Jakarta (ANTARA) - Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menyatakan dalam setahun periode kedua Presiden Joko Widodo mempunyai banyak prestasi tapi masih ada juga pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.

Pakar politik Boni Hargens dalam keterangannya, Selasa. mengatakan dalam bidang politik penilaian pertama adalah dimana konsolidasi demokrasi berjalan dengan baik di tingkat pranata politik yang ditandai oleh menguatnya prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kedemokratisan sebagai ukuran dari terselenggaranya tata kelolah pemerintahan yang baik dan pemerintah yang bersih (good governance and clean government).

Meski demikian katanya masih ada catatan. Penguatan nilai-nilai demokrasi di dalam birokrasi masih menjumpai tantangan dengan mengakarnya kelompok radikal keagamaan dalam birokrasi dan pemerintahan sebagai warisan dari masa lalu.

"Mekanisme checks and balances antara pemerintah dan DPR berjalan baik secara prosedural, namun publik masih meragukan fungsi kontrol DPR terhadap pemerintah karena konstelasi parlemen yang kurang berimbang antara partai pemerintah dan partai oposisi," ujarnya.

Menurut Boni, ini bukan salah partai pemerintah tetapi karena partai oposisi belum memperlihatkan praktik oposisi yang cukup bermutu dalam proses legislative dan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan secara menyeluruh.

Boni menjelaskan manajemen kekuasaan di internal pemerintah, kalau dibaca secara kualitatif, tidak begitu mendapat respons positif dari publik. Ada kesan bahwa presiden berjalan sendiri dan para menterinya sibuk dengan urusan masing-masing. Selain itu, peran strategis publik relations istana tidak begitu kelihatan dalam membentuk persepsi publik terkait kinerja dan citra pemerintah.

Akibatnya, presiden digebuk oleh lawan-lawan politiknya untuk isu yang tidak seharusnya menjadi tanggungjawab presiden. Skandal Jiwasraya adalah warisan presiden sebelumnya, tetapi opini publik memberi kesan seolah-olah ini dosa pemerintahan Jokowi.

Dalam hal macam ini, lingkaran dalam istana harusnya tahu harus berbuat apa. Sebagai catatan, untuk tahun yang akan datang, sangatlah urgen bagi presiden untuk menata kembali konstelasi "lingkaran dalam istana" untuk menyelamatkan wibawa presiden sendiri dan, terutama, untuk menjamin stabilitas politik dengan kepercayaan pasar terhadap pemerintah.

Kedua, konsolidasi demokrasi di level akar rumput berjalan dinamis dan masih fluktuatif. Negara menjamin kebebasan sipil (civil liberties) dan hak politik (political rights) masyarakat dengan adanya berbagai perangkat hukum yang mendukung terselenggaranya prinsip pokok demokrasi tersebut.

Namun, lemahnya oposisi parlemen membawa konsekuensi pada kebangkitan oposisi jalanan sebagai alternatif untuk menjaga keseimbangan antara kehendak publik dan realitas penyelenggaraan pemerintahan. Narasinya bagus, tetapi implementasinya prolematik.

Hal itu terjadi karena para elite yang mewakili masyarakat sipil dalam menghidupkan “oposisi jalanan” umumnya mereka yang pernah berada dalam kekuasaan. Hal itu menyebabkan krebilitas mereka diragukan. Selain itu, narasi yang mereka bangun juga cendrung insinuatif dan provokatif sehingga masyarakat melihat mereka sebagai “petualang politik” ketimbang penyambung lidah rakyat. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) adalah contoh oposisi jalanan yang kontraproduktif.

Mereka ingin mengisi ruang oposisi yang kosong tetapi para elitenya kurang kredibel dan isu yang mereka usung juga kental dengan nuansa libido kekuasaan.

Pada saat yang sama, kelompok ideologis yang sejak awal tidak menyukai kaum nasionalis terus melakukan penetrasi ruang public dengan gerakan dan narasi kontrapemerintah yang berbalutkan simbol-simbol keagamaan. Hizbut Tahir Indonesia yang secara legal sudah dibubarkan terus hidup di tengah masyarakat dengan jubah baru.

Baca juga: Puan: Satu tahun pemerintahan hadapi banyak tantangan

Baca juga: Setahun Jokowi-Ma'ruf, pemerintah beri insentif hingga kemudahan UMKM

Baca juga: PDIP: Konsolidasi politik dan pemerintahan modal penting

Mereka bersatu dengan sejumlah ormas keagamaan dan partai politik untuk menekan pemerintah dan memobilisasi dukungan masyarakat dalam rangka memperkuat sentimen “pemerintah dan demokrasi gagal”. Kelompok ini ingin mendirikan bangunan demokrasi yang bernuansa kitab suci.

Sayangnya, kelompok ini mendapat dukungan yang kuat dari sempalan partai oposisi, tokoh publik, dan bekas pejabat yang kecewa dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kristalisasi gerakan terjadi dan tekanan terhadap pemerintah menguat.

"Isu Omnibus Law Cipta Kerja pada hakikatnya isu buruh. Namun, mereka memanfaatkan isu buruh untuk menyudutkan pemerintah. Implikasinya cukup rumit karena ada pengaburan kepentingan buruh di sana yang cukup mengganggu sehingga public menjadi bingung soal mana yang berjuang demi buruh dan mana penumpang gelap," ujarnya.



 

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020