sudah merevisi target investasi
Dapen BTN Konservatif Antisipa (ANTARA) - Direktur Utama Dana Pensiun (Dapen) BTN Mas Guntur Dwi Sulistyanto mengatakan pihaknya mengambil langkah konservatif untuk mengantisipasi gejolak di pasar keuangan imbas dari pandemi COVID-19.

"Sejak kuartal II lalu, perseroan telah menggelar sejumlah langkah antisipatif. Kami sudah merevisi target investasi dan memilih lebih konservatif," ujar Mas Guntur dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Mas Guntur mengatakan strategi konservatif yang digelar Dapen BTN tetap mengedepankan dan menjaga Rasio Kecukupan Dana (RKD) tetap di atas 100 persen.

"Per Agustus 2020, RKD Dapen BTN masih terjaga pada posisi aman di 107,2 persen," kata Mas Guntur.

Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Bambang Sri Muljadi menuturkan gejolak di bursa saham telah menggerus nilai aset investasi saham dapen.

Biasanya, porsi aset saham terhadap total investasi dana pensiun mencapai sekitar 12 persen. Saat ini, porsi aset saham turun menjadi sekitar 8 persen dari total investasi dapen. Artinya, ada penurunan nilai investasi sekitar 4 persen.

Itu sebabnya, Bambang memperkirakan ada beberapa dapen yang mengalami penurunan RKD. Begitu pula, jumlah dapen yang memiliki RKD di atas 100 persen diperkirakan berkurang.

"Memang tidak semua dapen akan mengalami penurunan RKD. Sebab, ada dapen yang mengantisipasi penurunan nilai aset dengan memegang surat berharga hingga jatuh tempo sehingga tidak terjadi selisih investasi yang akan mempengaruhi RKD," ujar Bambang.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dari total dana pensiun pemberi kerja yang menjalankan program pensiun manfaat pasti atau DPPK-PPMP, jumlah dapen yang memiliki RKD di atas 100 persen hanya sebanyak 65 dapen atau 39,63 persen.

Sementara itu, sisanya memiliki RKD di bawah 100 persen. Perinciannya, sebanyak 47,56 persen dari total DPPK-PPMP memiliki RKD di atas 75 persen hingga 100 persen, sebanyak 9,76 persen memiliki RKD lebih dari 50 persen hingga 75 persen, sementara 3,05 persen dari total DPPK-PPMK memiliki RKD kurang dari 50 persen.

Menurut Bambang, ada beberapa faktor yang menyebabkan dapen memiliki RKD di bawah 100 persen. Pertama, kenaikan gaji karyawan yang tidak diikuti dengan kenaikan iuran dari pemberi kerja.

Bambang mengatakan kenaikan gaji karyawan akan mempengaruhi penghasilan dasar pensiun (PhDP). Saat PhDP naik, pemberi kerja semestinya juga menaikkan iuran.

"Jika tidak dilakukan, akan menggerus RKD karena rasio kebutuhan likuiditas berdasarkan aktuarial naik tapi iuran dari pemberi kerja tidak bertambah," kata Bambang.

Kedua, iuran yang masuk ke dapen dari pemberi kerja kurang tepat. Jika iuran tidak tepat, pengurus dapen tidak bisa segera menginvestasikan iuran tersebut.

Ketiga, penggunaan asumsi bunga teknis atau bunga aktuaria yang tinggi. Menurut Bambang, ada pendiri dapen yang memang mematok tingkat bunga teknis yang tinggi. Tujuannya, untuk memperkecil kontribusi yang harus disisihkan oleh pendiri.

Karena asumsi tingkat bunga aktuaria yang digunakan tinggi, pengurus dapen harus lebih agresif dengan menempatkan investasi pada instrumen berisiko tinggi. Hal ini akan mempengaruhi kewajiban atas pemenuhan manfaat peserta.

"Masalah muncul jika pencapaian hasil usaha berada di bawah bunga teknis. Jika pengurus dapen tidak bisa mendapatkan tingkat hasil investasi sesuai dengan tingkat bunga teknis, maka rasio kecukupan dana akan tergerus," ujarnya.

Baca juga: Erick berencana bentuk "holding" dapen guna sejahterakan pensiunan
Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan dan asosiasi dapen ajak investor beli saham
Baca juga: IHSG anjlok, Wamen BUMN: Kita akan galang dapen masuk ke pasar saham

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020