Kuala Lumpur (ANTARA News) - Amnesty International pada Rabu mendesak Malaysia untuk mengakhiri perlakuan mengerikan terhadap pekerja migran.

Banyak pekerja migran diperkosa, dianiaya dan tidak dibayar dan mengalami kondisi "mirip ikatan perbudakan utang" (bonded labor).

Dalam laporan itu Amnesty menuduh Malaysia "memfasilitasi" perdagangan manusia. Tuduhan itu menyusul terungkapnya kasus pejabat-pejabat imigrasi yang menyerahkan tahanan-tahanan asal Myanmar kepada geng di perbatasan Thailand.

Malaysia adalah salah satu importir terbesar tenaga kerja di Asia. dengan jumlah tenaga kerja 2,2 juta. Amnesty mengatakan para buruh migran sangat sering "terpancing" ke Malaysia dan "digunakan dalam kerja paksa atau dieksploitasi dengan berbagai cara."

"Para pekerja, kebanyakan dari Bangladesh, Indonesia dan Nepal, dipaksa bekerja dalam keadaan berbahaya, sering bertentangan dengan kemauan mereka, dan bekerja selama 12 jam sehari atau lebih," tulis kelompok itu dalam pernyataan seperti dikutip dari AFP.

"Kebanyakan mengalami kekerasan secara verbal, fisik dan seksual," tambah pernyataan itu.

Amnesti mengatakan sebagian besar pekerja meminjam sejumlah besar uang untuk membayar agen perekrut untuk mendapatkan pekerjaan tapi akhirnya mereka diberi janji kosong dan tidak mampu pulang.

"Beberapa berada dalam situasi mirip dengan bonded labor," tulis pernyataan itu. Amnesty menulis bahwa undang-undang Malaysia memungkinkan pengusaha menahan paspor pekerja sehingga meraka tidak bisa pergi dari tempat kerja yang sewenang-wenang karena takut ditangkap.

"Pemaksaan seperti ini adalah indikator adanya praktik tenaga kerja paksa," tulis pernyataan itu.

Amnesty mengatakan temuannya berdasarkan wawancara dengan lebih dari 200 pekerja migran. Banyak dari mereka mengisahkan cerita mengerikan mengenai kekerasan, pemukulan, diancam akan dibunuh, atau paling ringan tidak dibayar meski padahal sudah lama bekerja.

Seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia, mengatakan dia diperkosa dua kali dan "dihadiahi" setrika panas oleh majikannya gara-gara lambat mengangkat telepon.

"Saya tidak tahu mengapa dia menyuruh saya mematikan setrika. Lalu dia membentak, 'setrikanya sudah panas?!' kemudian dia berusaha menyetrika saya. Setrika didorong ke tubuh saya," kata seorang pekerja yang tidak disebutkan identitasnya.

Pekerja lain yang bernama Mawar datang ke Malaysia saat berumur 15 tahun. Dia mengatakan agen perekrutnya membakar payudaranya dengan rokok, dan memaksa dia membersihkan lantai dengan lidahnya "seperti seekor anjing".

"Lain waktu agen memaksa saya untuk makan lima kecoa hidup-hidup. Dia juga memaksa saya minum air seni pekerja lain," kata Mawar yang tidak disebutkan kebangsaannya.

Amnesty juga mendokumentasikan lebih dari selusin kasus tentang pegawai imigrasi Malaysia yang diduga menyerahkan tahanan asal Myanmar ke pedagang manusia yang beroperasi di perbatasan Malaysia-Thailand antara tahun 2006 dan 2009.

"Pemerintah Malaysia punya bertanggung jawab mencegah perlakuan keji, tetapi mereka malah memfasilitasi perdagangan melalui peraturan yang longgar tentang agen perekrutan dan melalui hukum serta kebijakan yang tidak bisa melindungi pekerja," tulis pernyataan itu.

Seorang pejabat kementerian dalam negeri, yang mengawasi departemen imigrasi menyatakan tidak akan menanggapi tuduhan sampai memiliki
kesempatan untuk mempelajari laporan itu.

Amnesty mengatakan bahwa para pekerja sering menghadapi razia membabi buta dari pihak berwenang dan tuntutan suap dari polisi.

Bagi mereka yang tidak dapat membayar akan berakhir di pusat penahanan dalam kondisi menyedihkan.

Pemerintah Malaysia mengatakan tahun lalu bahwa mereka mempertimbangkan undang-undang baru untuk memperbaiki kondisi pekerja asing, setelah terus-menerus ada keluhan bahwa mereka tidak cukup melindungi.

"Sampai ada undang-undang perburuhan Malaysia yang memberikan perlindungan efektif dan berlaku efektif, eksploitasi akan terus ada, "kata Michael Bochenek, direktur kebijakan Amnesty yang menulis laporan itu.(ENY/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010