Tak seorang pun juga menyangka persoalan kesehatan itu merembet ke krisis sosial dan ekonomi.
Jakarta (ANTARA) - Kapan krisis pandemi berakhir? Menjelang tutup tahun 2020, kasus COVID-19 masih menunjukkan eskalasi meski seluruh negara terus berupaya menekan penyebaran sekaligus menanggulangi dampaknya.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat penyakit dari virus SARS CoV-2 ini terus menyebar dan hingga 19 Oktober 2020, kasus konfirmasi COVID-19 mendekati 40 juta secara global dengan 1,11 juta orang meninggal dunia.

Tak seorang pun juga menyangka persoalan kesehatan itu merembet ke krisis sosial dan ekonomi.

Sejumlah negara yang dulu membuka pintu baik perdagangan maupun lalu lintas manusia, kemudian saling menutup diri.

Baca juga: Gubernur BI bicara bauran kebijakan hadapi krisis COVID di forum IMF

Pembatasan dilakukan mulai bersifat semi hingga total penguncian wilayah atau lockdown.

Upaya itu dilakukan untuk menekan penyebaran COVID-19 yang menyebabkan ekonomi di negara miskin terguncang, ekonomi negara berkembang dan negara maju pun babak belur.

Hampir seluruh sendi ekonomi terdampak mulai usaha mikro dan kecil, kinerja industri manufaktur, sektor keuangan, perdagangan, ekspor impor hingga jasa seperti pariwisata.

Beberapa komoditas seperti minyak dunia yang diperdagangkan di kontrak berjangka West Texas Intermediate (WTI) anjlok menjadi minus 37,63 dollar AS per barel karena lesunya permintaan di Amerika Serikat maupun global.

Sementara itu, bursa saham di sejumlah negara juga anjlok pada awal Maret 2020 misalnya indeks saham Dow Futures di Amerika Serikat turun lebih dari 1.000 poin.

Bursa saham di negara lain juga turun di antaranya indeks saham Jepang Nikkei amblas 5,82 persen, indeks saham Hong Kong HangSeng turun 4,02 persen dan indeks saham Australia anjlok 6,34 persen.

Baca juga: WHO: Eropa, Amerika Utara harus belajar dari Asia seputar COVID-19

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat turun lima persen, bahkan Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat membekukan perdagangan beberapa kali yang saat itu menyentuh level di bawah 4.000.

Hingga saat ini, aktivitas ekonomi masih naik turun mengingat kondisi ekonomi global diwarnai ketidakpastian seiring kekhawatiran gelombang COVID-19 baru di Eropa.

Bank Dunia menyebut krisis akibat pandemi COVID-19 ini menimbulkan resesi terburuk sejak Perang Dunia II. Setali tiga uang, IMF juga menyebut krisis ini terburuk sejak Depresi Besar tahun 1929 yang menjalar ke seluruh dunia.

Proyeksi ekonomi

Sejumlah lembaga internasional membuat proyeksi ekonomi global yang kontraksi selama tahun 2020.

Bank Dunia pada Juni 2020 mengeluarkan proyeksi ekonomi global kontraksi 5,2 persen.

Selanjutnya, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada Juni 2020 merilis proyeksi minus 7,6 hingga minus 6 persen.

Kemudian, pada September 2020 OECD kembali merevisi dengan perbaikan meski masih kisaran minus 4,5 persen.

Begitu juga, Dana Moneter Internasional (IMF) pada Oktober 2020 memproyeksi ekonomi global kontraksi 4,4 persen atau ada perbaikan dari proyeksi Juni 2020 mencapai 5,2 persen.

Baca juga: UNICEF mulai amankan ratusan juta jarum suntik untuk vaksin COVID

Proyeksi itu menguatkan keadaan di sejumlah negara yang sudah mengalami resesi atau pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Inggris mengecap resesi pada kuartal I dan II-2020 kontraksi 1,7 persen dan 21,7 persen, begitu juga Jerman berturut-turut kontraksi 2,3 persen dan 11,7 persen.

Sementara itu, negara di kawasan ASEAN di antaranya Singapura juga sudah resesi pada kuartal I dan II masing-masing mencapai kontraksi 0,3 persen dan 12,6 persen serta Thailand mengalami resesi yakni negatif 2 persen dan 12,2 persen.

Indonesia masih lebih “beruntung” karena pada kuartal I-2020 tumbuh 2,97 persen dan kuartal II negatif 5,32 persen.

Baca juga: Pertumbuhan ekonomi RI tercatat lebih baik di antara negara G20

Pertumbuhan ekonomi global yang terpukul itu memberi dampak bertambahnya angka kemiskinan di seluruh dunia.

Bank Dunia memperkirakan pandemi ini mendorong 71 juta hingga 100 juta orang di seluruh dunia masuk ke jurang kemiskinan ekstrim tahun 2020 berdasarkan laporan yang dipublikasikan per 6 Agustus 2020.

Sementara itu, angka pengangguran juga meningkat sebagai dampak terhentinya aktivitas ekonomi industri.

