Ciamis (ANTARA News) - Nyangku merupakan sebuah nama upacara adat untuk menghormati leluhur yang telah menyebarkan agama Islam di Tatar Galuh, daerah yang kini dikenal dengan Kabupaten Ciamis, bagian timur Jawa Barat.

Upacara itu digelar setiap tahunnya pada bulan Mulud pada kalendar Islam, di wilayah Kecamatan Panjalu. Kecamatan itu diyakini sebagai pusat Kerajaan Panjalu pada masa lalu.Upacara itulah yang dilaksanakan pada Kamis (11/3).

Acara yang digelar di Panjalu itu berlangsung hikmat dengan disaksikan ribuan masyarakat dari berbagai daerah, termasuk warga dan sesepuh Panjalu dan para pejabat pemerintah daerah Kabupaten Ciamis.

Menurut cerita yang terus diturunkan secara lisan di masyarakat Panjalu, Nyangku merupakan ungkapan terima kasih kepada sesepuh bernama Borosngora, yang telah membawa Islam ke wilayah Panjalu.

Sebagai ungkapan terima kasi itu,hingga sekarang masyarakat Panjalu tetap menjaga kelestarian alam dan budaya, dan tetap menggelar upacara Nyangku.

Berkat Borosngora pula, daerah itu memiliki nama besar karena dari sana berkembang agama Islam ke daerah yang lebih luas.

Namun, masyarakat setempat tidak mengetahui keberadaan makam Borosngora. Sedangkan anak dari Borosngora, yaitu Prabu Hariang Kencana Putra dimakamkan di Situ Lengkong.

Makam Hariang Kencana terdapat di sebuah pulau yang disebut dengan Nusa Larang di tanah seluas 40 hektare di tengah Situ Lengkong yang memiliki luas sekitar 70 hektare. Makam itu menjadi tempat ziarah upacara adat Nyangku.

Upacara itu dimulai dengan menggelar doa bersama kepada leluhur Panjalu. Kemudian diakhiri dengan membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Panjalu, termasuk sebuah perkakas utama sebuah pedang milik Borosngora.

Menurut cerita yang diyakini masyarakat setempat, pedang tersebut merupakan pemberian dari Sayidina Ali bin Abi Thalib RA kepada Borosngora sebagai hadiah telah lulusnya Borosngora belajar agama Islam di Mekah.

Hingga sekarang oleh masyarakat Panjalu di Tataran Galuh, pedang itu dianggap sebagai benda sakral. Masyarakat setempat meyakini bahwa air bekas mencuci pedang itu memiliki berbagai khasiat.

Sekarang benda-benda pusaka itu disimpan di sebuah tempat khusus. Tempat itu ada di museum yang disebut dengan Bumi Alit yang sering dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah.

Sementara itu, upacara Nyangku dengan membersihkan benda pusaka dilaksanakan secara hati-hati dengan menggelar adat dan tradisi yang teratur dan sakral.

Benda pusaka tersebut dibawa oleh para warga mengenakan pakaian khas adat sunda serta pakaian Muslim secara beriringan. Benda itu dibawa dari Bumi Alit menuju pulau Nusa Larang di Situ Lenkong yang berjarak sekitar 500 meter.

Musik rebana mengiring iring-iringan dengan berjalan kaki tersebut, dari Bumi Alit menuju Situ Lengkong. Rombongan menyeberangi Situ Lengkong menggunakan perahu menuju Nusa Larang tempat dimakamkannya Hariang Kencana.

Di tempat tersebut para pembawa benda pusaka dan sesepuh Panjalu menggelar doa dan shalawat kepada Nabi Muhammad dipimpin oleh juru kunci Bumi Alit, Aleh Wira Atmaja.

Usai shawalat di Nusa Larang benda pusaka tersebut dibawa kembali ke alun-alun Panjalu untuk dibersihkan di hadapan ribuan orang dan para pejabat pemerintah daerah.

Upacara penghormatan tersebut, kata Bupati Ciamis Engkon Koswara, bukan mengacu pada musyrik, melainkan pengabdian masyarakat sunda di Ciamis khususnya masyarakat Panjalu yang menghormati para leluhur, dan syariatnya memuji syukur kepada Allah SWT.

"Beberapa hal yang bisa diambil maknanya, acara Nyangku itu bukan musyrik, bukan menyembah alat-alat, bukan untuk menyembah keris, tetapi sebagai simbol penghormatan," kata Enkon.

Ia menjelaskan, acara tersebut sebagai penghormatan atas jasa-jasa leluhur yang telah bekerja keras dengan sekuat tenaga mendirikan negara, dan menyebarkan ajaran agama Islam di Tatar Galuh Ciamis melalaui Panjalu.

Untuk itu Bupati khawatir apabila upacara Nyangku hilang begitu saja, apalagi seiring berkembangnya zaman dengan generasi masyarakat yang terus berlanjut.

Menurut Bupati, seperti diamanatkan Borosngora, yang telah memberikan kehidupan bermakna dengan menyebarkan ajaran agama Islam kepada seluruh warga Panjalu dan Ciamis, hingga kini masyarakat setempat tetap berpegang teguh pada Islam.

"Ini sebagai semangat dan dorongan bahwa budaya itu harus diteruskan, karena kalau tidak kita akan kehilangan obor," katanya.(KR-FPM/S018)

Oleh Feri Purnama
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010