Yerevan/Baku (ANTARA) - Armenia menyambut baik ajakan mediasi dari organisasi kerja sama keamanan Amerika Utara dan Eropa terkait konflik di Nagorno-Karabakh, sementara Azerbaijan belum menanggapi ajakan berunding demi menghentikan pertempuran yang telah terjadi sejak akhir bulan lalu.

Kementerian Luar Negeri Armenia, Jumat, mengatakan pihaknya siap bekerja sama dengan Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) untuk kembali memberlakukan gencatan senjata di Nagorno-Karabakh.

Nagorno-Karabakh, daerah pegunungan di Azerbaijan yang berada di Kaukasus Selatan, merupakan lokasi pecahnya pertempuran antara Armenia dan Azerbaijan sejak Minggu (27/9).

OSCE merupakan organisasi kerja sama keamanan Amerika Utara dan Eropa yang telah berdiri sejak 1992. Beberapa negara pendiri, di antaranya adalah Prancis, Rusia, dan Amerika Selatan.

Organisasi itu dibentuk salah satunya demi menyelesaikan konflik antara Azerbaijan dan warga beretnis Armenia yang tinggal di Nagorno-Karabakh.

OSCE sejak Kamis (1/10) meminta dua negara untuk menahan diri dan berhenti angkat senjata.

Meskipun Armenia siap bekerja sama dengan OSCE, Azerbaijan belum menanggapi ajakan mediasi yang diserukan Prancis, AS, dan Rusia.

Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev pada Selasa (29/9) menolak berunding dengan Armenia. Sementara itu, Turki, sekutu dekat Azerbaijan, mengatakan Prancis, AS, dan Rusia tidak seharusnya diberi peran untuk menengahi konflik di Nagorno-Karabakh.

Presiden Turki Tayyip Erdogan pada Kamis mengatakan gencatan senjata yang lestari hanya dapat tercapai jika Armenia menarik pasukannya dari Nagorno-Karabakh. Sementara itu, Presiden Aliyev mengatakan tuntutan Armenia yang ingin Azerbaijan melepas Nagorno-Karabakh tidak dapat diterima.

Pertempuran antarpasukan masih berlanjut sampai Kamis malam (1/10). Kementerian Pertahanan Nagorno-Karabakh pada Jumat mengumumkan 54 tentara tewas, sehingga total pasukan yang gugur mencapai 158 jiwa.

Nagorno-Karabakh melepaskan diri dari Azerbaijan setelah perang berakhir pada 1990-an atau masa setelah Uni Soviet bubar. Namun, sebagian besar komunitas internasional belum mengakui Nagorno-Karabakh sebagai negara yang merdeka.

Sementara itu, 11 warga sipil juga dilaporkan tewas dan lebih dari 60 orang luka-luka di Nagorno-Karabakh, daerah di Azerbaijan yang dihuni mayoritas oleh penduduk beretnis Armenia.

Kantor Kejaksaan Azerbaijan mengatakan 19 warga sipil tewas dan 55 lainnya luka-luka akibat terkena peluru tentara Armenia. Azerbaijan belum melaporkan adanya korban jiwa dari pasukan militernya.

Pertempuran yang terjadi sejak akhir bulan lalu itu diyakini jadi salah satu yang terburuk sejak perang pada 1990-an, yang menewaskan lebih dari 30.000 orang tewas.

Bentrokan antarpasukan di Nagorno-Karabakh pun membuat banyak negara Barat khawatir karena wilayah tersebut dan daerah lain di Kaukasus Selatan merupakan jalur utama pipa minyak dan gas dunia.

Sumber: Reuters

Baca juga: Armenia tarik dubesnya di Israel terkait kiriman senjata ke Azerbaijan

Baca juga: Rusia, Prancis tingkatkan seruan gencatan senjata di Nagorno-Karabakh


 

Presiden Jokowi pertemuan bilateral dengan Presiden Armenia

Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020