Denpasar (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengajak seluruh rakyat Indonesia bersama-sama melaksanakan empat langkah persiapan "pemulihan Indonesia" mengingat seringnya terjadi berbagai bencana.

Siaran pers Walhi yang diterima ANTARA di Denpasar, Senin menyebutkan, empat langkah itu yakni memperjuangkan pemulihan lingkungan di komunitas, desa, kampung, dan kota.

Kemudian mempertahankan seluruh sumber daya alam yang tersisa dari jarahan korporasi, menemukan, menguatkan dan mengakumulasi alternatif-solusi lokal maupun kearifan nenek moyang dalam memulihkan lingkungan hidup secara keseluruhan.

Selain itu, bersama-sama membangun proses dan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemulihan Indonesia untuk Keadilan Lingkungan.

M Teguh Surya selaku Kepala Departemen Kampanye Eksekutif Nasional Walhi mengingatkan, di negeri ini tiada hari tanpa bencana, bahkan berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam kurun 13 tahun terakhir terjadi 6.632 bencana.

"Itu artinya setiap hari muncul satu bencana. Setiap satu minggu terjadi 10 kali bencana yang terdiri banjir, kekeringan, longsor, badai dan kebakaran," ucapnya.

Berdasarkan fakta krisis dan bencana itu, katanya, menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya telah berada dalam situasi darurat ekologis. Rakyat harus memerdekakan dirinya sendiri dan berdaulat atas sumber daya alam yang ada.

Menurut Teguh, kekayaan yang ada belum diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengerukan lahan/hutan, air, bahan mineral, isi laut dan sumber daya alam lainnya, hingga masa 65 tahun kemerdekaan masih terjadi dan berjalan secara sistemik.

Rezim berkuasa dinilai belum memperhatikan kerusakan dan kehancuran lingkungan yang berkelanjutan. Bencana ekologis semakin meluas dan bertahan dalam waktu yang lebih lama.

Kekeringan yang panjang, hingga menimbulkan peristiwa kelaparan. Tanah longsor dan banjir memakan korban di berbagai daerah, terutama di daerah yang secara fakta terlihat telah mengalami kehancuran ekologis.

Dalam pernyataannya Walhi juga melampirkan data krisis di Nusa Tenggara Barat, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Pulau Jawa, yang dirangkum Koordinator Pusat Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Ridwan Yunus.

Berdasarkan data itu, tahun 2015 Pulau Lombok, NTB, diperkirakan defisit air lebih dari 1,277 miliar meter kubik.

Di Riau, menurut Walhi, sebuah perusahaan minyak menyedot 11 miliar barel minyak bumi selama 50 tahun. Perkebunan sawit luasnya dua juta hektare, dua pabrik kertas menguasai lahan dua juta hektare, sementara 40 persen rakyat Riau hidup dalam kemiskinan.

Dua juta hektare dari 5,2 juta hektare luas daratan Provinsi Jambi dikuasai sembilan perusahaan konglomerat.

Kalbar dengan luas 14,7 juta hektare, terdapat 15 grup perusahaan besar dengan 378 anak perusahaan menguasai lima juta hektare lahan sawit.

Sebanyak 280 izin Kuasa Pertambangan menguasai satu juta hektare lahan, tercatat 200 kasus di perkebunan sawit meliputi konflik lahan, pelanggaran HAM, konversi hutan dan gambut.

Dampaknya terjadi deforestasi hutan yakni terjaninya bencana asap, banjir, krisis air bersih, perampasan tanah dan kriminalisasi terhadap masyarakat.

Di Kalsel yang merupakan lumbung batu bara dengan total produksi batu bara 78,5 juta ton, terjadi krisis energi dan hanya 1,69 persen yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi setempat. Sebanyak 73 persen diekspor dan 25 persen untuk energi Jawa-Bali.

Sementara kerusakan lingkungan akibat tambang batu bara harus ditanggung turun temurun oleh masyarakat Kalsel. Sedangkan pemulihan lingkungan akibat tambang membutuhkan waktu lebih dari dua generasi.

Pulau Jawa sejak tahun 1990 sudah menderita defisit air. Sebab dari kebutuhan 66.336 juta m3/tahun hanya bisa disediakan 43.952 juta m3/tahun. Pada musim kemarau tahun itu, 75 persen wilayah Pulau Jawa sudah mengalami kekeringan akibat defisit air yang mencapai 40 persen.

Berdasarkan perhitungan neraca air, sejak 1995 ketersediaan air permukaan di Pulau Jawa hanya 30.569 juta m3. Tahun 2000 defisit air memburuk, mencapai 52.809 juta m3, dan 2015 diperkirakan defisitnya mencapai 134.102 juta m3.

Jenis bencana yang melanda wilayah Indonesia (1997-2010) didominasi banjir yang mencapai 35 persen dari total 6.632 kali bencana, disusul kekeringan (18 persen), tanah longsor, angin topan dan kebakaran, masing-masing 11 persen. (T007/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010