Calon presiden dari Demokrat yang juga mantan wakil presiden AS Joe Biden dan istrinya Jill Biden melambaikan tangan setelah ia menerima nominasi presiden Demokrat 2020 dalam Konvensi Nasional Demokrat 2020 yang dilakukan secara daring dari Chase Center di Wilmington, Delaware, Amerika Serikat, Kamis (20/8/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque/WSJ/cfo (REUTERS/KEVIN LAMARQUE)


Agresif pada momen terakhir

Seperti halnya saat Trump menang ketika Republik juga menguasai baik Senat maupun DPR, Biden dan Demokrat juga berpeluang melakukan hal sama pada pemilu 2020. Malah mungkin lebih telak.

Indikasi ini bahkan diutarakan sendiri oleh kawan seiring Trump. Salah satunya senator Republik, Ben Sasse, yang mengingatkan kolega-koleganya bahwa kali ini mereka akan menelan kekalahan besar dalam pemilu 2020.

Sasse juga terang-terangan mengkritik cara Trump mengelola pemerintahan, khususnya dalam menangani pandemi virus corona. Dia menyebut sikap bebal presiden bakal menciptakan erosi besar dalam konstelasi suara pada pemilu 3 November nanti.

Tidak cuma Ben Sasse yang was-was Republik kalah telak.

Sekutu-sekutu terpercaya Trump seperti Senator Ted Zruz juga begitu. Bahkan tokoh senior Republik di Senat yang juga mitra bermain golf Trump, Senator Lindsey Graham, sudah mengibarkan bendera putih dengan berkata kepada kubu Demokrat bahwa "Anda semua punya peluang bagus untuk memenangkan Gedung Putih."

Baca juga: Partai Demokrat resmi usung Joe Biden sebagai capres AS
Baca juga: Penasihat Joe Biden bentuk tim pergantian presiden AS


Sekalipun Demokrat dan tim kampanye Joe Biden berusaha hati-hati karena pengalaman pada pemilu-pemilu sebelumnya yang menjadi pihak yang diunggulkan tapi malah kalah, khususnya saat Al Gore dan Clinton menjadi calon presiden mereka masing-masing pada pemilu 2000 dan 2016, posisi Biden dalam kebanyakan jajak pendapat semakin kuat saja.

Empat tahun silam Clinton mengungguli Trump dalam selisih 6,7 persen. Namun tiga pekan menjelang pemungutan suara Trump memangkas defisit itu sampai 3,2 persen sehingga terlalu tipis untuk meyakini Clinton bakal menang.

Sebaliknya, yang terjadi saat ini kebanyakan jajak pendapat justru konsisten menempatkan Biden unggul dengan marjin lebih lebar ketimbang yang dinikmati Clinton pada 2016. Terakhir jajak pendapat New York Times/Siena College menyimpulkan marjin keunggulan Biden secara nasional sebesar 9 persen. Angkanya antara 52 persen melawan 43 persen.

Biden juga mencatat selisih suara cukup lebar di negara-negara bagian suara mengambang penting yang menjadi medan pertempuran suara yang ketat, yakni Pennsylvania dan Wisconsin.

Bukan hanya itu Biden juga menempel ketat Trump di Texas, Georgia dan Ohio yang selama ini dikuasai Republik.

Baca juga: Biden ungguli Trump 8 poin dalam hasil 'polling' opini pemilih

Konsensus pakar selama ini menyatakan selisih tipis di Texas akan mengartikan pemilu bakal dimenangkan Demokrat dalam selisih besar. Dalam kata lain, Trump kemungkinan kalah telak.

Di permukaan, Trump menepis hasil rangkaian jajak pendapat itu sebagai palsu.

Tetapi fakta lain menunjukkan dia secara tidak langsung mempercayai apa yang dia sanggah itu dengan habis-habisan berkampanye menjelang hari pemungutan suara 3 November. Tujuannya, tak lain dan tak bukan adalah memangkas defisit dalam jajak pendapat itu.

Tidak seperti Biden yang tetap menghormati protokol COVID-19, Trump agresif maraton berkampanye yang bahkan dalam sehari bisa mendatangi tiga tempat berbeda.

Media dan banyak kalangan pakar di AS meyakini Trump berusaha menduplikasi taktik yang empat tahun silam sukses membalikkan angka jajak pendapat.

Dan sama dengan empat tahun silam ketika melancarkan serangan pribadi untuk mencederai citra Hillary Clinton lewat eksploitasi integritasnya yang memang determinan dalam pemilu AS.

Baca juga: Trump, Biden saling serang dalam debat pilpres pertama

Selanjutnya debat terakhir

Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2020