Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta meminta pemerintah memperkuat "biosecurity" karena selama ini terbukti masih lemah.

"Untuk menambal kelemahan tersebut seluruh elemen bangsa harus bersatu," kata Sukamta di Jakarta, Senin.

Hal itu, menurut dia, berdasarkan data dan fakta yang terjadi di Indonesia. Pertama, Indonesia belum memasukkan "biosecurity" dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.

"Akibatnya tidak ada lembaga khusus yang menangani 'biosecurity' di Indonesia sehingga ketika COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan, China, tidak ada langkah-langkah jelas dalam mencegah masuknya virus tersebut," katanya.

Baca juga: Menhan ingatkan ancaman virus jadi senjata untuk hancurkan negara

Kedua, menurut dia, berdasarkan penilaian dari Global Health Indexs, nilai Indonesia dalam "biosecurity" mendapatkan skor 8 dari rata-rata skor "biosecurity" dunia yaitu 16.

Dia mengatakan, angka itu membenarkan beragam kejadian di lapangan ketika pencegahan COVID-19 yang tidak jelas polanya.

Ketiga, terkait dengan "biosecurity", menurut dia, kesiapsiagaan kondisi darurat kesehatan Indonesia juga lemah, mulai dari respons terhadap suatu penyakit atau virus hingga pelatihan berkala dalam menghadapi kondisi darurat.

"Maka tidak mengherankan GHI memberikan skor nol pada pelatihan berkala dalam rencana respons terhadap suatu penyakit atau virus dan skor 12,5 pada perencanaan responnya. Skor Indonesia masih di bawah dari rata-rata skor respons dunia mencapai 16,9," ujarnya.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI itu juga menyoroti tentang pengendalian penyebaran virus COVID-19 dan ketersediaan peralatan kesehatan sebagai bagian dari mempertahankan kedaulatan negara.

Baca juga: MPR minta pemerintah majukan industri pertahanan nasional

Menurut Sukamta, sejak awal COVID-19 muncul di Wuhan, China, dirinya sudah memperingatkan pemerintah untuk memperketat penjagaan dan pengawasan di pintu-pintu masuk Indonesia, namun pemerintah malah menggencarkan kampanye untuk menarik wisatawan luar negeri.

"Saya juga mendorong Kemhan/TNI dan Badan Intelijen Negara untuk berperan aktif menangkal masuknya virus COVID-19 ke Indonesia. Alasannya, COVID-19 ini sejak awal kemunculan, kemudian penyebaran dan karakteristik virus mengarah ke senjata biologis," ujarnya.

Oleh karena itu, menurut dia, sudah menjadi tugas Kemhan/TNI dan BIN untuk mengantisipasinya, sebagaimana ditegaskan di dalam UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Negara.

Sukamta mengatakan saatnya semua pihak bersatu, bukan saling menjatuhkan, karena COVID-19 musuh bersama, musuh bangsa Indonesia sehingga sudah menjadi kewajiban semua pihak untuk bergandeng tangan, saling menguatkan, mendukung agar bersama-sama bisa melewati ujian ini.

Dia mengatakan, menghadapi ancaman yang berpotensi seperti perang biologis, sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN), rakyat Indonesia juga memiliki tanggung jawab dalam pertahanan negara.

Baca juga: Pengadaan sistem kesenjataan Indonesia fokus pada potensi ancaman nyata

"Meskipun dalam tugas pertahanan, peran, tujuan, dan fungsi sebagai lini pertama dalam sistem keamanan nasional diberikan kepada BIN seperti tertuang dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara serta peran utama TNI sebagai alat pertahanan negara menurut UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia," katanya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020