Sanaa (ANTARA News) - Sekitar 350.000 orang masih mengungsi akibat perang di Yaman utara, atau lebih 100.000 dari angka perkiraan PBB sebelum gencatan senjata Februari antara pemerintah dan pemberontak Syiah, kata seorang menteri, Kamis.

"Jumlah terakhir yang kami miliki adalah 350.000 pengungsi, atau sekitar 50.000 keluarga, yang terdaftar," kata Ahmed al-Kahlani, menteri negara yang menangani masalah pengungsi dalam negeri, pada jumpa pers di Sanaa seperti dikutip AFP.

Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) mengatakan, sekitar 250.000 orang mengungsi selama enam babak perang antara militer dan pemberontak Syiah di wilayah utara. Babak terakhir berakhir pada 12 Februari setelah enam bulan pertempuran.

Kahlani mengatakan, berakhirnya perang itu membuat puluhan ribu orang bisa datang dan mendaftar di kementeriannya.

Ia menambahkan, Program Pangan Dunia PBB (WFP) mengalami kesulitan untuk memberikan bantuan kepada para penungsi di wilayah miskin itu, dan hanya lima hingga 10 persen dari mereka telah pulang kembali.

"Kami tidak bisa memaksa pengungsi pulang kembali karena kami tahu desa mereka hancur, khususnya mereka yang berada di jalur perbatasan dengan (Arab) Saudi dimana sejumlah desa hancur sepenuhnya," katanya.

Wakil UNHCR di Yaman, Claire Bouregois, mengatakan pada jumpa pers yang sama, keadaan di wilayah pemberontak di Saada "rapuh" meski telah diberlakukan gencatan senjata.

Jumpa pers itu juga dihadiri oleh utusan luar negeri Arab Saudi, Zouheir Idrissi, yang menjanjikan bantuan berarti negaranya untuk pengungsi di Yaman utara.

Pemberontak utara dan pemerintah telah menyetujui gencatan senjata untuk mengakhiri perang di kawasan tersebut. Sejumlah gencatan senjata sebelumnya tidak berhasil ditegakkan.

Gencatan senjata yang mulai berlaku Jumat (12/2) itu merupakan upaya terakhir pemerintah untuk mengakhiri pemberontakan di wilayah utara yang telah menewaskan ribuan orang dan mengakibatkan 250.000 orang mengungsi.

Kelompok pemberontak Zaidi atau Houthi, nama almarhum pemimpin mereka, berpangkalan di daerah pegunungan di perbatasan Arab Saudi, dimana mereka terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Yaman dan Saudi.

Pasukan pemerintah terlibat dalam pertempuran sporadis dengan kelompok Syiah itu sejak 2004.

Kekerasan di Yaman bagian selatan juga meningkat dalam beberapa waktu terakhir ini ketika separatis yang memprotes pemerintah Presiden Ali Abdullah Saleh bentrok dengan pasukan keamanan yang menewaskan tiga polisi dan lima pemrotes.

Ketegangan meningkat di Yaman selatan setelah seorang pemrotes tewas ditembak polisi pada 13 Februari. Insiden itu menyulut kerusuhan dimana separatis membakar pertokoan milik orang utara dan berusaha memblokade sebuah jalan utama.

Pihak berwenang melakukan operasi keamanan dan menangkap sekitar 180 orang di provinsi-provinsi selatan.

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh telah mendesak rakyat Yaman tidak mendengarkan seruan-seruan pemisahan diri, yang katanya sama dengan pengkhianatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Sanaa menyatakan, pasukan Yaman membunuh puluhan anggota Al-Qaeda dalam dua serangan pada Desember.

Kedutaan Besar Inggris di Sanaa juga menjadi sasaran rencana serangan bunuh diri Al-Qaeda yang digagalkan aparat keamanan Yaman pada pertengahan Desember.

Sebuah sel Al-Qaeda yang dihancurkan di Arhab, 35 kilometer sebelah utara ibukota Yaman tersebut, "bertujuan menyusup dan meledakkan sasaran-sasaran yang mencakup Kedutaan Besar Inggris, kepentingan asing dan bangunan pemerintah", menurut sebuah pernyataan yang dipasang di situs 26Sep.net surat kabar kementerian pertahanan.

Selain pemberontakan, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini.(*)

AFP/M014

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010