Penurunan kinerja konsumsi rumah tangga tersebut menjadi pemicu utama kontraksi ekonomi Indonesia yang pada triwulan II 2020 mencapai minus 5,32 persen.
Jakarta (ANTARA) - “Saya tidak akan pernah berhenti mengingatkan kita semua bahwa jangan lah kita lelah mencintai Republik ini,” adalah rangkaian kata yang selalu didengungkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk memberi percikan semangat bagi seluruh masyarakat.

Rangkaian kata tersebut sekiranya merupakan simbol pantang menyerah seluruh elemen bangsa di saat negara tercinta sedang didera krisis pandemi COVID-19 yang mampu mengoyak hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Terlebih lagi sebenarnya Indonesia memiliki optimisme tinggi saat menyambut awal tahun ini mengingat sinyal positif dari ekonomi global yang pada tahun sebelumnya penuh gejolak seperti perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang mulai mereda.

Optimisme itu seakan terenggut ketika COVID-19 yang awalnya hanya menyerang Kota Wuhan, China, akhirnya merebak ke berbagai negara hingga resmi dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Maret.

Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020 memberikan kabar sangat mengejutkan bahwa dua Warga Negara Indonesia (WNI) terinfeksi COVID-19 yang otomatis merupakan kasus pertama bagi negara ini hingga seluruh masyarakat seketika panik.

Baca juga: Kemensos salurkan Rp107 triliun anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional

Dari dua kasus COVID-19 pertama yang terjadi pada Maret lalu tersebut hingga kurang lebih tujuh bulan telah berlalu krisis kesehatan ini masih enggan berakhir.

Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 total kasus COVID-19 di Indonesia sampai 24 Oktober 2020 mencapai 385.980 orang dengan 309.219 orang di antaranya dinyatakan sembuh dan 13.205 orang meninggal dunia.

Ekonomi merosot

Jumlah kasus COVID-19 yang terus meningkat akhirnya memaksa pemerintah untuk mengambil keputusan dalam rangka menekan penyebarannya yakni menginjak rem darurat melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Penekanan jumlah kasus yang sementara ini hanya dapat dilakukan dengan menjaga jarak selama vaksin belum tersedia menyebabkan masyarakat mengurangi sebagian besar aktivitasnya.

Kini mayoritas aktivitas masyarakat dilakukan dari rumah termasuk bekerja melalui sistem work from home (WFH), namun tidak semua sektor dapat menerapkan sistem kerja tersebut seperti sektor industri.

Sektor industri harus mengurangi jumlah karyawan yang bekerja setiap hari dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19 sehingga berimbas pada berkurangnya pendapatan dan tertekannya produktivitas.

Sektor lain seperti UMKM, pariwisata, transportasi, hingga perdagangan lebih tertekan seiring dengan semakin sedikit masyarakat yang berani beraktivitas normal seperti berpergian atau berbelanja.

Seiring dengan penurunan pendapatan maka perusahaan terpaksa mengurangi jumlah karyawan melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk menekan biaya operasional sehingga jumlah pengangguran meningkat.

Presiden Joko Widodo menyebutkan di tengah pandemi terdapat sekitar 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak COVID-19 serta 2,9 juta penduduk usia kerja baru setiap tahun.

Baca juga: Sri Mulyani: Penyerapan anggaran PEN di daerah perlu ditingkatkan

Peningkatan jumlah pengangguran sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk miskin yang diprediksikan Bappenas bertambah 2 juta orang pada akhir 2020 dibandingkan 2019.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang atau meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019.

Pandemi dan PSBB yang masih terus berlangsung hingga kini tentu akan semakin meningkatkan jumlah pengangguran maupun penduduk miskin Indonesia.

Sementara itu outlook tingkat kemiskinan pada tahun ini adalah sebesar 9,7 persen sampai 10,2 persen dengan target penurunan tingkat kemiskinan di level 9,2 persen hingga 9,7 persen untuk 2021.

Peningkatan jumlah masyarakat miskin tercermin pada penurunan kinerja konsumsi rumah tangga yang pada triwulan II 2020 mencapai 5,51 persen.

Penurunan kinerja konsumsi rumah tangga tersebut menjadi pemicu utama kontraksi ekonomi Indonesia yang pada triwulan II 2020 mencapai minus 5,32 persen.

Untuk kuartal III, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan masih akan berada di zona negatif namun lebih baik yaitu berada di sekitar minus 2,9 persen hingga minus 1 persen dengan konsumsi RT dan LNPRT minus 3 hingga 1,5 persen.

Untuk kuartal IV, Sri Mulyani mengupayakan agar pertumbuhan ekonomi mampu mendekati nol persen sehingga target pemerintah tahun ini yang sebesar minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen bisa tercapai.

Sementara itu, beberapa lembaga internasional yang awalnya optimis terhadap perekonomian Indonesia tahun ini pun turut merevisi proyeksinya akibat krisis pandemi COVID-19.

