Sektor tekstil pun termasuk sektor yang terdampak penerapan instrumen ini karena sejumlah 792 pos tarif tekstil telah dikenakan NTM
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan terus mendorong peningkatan ekspor produk tekstil ke Turki karena negara tersebut jadi mitra penting bagi industri tekstil dalam negeri untuk bisa masuk rantai pasok global.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Marthin Kalit dalam webinar "Ekspor Produk Tekstil Indonesia ke Turki: Tantangan dan Peluang" di Jakarta, Selasa, mengatakan pasar Turki memiliki potensi cukup besar bagi industri tekstil Indonesia karena dua hal.

"Pertama, posisi Turki membentang dari tenggara Eropa sampai ke Asia Barat sehingga negara ini menjadi hub yang penting untuk menembus pasar Timur Tengah dan bahkan Afrika bagian utara," katanya.

Alasan kedua, yakni Turki merupakan produsen tekstil dan garmen utama dunia. Negara tersebut merupakan pemasok keenam terbesar dunia dan ketiga di Eropa.

"Dengan demikian, eksportir Indonesia bisa jadi pemasok bahan baku atau intermediate goods sehingga bisa masuk ke dalam rantai nilai pasok Turki," katanya.

Marthin mengungkapkan, serat staple buatan merupakan salah satu produk ekspor terbesar Indonesia ke Turki pada 2019 dengan nilai 366 juta dolar AS. Ada pun pada periode Januari-Agustus 2020, nilai ekspor produk tekstil Indonesia ke Turki mengalami penurunan signifikan sebesar 49,79 persen yoy dengan nilai 168,9 juta dolar AS.

Sayangnya, meski potensinya gemilang, pasar Turki merupakan pasar yang cukup menantang. Turki hanya mengikatkan 50,5 tarif bea masuk impornya kepada WTO. Dari keseluruhan pos tarif negara tersebut, 43 persen diantaranya merupakan produk industri.

"Artinya, sejumlah 49,5 persen pos tarif Turki tidak dikonsesikan bea masuknya kepada WTO. Dengan demikian Turki bebas menaikkan atau menurunkan bea masuk impor tersebut sesuai kepentingan nasionalnya tanpa digugat oleh negara anggota WTO lain," jelasnya.

Sejak 2014, Turki juga telah menaikkan tarif rata-rata 26 persen untuk produk furnitur, peralatan medis, perkakas, besi, baja, alas kaki, karpet dan tekstil. Hal itu dilakukan untuk melindungi produk lokal dan meningkatkan penerimaan negara.

"Tidak mengherankan ketika pandemi, Turki mengaktivasi instrumen tarif sebagai salah satu kebijakan extraordinary untuk selamatkan industri dalam negeri mereka," katanya.

Selain instrumen tarif, Turki juga menerapkan instrumen nontarif (Non Tariff Measures/NTM). Rasio penggunaan NTM Turki mencakup 60,74 persen dari total impor Turki dan 24,16 persen dari ekspor negara tersebut. Karena itulah, Turki juga masuk 10 besar negara dunia yang paling banyak menerapkan instrumen tersebut.

"Sektor tekstil pun termasuk sektor yang terdampak penerapan instrumen ini karena sejumlah 792 pos tarif tekstil telah dikenakan NTM," katanya.

Turki juga menggunakan instrumen trade remedies untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat praktik perdagangan tidak sehat. Indonesia pun masuk daftar negara yang paling banyak mendapatkan penyelidikan anti-dumping.

Kendati menghadapi banyak tantangan, Marthin mengatakan pemerintah menyadari potensi ekspor ke Turki dan terus melakukan upaya untuk terus membuka peluang pengembangan ekspor ke negara tersebut.

Pemerintah Indonesia pun telah melakukan sejumlah pendekatan diantaranya menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas dengan Turki dalam kerangka Indonesia Turkey Comprehensive Economic Partnership Agreement (IT-CEPA).

"Dalam perundingan ini diantaranya Indonesia menegosiasikan agar tidak terdapat additional tariff yang diterapkan. Indonesia juga mengupayakan agar terdapat perlakuan WTO plus agar Turki tidak memberlakukan BMAD (bea masuk anti dumping) dalam durasi terlalu lama terhadap produk ekspor Indonesia," terangnya.

Sementara itu, dari sisi penyelidikan trade remedies, pemerintah Indonesia terus mendukung eksportir untuk berpartisipasi dan bekerjasama dengan baik dalam setiap proses penyelidikan.

"Walaupun Turki cukup ketat dalam proses penyelidikan, kami yakin apabila upaya pembelaan dilakukan secara sinergis dan komprehensif di semua level maka akan diperoleh hasil yang positif," katanya.

Marthin menambahkan, Indonesia pernah berhasil membebaskan produk kertas pada 2015 dan produk baja pada 2018 dari tuduhan safeguards Turki.

Baca juga: Sektor hulu-hilir terintegrasi, Kemenperin kerek ekspor industri TPT
Baca juga: Kemenperin latih 200 industri TPT soal manajemen mutu



 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020