Jakarta (ANTARA News) - Kalangan dunia usaha mendesak pemerintah menunda penandatangan revisi Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

"Kami meminta agar draft revisi Kepres 80 itu tidak dulu ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebelum dibicarakan lebih lanjut dengan dunia usaha," kata Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Distribusi dan Keagenan, Natsir Mansyur, di Jakarta, Jumat.

Menurut Natsir di sela acara Business Meeting Kadin Indonesia Komite Singapura dengan Singapore Manufacture Federation, permintaan penundaan penandatangan revisi Kepres 80 karena dalam beberapa pasalnya tidak memiliki keberpihakan kepada pengusaha dalam negeri.

Selain itu, juga terkait dengan implementasi Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA).

"Dengan ACFTA hampir semua pola bisnis berubah, sehingga perlu kepastian dalam pengadaan barang dan jasa pada pemerintah," katanya.

Ia menjelaskan, nilai belanja barang modal pemerintah pada 2010 mencapai sekitar Rp500 triliun, naik dari belanja modal 2009 sekitar Rp350 triliun.

Peningkatan hampir dua kali lipat tersebut mencerminkan pertumbuhan pada industri di dalam negeri semakin meningkat.

Menurutnya, dengan implementasi ACFTA mengakibatkan terjadinya diversifikasi usaha, muncul industri-industri baru, peningkatan utilisasi, dan melonjaknya pesanan produksi industri.

Untuk itu ujarnya, perlu kebijakan yang dapat mendorong penguatan pasar dalam negeri tidak harus memberi insentif pajak, tetapi juga kepastian pada pengaturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) barang-barang manufaktur.

"Uang merah putih, seharusnya untuk membeli barang merah putih," tegasnya.

Ia menggambarkan, dalam penetapan tender pengadaan barang dan jasa sisebutkan TKDN harus mencapai 40 persen.

Namun kenyatannya, seringkali pemenang tender adalah perusahaan pemasok barang dan jasa yang tidak memenuhi TKDN.

"Hanya karena selisih harga yang kecil, perusahaan lokal yang sudah memiliki TKDN tinggi tidak memenangkan tender. Ini akan membahayakan dunia usaha," tegasnya.

Menurutnya, dalam revisi Kepres tersebut tetap saja harus menetapkan preferensi harga, namun diatur lebih lanjut agar konsiten pada penggunan TKDN.

Ia mengakui, draft revisi tersebut saat ini sudah berada di Sekretariat Negara.

"Tinggal ditandatangani Kepala Negara. Tapi alangkah eloknya kalau permintaan penundaan ini diterima demi kemajuan industri dalam negeri," tegasnya.

(R017/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010