Baca juga: Presiden meyakini perekonomian Indonesia akan pulih

Dana Moneter Internasional (IMF) mengubah proyeksinya dari minus 0,3 persen menjadi minus 1,5 persen dan Bank Dunia mengubah di kisaran minus 2 persen sampai minus 1,6 persen dari sebelumnya di level nol persen.

Kemudian angka prediksi dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga lebih dalam dari sebelumnya yaitu minus 3,9 persen sampai minus 2,8 persen menjadi minus 3,3 persen.

Perluasan stimulus

Pemerintah tak gentar untuk berusaha mencapai target pertumbuhan tahun ini meskipun terus direvisi lebih dalam seiring aktivitas perekonomian masih tertekan karena pandemi belum berakhir.

“Berikan karya yang terbaik kepada semua,” tegas Menkeu Sri Mulyani.

Pengejaran target dilakukan dengan upaya meningkatkan konsumsi masyarakat yang berkontribusi sebesar 58 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Pemerintah mengeluarkan berbagai insentif untuk mendorong konsumsi masyarakat sehingga konsumsi pemerintah harus turut meningkat karena pada kuartal II terkontraksi 6,9 persen.

Konsumsi pemerintah pada kuartal III ditargetkan tumbuh positif mencapai kisaran 9,8 persen sampai 17 persen melalui adanya akselerasi belanja.

Akselerasi belanja salah satunya dilakukan dengan perluasan stimulus III sebagai pelengkap stimulus III yang telah dikeluarkan pada Maret sebesar Rp405,1 triliun untuk kesehatan masyarakat dan perlindungan sosial.

Stimulus III memakan anggaran hingga Rp695,2 triliun atau setara 4,2 persen dari PDB yang difokuskan untuk enam bidang yaitu kesehatan Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, dan UMKM Rp123,46 triliun.

Kemudian untuk pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, serta sektoral K/L dan Pemda Rp106,11 triliun dan insentif dunia usaha Rp120,61 triliun.

Realisasi program PEN tersebut hingga 14 Oktober 2020 telah mencapai 49,5 persen atau Rp344,11 triliun yang meliputi bidang kesehatan Rp27,59 triliun, dan perlindungan sosial Rp167,08 triliun.

Baca juga: Jalan panjang keluar dari himpitan resesi ekonomi

Selanjutnya insentif untuk sektoral K/L dan pemda terealisasi Rp28 triliun, dunia usaha Rp29,68 triliun dan dukungan untuk UMKM sebesar Rp91,77 triliun.

Untuk terus memaksimalkan penyerapan manfaat dari anggaran PEN, pemerintah turut mempercepat belanja dari enam bidang tersebut mulai Oktober 2020.

Percepatan belanja dilakukan dengan mengubah pola penyaluran misalnya untuk pembayaran insentif tenaga kesehatan dari tiga bulan sekali menjadi sekali dalam sebulan.

Tak hanya itu, program yang selama ini lambat penyerapannya juga akan direalokasikan untuk belanja di kelompok yang paling cepat terserap seperti perlindungan sosial dan UMKM.

Tambahan belanja dalam program perlindungan sosial di antaranya diarahkan untuk subsidi gaji yang telah terealisasi Rp13,98 triliun untuk 11,65 juta peserta dari target 15,7 juta orang

Hal itu dapat dilakukan karena anggaran PEN untuk perlindungan sosial meningkat dari Rp203,9 triliun menjadi Rp242,01 triliun karena adanya realokasi tersebut.

Realokasi turut dilakukan pada dukungan UMKM menjadi Rp128,05 triliun yang diarahkan untuk Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) dengan realisasi Rp14 triliun kepada 5,9 juta pengusaha mikro dari target Rp22 triliun.

Realokasi untuk perlindungan sosial dan UMKM dilakukan dari anggaran kesehatan Rp3,53 triliun, sektoral kementerian/lembaga dan pemda Rp34,57 triliun, dan program pembiayaan korporasi Rp4,55 triliun.

Harapan ekonomi membaik

Berbagai rangkaian stimulus yang telah digelontorkan sepanjang 2020 diyakini mampu terakselerasi pada 2021 sehingga pemerintah berani menargetkan pertumbuhan sebesar 5 persen.

Prediksi beberapa lembaga internasional terhadap ekonomi Indonesia 2021 pun sama optimisnya dengan pemerintah seperti IMF sebesar 6,1 persen, Bank Dunia 3 persen hingga 4,4 persen, ADB 5,3 persen, serta OECD 5,3 persen.

Pencapaian target akan semakin optimis saat pemerintah memutuskan untuk melanjutkan program PEN hingga 2021 dengan anggaran Rp356,5 triliun meliputi bidang kesehatan Rp25,4 triliun dan perlindungan sosial Rp110,2 triliun.

