Beijing (ANTARA News/Reuters) - China mengungkapkan amarah dan penentangan keras Kamis setelah AS mengirim dua bersaudara Uighur yang ditahan di penjara militer Amerika di Teluk Guantanamo, Kuba, ke Swiss.

Pengumuman mengenai pemindahan kedua orang Uighur itu disampaikan oleh Kementerian Kehakiman AS pada Rabu.

Beijing pada masa silam menuntut agar orang-orang Uighur yang ditahan di Guantanamo dikirim kembali ke China. Pemerintah AS menyatakan tidak bisa melakukan hal itu karena orang-orang itu akan menghadapi penyiksaan, dan selama beberapa bulan mencari negara yang bersedia menerima mereka.

"Kami menolak keras langkah AS melindungi para tersangka itu di sebuah negara ketiga, dan menentang setiap negara yang menerima mereka," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Qin Gang pada jumpa pers.

"Kami telah mengirim protes keras kami ke negara-negara yang bersangkutan," tambah Qin.

Kedua orang yang dipindahkan ke Swiss itu adalah Arkin Mahmud dan Bahtiyar Mahmud, kata pengacara mereka.

Orang-orang itu ditangkap oleh pemerintah AS selama perang Afghanistan yang diluncurkan setelah serangan-serangan 11 September 2001 di AS.

Orang Uighur beragama Islam dan merupakan penduduk asli Xinjiang, China barat jauh.

Dalam kekerasan etnik pada Juli 2009, orang-orang Uighur menyerang warga mayoritas China Han di Urumqi, ibukota provinsi Xinjiang, setelah turun ke jalan untuk memprotes penyerangan terhadap pekerja Uighur di sebuah pabrik di China selatan pada Juni yang menewaskan dua orang Uighur.

Beijing mengatakan, sedikitnya 197 orang tewas dalam kerusuhan pada 5 Juli di Urumqi antara orang-orang minoritas Uighur dan kelompok enik dominan China Han. Lebih dari 1.600 orang juga terluka dalam kerusuhan tersebut.

Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra dan Istambul setelah kerusuhan itu.

Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian".

Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan.

Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang.

Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran.

Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil gas alam terbesar China.

Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri.

Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas muslim Uighur.

Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi China Han. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010