"Atlet tidak lagi bisa dibungkam."
Marketplace demonstrasi

Momentum yang membuka aktivisme atlet dalam skala besar adalah terbunuhnya warga kulit hitam Amerika Serikat George Floyd oleh polisi kulit putih pada 25 Mei 2020 yang memicu gerakan Black Lives Matter yang tidak hanya terjadi di negeri itu tetapi juga menjalar ke seluruh dunia.

Gerakan Black Lives Matter itu mendorong para atlet liga-liga olahraga termasyur dunia, termasuk NBA dan liga-liga sepak bola elite Eropa, menyampaikan gestur berlutut pada awal pertandingan sebagai tanda solidaritas untuk perjuangan keadilan ras.

Aktivisme atlet dengan berbagai motif dan ekspresinya oleh beberapa pihak dianggap mengancam kemurnian misi olahraga. Lalu muncul kekhawatiran turnamen-turnamen olah raga termasuk Olimpiade Tokyo tahun depan bakal menjadi ajang protes.

Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach sampai-sampai menengarai Olimpiade Tokyo ini bisa menjadi "marketplace demonstrasi".

Bach tidak melarang atlet mengekspresikan suara hatinya tapi Bach tak mau itu diutarakan di lapangan dan saat seremoni medali seperti dilakukan Mack Horton dalam Kejuaraan Dunia Renang 2019.

Bach menulis di koran Inggris The Guardian bahwa “atlet itu mempersonifikasikan nilai-nilai keunggulan, solidaritas, dan perdamaian. Mereka mengekspresikan keinklusifan dan saling menghormati yang juga netral secara politik di lapangan dan selama seremoni (medali)."

“Kadang-kadang fokus olahraga ini perlu diselaraskan dengan kebebasan berbicara yang dinikmati pula oleh semua atlet dalam Olimpiade. Inilah alasan ada aturan di lapangan pertandingan dan seremoni demi melindungi spirit olahraga ini," sambung Bach.

Kekuatan Olimpiade yang mempersatukan, kata Bach, hanya bisa terwujud jika setiap orang saling menunjukkan rasa hormat dan solidaritas. “Jika tidak, Olimpiade ini akan turun derajat menjadi marketplace demonstrasi dari berbagai jenis, yang memecah belah, bukan menyatukan dunia.”

Apakah imbauan Bach itu terwujud di Tokyo tahun depan nanti? Bisa jadi. Tetapi sejumlah atlet seperti Megan Rapinoe menolak mentah-mentah larangan tidak berprotes selama Olimpiade. Bahkan atlet-atlet AS dan legenda atletik John Carlos menyatakan kepada IOC bahwa "Atlet tidak lagi bisa dibungkam."

Kotak Pandora tampaknya sudah terbuka lebar-lebar. Atlet putra dan putri sudah tak tertahankan mengekspresikan suara hatinya di panggung krida ketika semua orang di seluruh dunia tercurah ke situ.

Atlet-atlet ini mungkin beranggapan kalau rezim dan pemimpin saja bisa mengeksploitasi sukses mereka sebagai sukses rezim dan pemimpin itu, mengapa atlet dilarang mengeksploitasi posisinya untuk bersuara menentang apa yang mereka anggap tidak sportif dan tidak adil selain menyuarakan nilai-nilai kehidupan mereka yang positif untuk khalayak.

Copyright © ANTARA 2020