Kemudian dukungan UMKM Rp48,8 triliun, pembiayaan korporasi Rp14,9 triliun, pembiayaan sektoral dan pemda Rp136,7 triliun, serta insentif usaha Rp20,4 triliun.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan terdapat peluang perekonomian tumbuh positif pada tahun depan seiring dengan sejumlah stimulus dilanjutkan hingga 2021.

Namun Yusuf memberikan catatan bahwa harus ada evaluasi untuk insentif tahun ini karena akan menjadi pelajaran bagi pelaksanaan insentif 2021.

Baca juga: Pengamat: Indonesia lebih siap hadapi resesi dibanding krisis 1998

Pemerintah perlu melakukan persiapan secara maksimal agar penyerapan stimulus 2021 lebih maksimal sehingga mampu mendorong ekonomi tumbuh lebih baik dan mencapai target.

Kemudian harapan ekonomi membaik juga disampaikan oleh Direktur riset CORE Indonesia Piter Abdullah yang memprediksikan ekonomi Indonesia akan pulih secara penuh pada kuartal IV tahun depan.

Menurutnya, kebangkitan ekonomi 2021 mulai dirasakan sejak kuartal II karena ketersediaan vaksin mendorong euforia masyarakat untuk meningkatkan aktivitas, mengakselerasi konsumsi kemudian diikuti oleh perbaikan dunia usaha dan investasi.

“Adanya vaksin akan meningkatkan keyakinan pandemi akan berakhir tahun depan sehingga pemulihan ekonomi bisa dimulai,” katanya.

Pemerintah sendiri telah gencar menyiapkan vaksin dalam waktu dekat seperti yang dikatakan oleh Ketua Tim Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Airlangga memastikan tiga juta vaksin COVID-19 dari Sinovac siap masuk Indonesia akhir 2020 meski perlu waktu untuk kegiatan vaksinasi karena menunggu uji sertifikasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Pemerintah dalam mencari sumber-sumber vaksin melakukan diplomasi dan kerja sama dengan sejumlah negara baik secara bilateral maupun lewat mekanisme multilateral yang melibatkan organisasi/lembaga internasional.

Secara bilateral terdapat tiga produsen vaksin asal China yaitu Sinovac, Sinopharm, dan CanSino yang telah sepakat untuk menyediakan konsentrat vaksin COVID-19 bagi Indonesia.

Indonesia meneken kesepakatan untuk pengadaan 143 juta dosis konsentrat vaksin yang dimulai November 2020 dengan Sinovac, kemudian Sinopharm dan CanSino masing-masing 65 juta dan 15 juta hingga 20 juta konsentrat vaksin.

Dikutip dari “Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma’ruf: Bangkit untuk Indonesia Maju”, Sinovac juga berkomitmen mengadakan 3 juta dosis vaksin siap pakai yang akan dikirim secara bertahap pada November dan Desember.

Selain dengan China, Indonesia menjalin kerja sama vaksin dengan perusahaan teknologi G-24 asal Uni Emirat Arab (UAE) pertengahan Agustus dengan memasok 10 juta dosis vaksin melalui kerja sama dengan PT Kimia Farma.

Kemudian belum lama ini, Indonesia juga berhasil mengamankan 100 juta dosis vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh AstraZeneca yang diharapkan pengiriman pertama vaksin itu dapat dilakukan pada Maret 2021.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyatakan vaksin mampu memberikan harapan dalam proses pemulihan ekonomi karena masyarakat dapat leluasa melakukan aktifitas ekonomi.

“Ketika vaksin sudah lulus uji dan disepekati atau diterima oleh dunia internasional ini memberikan harapan terkait proses pemulihan ekonomi,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan kunci memulihkan ekonomi selama vaksin belum tersedia adalah dengan menggencarkan testing, tracing, treatment, dan bantuan sosial.

Hal tersebut harus dilakukan demi mengejar perbaikan ekonomi seperti yang telah berhasil dicapai oleh Vietnam dan China dengan masing-masing pertumbuhan kembali positif ke level 3,2 persen dan 0,3 persen pada kuartal II 2020.

Terlebih lagi, Bhima menyatakan distribusi vaksin di Indonesia memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit untuk menjangkau 269 juta penduduk Indonesia dengan kondisi geografis negara yang sangat luas.

“Kuncinya adalah testing, tracing dan treatment serta bantuan sosial yang memadai,” katanya.

Mengutip dari semangat dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, segala upaya pemerintah dan masyarakat yang saling bahu-membahu untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis pandemi ini pasti akan berhasil.

Sri Mulyani mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk tak kenal lelah dan putus asa serta terus berikhtiar dalam membangun dan memperbaiki Indonesia.

“Kita insya Allah berhasil. Oleh karena itu berdoa menjadi penting dan terus-menerus berikhtiar tanpa kenal lelah, tanpa kenal putus asa untuk terus memperbaiki dan membangun Indonesia ,” tegasnya.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020