hop tuangtigabelas, mendengarkan lantunan musisi Oscar Lolang dan Hindia + Lomba Sihir.

Semua kemudian sepakat, untuk semakin merapatkan barisan, semakin kuat menyuarakan tuntutan agar pemangku kebijakan mau menjalankan aksi iklim sekarang juga. Mereka ingin memastikan suhu Bumi tidak naik melewati 1,5 derajat Celsius di pertengahan abad 21 ini, dengan mengubah sistem pembangunan menjadi lebih ramah lingkungan hingga mencapai net zero carbon.

Baca juga: Survei Change.org: Mayoritas pemuda khawatirkan dampak krisis iklim
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020