Oranje merekam segalanya. Benteng terbesar di Ternate itu adalah saksi sejarah hadirnya pemburu rempah di Hindia Timur. Ia tidak punya cara untuk menceritakan segalanya, nasibnya kini tidak lebih baik dari sebuah permukiman kumuh di tepi pantai.

Namun, Oranje adalah klise dari sebuah film zaman yang terus berputar seiring dengan waktu dalam roda abad yang bergulir.

Lumut di dindingnya menjadi penanda usinya yang tak lagi muda. Gubernur Jenderal Belanda, Matelief de Jonge, membangunnya dengan kekuatan penuh pada 1607 dan anak negeri yang menata tiap kerikil dan batu di pondasinya.

Oranje baru mendapatkan namanya pada 1609 oleh Gubernur Jenderal Belanda, Francois Wittert.

Benteng itu pernah berjaya saat menjadi pusat pemerintahan VOC di bawah Gubernur Jenderal Jan Pieter Both, Herald Reyist, Laurens Real, dan JP Coun sebelum akhirnya pusat VOC dipindah ke Batavia.

"Ini adalah benteng terbesar di wilayah Indonesia Timur," kata Staf Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Maluku Utara, Azis Maumanda.

Ratusan tahun silam wangi cengkeh menguar bila "kita" berdiri di atas ketinggiannya.

Keandalannya bertahan dari serangan musuh tak lagi diragukan. Spanyol sempat menyeberang secara diam-diam pada malam hari dari benteng Gammalamma (Kastela) melalui lorong dengan 250 orang tiba di benteng Oranje waktu subuh.

Namun, seketika dia dapat dipukul mundur oleh penguasa benteng; Belanda dalam pertempuran seru satu lawan satu.


Permukiman Warga

Segalanya tinggal kenangan sebab Oranje beralih fungsi. Aset terbesar sekaligus benteng terluas di Ternate itu, sekarang menjadi permukiman bagi kesatuan TNI AD dan Polri.

Bahkan, ada sebagian ruang yang dijadikan rumah kontrakan bagi beberapa warga sipil di beberapa sisinya. Akibatnya banyak benda, ruangan, maupun bangunan-bangunan terbengkalai dan berganti peran.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Maluku Utara telah berupaya keras agar permukiman tersebut dipindahkan oleh jajaran pusat TNI/Polri agar Benteng Oranje menjadi cagar budaya serta pusat aktivitas seni dan budaya.

"Usulan sudah sampai ke tangan Presiden (saat itu Megawati) tapi sampai saat ini belum ada follow up," kata Azis Maumanda.

Pihaknya mengaku terkendala soal dana untuk merelokasi warga yang tinggal di sekitar benteng tersebut.

Ia menekankan, pihaknya sepenuhnya menyadari kondisi yang memprihatinkan itu terlebih ketika pemanfaatan benda cagar budaya tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan pemeliharaan peninggalan bersejarah.

Harus diakui saat ini Oranje telah lama digunakan sebagai lokasi permukiman dan balai pengobatan (poliklinik) masyarakat, khususnya bagi TNI dan Kepolisian.

Hadirnya bangunan-bangunan baru yang tidak sesuai dengan kondisi bangunan lama, menambah panjang daftar ketidaksesuaian tersebut.

Ketidaksesuaian ini menghasilkan terbengkalainya situs Benteng Oranje. Terkelupas dan tergantikannya dengan lapisan tembok yang baru adalah pemandangan yang menonjol.

Ketidakpedulian penghuni benteng pada arti pentingnya Benda Cagar Budaya menambah kerusakan lingkungan benteng.

Kesan kumuh muncul ketika di seluruh penjuru, terutama di ruang antartembok pagar benteng di lantai II, ditumbuhi oleh tanaman liar dan buangan sampah yang menggila.

Di sekitar benteng, di sisi timur dan selatan, rapat dengan kios-kios masyarakat yang semakin menambah kekumuhan akibat semrawutnya pengelolaan lahan.

Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Kemenbudpar Harry Untoro mengatakan, sebagian besar benteng di Indonesia yang tercatat lebih dari 600 benteng saat ini masih digunakan untuk fasilitas militer TNI/Polri.

"Kami sudah berkoordinasi dengan Kemenhan untuk merelokasi pemukiman di sekitar benteng," katanya.


Isu Salah Pugar

Oranje harus menghadapi beragam kenyataan pahit. Beberapa tahun silam (sekitar akhir 2008), Oranje sempat diisukan salah pugar dalam proses restorasinya.

Tak ayal, kegiatan pengembangan Benteng Oranje, banyak menuai protes dari berbagai pihak, termasuk oleh salah satu LSM; Ternate Heritage Society (THS).

Proyek itu dikerjakan dengan dana APBN hasil kerjasama antara Dirjen Sejarah dan Purbakala dengan Dinas Budpar Kota Ternate.

Namun, beberapa LSM menilai dua pihak itu telah melanggar UU Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) dalam hal telah melakukan perubahan bentuk.

Selain itu, hasil studi kelayakan dan studi pengembangan dinilai tidak optimal untuk dijadikan bahan acuan dalam pengembangan benteng.

LSM juga menilai desain akhir restorasi benteng tidak mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian BCB.

THS mencontohkan, tanpa analisis yang mendalam dan rekomendasi yang tepat, dinding benteng diberi plesteran semen biasa, sehingga dinding mengalami perubahan bentuk (tekstur dan warna).

Meski mendapat kecaman, toh Oranje tetap pada tempatnya, tidak bergerak seinchi pun menanti kebijakan pelestarian yang memihak.

Duduk bersama dan sinergi antarpemangku kepentingan sepertinya menjadi jalan terbaik bagi keberlangsungan Oranje.

Sebab toh, pada dasarnya penduduk yang tinggal di kawasan itu tak berkeratan berpindah sepanjang ada jaminan tempat tinggal baru bagi mereka.

"Kami mau pindah ke tempat lain kalau memang jelas bahwa kami mendapat tempat tinggal baru," kata salah satu penduduk yang tinggal di kawasan pemukiman Oranje, Tina (46).

Ia telah sejak lama menempati kawasan itu bersama suaminya yang polisi dan telah melahirkan lima anak yang tidak bisa memilih ketika harus dilahirkan di lingkaran cagar budaya.

Dan Oranje adalah cagar budaya yang menyimpan sejarah dan jejak pemburu rempah. Jangan sampai anak cucu bangsa kehilangan kisahnya.
(H016/B010)

Oleh Oleh Hanni Sofia
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010