Jakarta (ANTARA) - Sudah setengah tahun lebih dunia dilanda wabah COVID-19 dengan kasus infeksi virus corona yang mengena pada sedikitnya 32 juta orang, termasuk sekitar 985 ribu meninggal, yang dilaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Sabtu (26/9).

Berbagai perusahaan dan lembaga pengembang vaksin di seluruh negara berlomba-lomba dan bekerja sama dalam upaya untuk menemukan vaksin yang akan dapat mengakhiri pandemi global COVID-19.

Upaya itu dijalankan oleh antara lain sembilan pengembang vaksin terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa --Pfizer, GlaxoSmithKline, AstraZeneca, Johnson & Johnson, Merck & Co, Moderna, Novavax, Sanofi, dan BioNTech.  

Berdasarkan catatan WHO, lebih dari 150 calon vaksin COVID-19 di seluruh dunia sedang dikembangkan dan diujicobakan, dengan 38 di antaranya sudah berada dalam tahap uji klinis pada manusia.


Akses merata

Selain menemukan vaksin yang manjur, langkah yang tidak kalah penting untuk diupayakan adalah distribusi vaksin secara merata, yang sangat ditentukan oleh akses yang adil bagi semua orang untuk mendapatkannya.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus sejak Juni telah mengatakan bahwa pemulihan kondisi negara-negara di seluruh dunia bisa terjadi lebih cepat jika vaksin COVID-19 tersedia untuk semua orang.

Untuk itu, kata Tedros, vaksin untuk virus corona harus tersedia sebagai barang publik global untuk memastikan semua orang mendapat akses yang sama atas produk penyelamat nyawa yang sedang dikembangkan itu.

"Banyak pemimpin yang mempromosikan gagasan pembuatan vaksin apa pun sebagai barang publik global, tetapi itu harus terus dipromosikan," katanya.

Tedros menyerukan agar lebih banyak pemimpin bergabung dalam upaya bersama untuk penyediaan vaksin COVID-19 bagi semua.

Baca juga: WHO: Kematian COVID-19 global bisa capai 2 juta sebelum vaksin merata

Sejak tahap awal pandemi, memang sudah jelas bahwa untuk mengakhiri krisis global ini, tidak hanya vaksin yang dibutuhkan, tetapi juga pengadaannya secara merata.  

Kepentingan tersebut memicu para pemimpin global untuk menyerukan solusi yang akan mempercepat pengembangan dan pembuatan vaksin COVID-19, serta diagnostik dan perawatan, serta menjamin akses vaksin yang cepat, adil, dan setara bagi orang-orang di semua negara.

Untuk itu, sejumlah lembaga multilateral, yaitu WHO, Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI), dan Koalisi Inovasi Persiapan Epidemi (CEPI), berkolaborasi dan membentuk inisiatif COVAX, yakni Fasilitas Akses Global Vaksin COVID-19.

Dalam kolaborasi itu, GAVI bertugas mengkoordinasi pengadaan vaksin, sementara CEPI bertugas memantau riset dan pengembangan calon vaksin.

Lewat inisiatif COVAX, pembelian vaksin COVID-19, jika telah tersedia, akan dilakukan lewat satu pintu, yaitu dari Divisi Pengadaan UNICEF di Kopenhagen, Denmark —salah satu sarana pengadaan bantuan kemanusiaan terbesar di dunia.

Baca juga: Rusia jual ratusan juta dosis vaksin COVID-19 ke India

"UNICEF dapat memesan vaksin dalam jumlah besar dan biaya lebih rendah," kata badan PBB itu lewat laman resminya.

Dalam skema kerja sama itu, UNICEF bertugas mengoordinasi pembelian dan pengiriman vaksin COVID-19 ke lebih dari 140 negara, termasuk Indonesia, agar setiap negara punya akses yang setara dan terjangkau pada anti virus SARS-CoV-2.

Akan tetapi, menurut Tedros, diperlukan komitmen politik global yang sungguh-sungguh serta konsensus global untuk skema global distribusi vaksin COVID-19 yang adil, bahkan sebelum produk vaksin yang manjur benar-benar tersedia dan siap didistribusikan.

Dia mengeluarkan seruan itu setelah muncul kekhawatiran bahwa sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, bisa saja menimbun vaksin atau obat apa pun yang mereka kembangkan untuk melawan COVID-19 sementara negara miskin tidak mendapat akses ke pengobatan yang mereka butuhkan.

Kekhawatiran yang sempat disampaikan oleh Direktur Jenderal WHO itu memang cukup beralasan.

Faktanya, sebanyak 156 negara bergabung dalam skema global distribusi vaksin COVID-19 yang adil melalui inisiatif COVAX, namun China dan Amerika Serikat tidak masuk di dalamnya.

Baca juga: 156 negara gabung dalam skema adil vaksin global, China dan AS absen

China dan AS merupakan dua negara yang memiliki kepentingan besar dan saling bersaing untuk menjadi penghasil utama vaksin penawar virus corona. 

China merupakan negara pertama yang mendeklarasikan kasus pertama COVID-19 dan AS menjadi negara urutan pertama yang paling parah terdampak COVID-19.

Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah mengamankan pasokan vaksin COVID-19 masa depan melalui kontrak -kontrak bilateral, dan AS pun menuai tuduhan sikap egois yang merugikan negara-negara miskin.

China juga tidak tercantum dalam daftar 64 negara kaya dalam COVAX untuk menyalurkan dua miliar dosis vaksin di seluruh dunia pada akhir 2021.

Skema distribusi vaksin global itu akan mencakup sekitar dua pertiga dari populasi dunia, menurut WHO dan aliansi vaksin GAVI.

Baca juga: Sinovac ingin memasok lebih banyak vaksin ke Amerika Selatan

Aliansi vaksin itu mengatakan mereka berharap 38 negara kaya lainnya akan bergabung dengan gagasan tersebut.

Mereka mengaku telah menerima komitmen sebesar 1,4 miliar dolar AS (sekitar Rp20,6 triliun) untuk pengembangan dan penelitian vaksin, namun membutuhkan dana tambahan 700-800 juta dolar AS (sekitar Rp10,3 - 11,8 triliun ) segera.

"COVAX akan memberi dunia portofolio calon vaksin terbesar dan paling beragam," kata Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus saat konferensi virtual.

"Ini bukan amal, ini demi kepentingan terbaik seluruh negara. Kita tenggelam bersama atau berenang bersama ... Ini bukanlah hak untuk melakukan sesuatu, ini hal yang cerdas untuk dilakukan," ujarnya.

Saat sejumlah negara kaya enggan bergabung dengan COVAX, rencana tersebut telah menyoroti tantangan dalam menyalurkan vaksin secara merata di seluruh dunia.


Peran PBB

Dalam perkembangan kerja sama global untuk mengatasi krisis COVID-19 melalui pemerataan distribusi vaksin memerlukan peran penting Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) --sebagai badan utama multilateral dunia-- untuk mendorong komitmen politik dan konsensus global negara-negara.

Pada Senin (21/9), para pemimpin dunia berkumpul secara virtual untuk memperingati hari jadi ke-75 tahun PBB, menjelang Sidang Majelis Umum, pada saat pandemi COVID-19 menantang efektivitas dan solidaritas 193 negara anggota.

Dalam pertemuan virtual itu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi meminta PBB untuk berperan dalam memfasilitasi akses seluruh negara pada obat-obatan dan vaksin COVID-19 yang terjangkau.

Dia menekankan pentingnya peran PBB dalam mendorong berbagai kerja sama multilateralisme dalam penanganan pandemi COVID-19.

"Indonesia terus percaya pada keutamaan dari multilateralisme dan peran PBB sebagai platform utama untuk mengatasi tantangan global, termasuk pandemi COVID-19," ujar Menlu Retno.

Selanjutnya, pada debat umum ke-75 Sidang Majelis Umum PBB, pemerintah Indonesia mendorong PBB untuk terus mempertahankan relevansinya dalam merespons berbagai tantangan global.

Presiden RI Joko Widodo pada debat umum tersebut menyampaikan harapan masyarakat terhadap lembaga multilateral itu, khususnya dalam penanganan pandemi COVID-19.

Baca juga: Jokowi tegaskan perlu kesetaraan akses vaksin COVID-19 di Sidang PBB

Presiden Jokowi juga menekankan pentingnya kesetaraan akses bagi semua negara untuk nantinya mendapatkan pasokan vaksin virus corona jenis baru.

Ia juga menekankan bahwa vaksin akan menjadi game changer dalam perang melawan pandemi.

"Kita harus bekerja sama untuk memastikan bahwa semua negara mendapatkan akses setara terhadap vaksin yang aman dan dengan harga terjangkau," kata Jokowi.

Pada kesempatan itu, Presiden juga mendorong seluruh negara di dunia untuk memperkuat kerja sama dalam penanganan pandemi COVID-19.

"Dunia yang sehat, dunia yang produktif, harus menjadi prioritas kita. Semua itu dapat tercapai jika kita semua bekerja sama….bekerja sama…dan bekerja sama. Mari kita memperkuat komitmen, dan konsisten menjalankan komitmen untuk selalu bekerja sama," katanya.

Baca juga: Putin usulkan konferensi internasional tentang vaksin COVID-19

"Kita juga paham virus ini tidak mengenal batas negara. No one is safe until everyone is (Tidak ada yang aman dari virus ini sampai setiap orang sudah aman)," ucap Jokowi.

Senada dengan Jokowi, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pun menyampaikan kepada para pemimpin dunia bahwa mereka harus bekerja bersama, pada saat tantangan terhadap multilateralisme muncul berlebih sementara solusi untuk masalah itu masih kurang.

Wabah penyakit infeksi virus corona baru (COVID-19) ini telah menunjukkan betapa rapuhnya dunia dan umat manusia.

Namun, krisis COVID-19 ini seharusnya tidak membalikkan kemajuan dalam kerja sama internasional. Sebaliknya, krisis ini justru harus memperkuat solidaritas dan persatuan antarnegara, dan terutama sesama umat manusia.

Baca juga: Presiden Majelis Umum PBB: perangi virus dengan multilateralisme

Baca juga: Trump: AS distribusikan 100 juta dosis vaksin corona Desember


 

Menlu Retno dorong PBB fasilitasi pemerataan akses vaksin


 

Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020