OECD memproyeksi angka pengangguran pada April 2020 naik menjadi 8,4 persen dari posisi Maret 2020 sebesar 5,5 persen dengan perkiraan dari 18,4 juta menjadi 55 juta di 37 negara anggota.

AS mencatat pengangguran paling banyak yakni 15,9 juta orang.

Stimulus fiskal-moneter

Melonjaknya masalah sosial dan ekonomi mendorong para pemangku kebijakan di seluruh dunia mengerahkan semua kemampuannya untuk menyelamatkan masyarakat dan juga ekonominya.

Stimulus fiskal dan moneter menjadi senjata pamungkas yang diambil para pemangku kebijakan di seluruh dunia.

Menurut Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, gelontoran stimulus yang masif menjadi salah satu indikator pertumbuhan ekonomi global 2020 diperkirakan terjadi perbaikan, meski dunia masih diwarnai ketidakpastian.

Baca juga: Menkeu: Pemulihan ekonomi tidak hanya mengandalkan fiskal dan moneter

Pemberian stimulus pada masa pandemi menyebabkan defisit fiskal melebar serta tingkat utang di banyak negara melonjak.

IMF dalam Outlook Ekonomi Dunia pada Oktober 2020 mencatat proyeksi rasio utang tahun 2020 di sejumlah negara di antaranya Amerika Serikat mencapai 131,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau naik dari tahun 2019 mencapai 108,7 persen.

Jepang rasio utangnya mencapai 266,2 persen terhadap PDB atau naik dibandingkan tahun 2019 mencapai 238 persen, Kanada diproyeksi memiliki rasio utang 114,6 persen terhadap PDB.

Negara lain yang rasio utangnya di atas 100 persen di antaranya Italia (161,8), Prancis (118,7) dan Inggris (108).

Sementara itu, proyeksi utang China juga meningkat menjadi 61,7 persen dari tahun 2019 mencapai 52,6 persen terhadap PDB.

Negara tetangga yakni Malaysia rasio utangnya diproyeksi meningkat tahun ini menjadi 67,6 persen dari tahun sebelumnya mencapai 57,2 persen terhadap PDB.

Thailand juga diproyeksi meningkat rasio utangnya dari 41,1 persen pada 2019 menjadi 50,4 persen terhadap PDB.

Sementara itu, rasio utang Indonesia masih lebih rendah yakni diproyeksi mencapai 38,5 persen terhadap PDB atau naik dibandingkan posisi 2019 mencapai 30,5 persen terhadap PDB.

Indonesia menganggarkan Rp695,2 triliun untuk penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) dengan besaran defisit fiskal mencapai 6,34 persen

Anggaran itu untuk kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, dukungan UMKM, pembiayaan korporasi dan sektoral kementerian/lembaga dan pemda.

Baca juga: Erick: Inggris apresiasi Indonesia mampu tekan dampak COVID

Selain stimulus fiskal, stimulus moneter juga dikerahkan di antaranya Amerika Serikat yakni suku bunga nol hingga 0,25 persen dan diproyeksi tetap mendekati nol hingga 2023.

China juga memperluas fasilitas re-lending dan re-diskon untuk sektor manufaktur alat medis serta menurunkan reverse repo rate tenor tujuh dan 14 hari sebesar 30 basis poin.

Bank Indonesia (BI) menginjeksi likuiditas di perbankan mencapai Rp667,6 triliun melalui penurunan giro wajib minimum Rp155 triliun dan ekspansi moneter Rp496,8 triliun per 9 Oktober 2020.

Tingkat suku bunga acuan juga diturunkan yang pada Oktober 2020 kembali dipertahankan pada level empat persen.

Pemerintah RI dan BI kemudian berbagi beban untuk pembiayaan PC-PEN.

Upaya inklusif

Kebijakan fiskal dan moneter dapat menjadi bantalan guna mendorong pemulihan. Namun dalam jangka panjang, perlu upaya berkelanjutan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan negara harus menggunakan instrumen selain fiskal dan moneter seperti transformasi struktural di antaranya omnibus law yang akan mempermudah masa transisi.

Restorasi perdagangan dan aliran modal juga diperlukan setelah sejumlah negara menutup diri karena COVID.

Dalam mendesain pemulihan ekonomi, lanjut dia, juga harus melihat dari sisi gender khususnya peran wanita karena dampak COVID-19 banyak menimpa wanita.

Selain itu, lanjut dia, pemulihan hijau lebih ditekankan mengingat perubahan iklim berpotensi meningkatkan kemungkinan wabah penyakit, menyebabkan pandemi dan krisis kesehatan publik yang sama atau bahkan lebih buruk dari pandemi COVID-19.

Krisis akibat pandemi COVID-19 ini bisa dikatakan masih jauh dari kata akhir. Namun yang pasti para peneliti dari seluruh dunia berlomba menemukan vaksin, penawar yang ditunggu-tunggu.

Setidaknya, ini menjadi asa bahwa virus corona sekaligus krisis ekomomi bisa diakhiri.

Tentunya, seperti kata Presiden Joko Widodo bahwa semua negara harus mendapatkan akses vaksin yang setara. Untuk itu, kerja sama nasional dan internasional diperlukan agar semuanya menjadi bagian dari solusi.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020