Anambas (ANTARA) - Laut di Perairan Tarempa, Kepulauan Anambas, terlihat jernih, laksana air di aquarium. Terumbu karang tampak menawan di dasar laut.

Di atas pasir putih tampak rumput laut yang berayun mengikuti arus air. Berbagai jenis ikan pun bermain di sekitar karang dan rumput laut itu.

Tampak pula biota laut lainnya, seperti bulu babi yang berkumpul di dasar laut dan pondasi pelabuhan. Anak-anak biawak pun tampak bebas berenang di antara aktivitas warga.

Keindahan laut Anambas di bibir Pelabuhan Sri Siantan dan Pelabuhan Pelni Tarempa itu memukau para pendatang.

Ikan-ikan yang berukuran sedang dan kecil itu, kata Mochtar, boleh dimakan. Namun kebanyakan warga Anambas memilih ikan lain, seperti ikan bulat dan ikan karang lainnya, yang rasanya lebih enak.

Di perairan jernih itu pula tampak ikan lebam, belanak dan ikan tanda, yang bermain di bawah dermaga pelabuhan.

Ikan ungar yang dijual cukup mahal di Tanjungpinang, Bintan, Batam, Karimun dan Lingga, ternyata tidak dikonsumsi oleh sebagian warga Anambas. Padahal ikan yang hidup di perairan dekat pepohonan bakau itu mudah ditemukan di Tarempa, contohnya di perairan dekat lokasi wisata Air Terjun Temburun.

"Warga di Tarempa tidak makan ikan ungar," kata Zali, warga Temburun.

Sejumlah anggota polisi yang berjaga-jaga di Air Terjun Temburun juga tidak menghiraukan ikan-ikan sepanjang tangan orang dewasa itu bermain di perairan dangkal di bawah jembatan dekat hutan bakau, yang berada persis di depan air terjun.

"Ikan ini sulit dipancing, tidak mau makan umpan," kata Emi, salah seorang wisatawan yang menggunakan pancingan tradisional untuk menangkap ikan ungar.


Nelayan asing

Kekayaan sumber daya laut di Kepulauan Anambas sejak dahulu terkenal di berbagai daerah di Indonesia hingga ke Malaysia, Vietnam dan Thailand. Karena itu nelayan dari Tanjung Balai Asahan kerap menangkap ikan di perairan tersebut.

Dua hari lalu, lima kapal ikan asal Tanjung Balai Asahan berlabuh di Pelabuhan Antang di Tarempa, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Anambas. Di dalam kapal itu terdapat puluhan kru kapal yang sedang menyantap makan siang.

Ikan-ikan di Anambas juga "menggoda" nelayan asing. Nelayan asal Malaysia, Vietnam dan Thailand pun kerap membidik ikan-ikan di perairan Anambas. Puluhan kapal asing itu ditangkap dalam operasi yang digelar TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta personel Polri.

Puluhan kapal asing sudah dimusnahkan dan ditenggelamlan ketika Menteri Kelautan dan Perikanan dijabat Susi Pudjiastuti di Perairan Tarempa.

Sebanyak tujuh kapal asing masih ada di Pelabuhan Antang, dua di antaranya sudah terlihat rusak parah.

Kapal-kapal asing itu juga dikunjungi sejumlah wisatawan yang biasanya hanya menyaksikan peristiwa pemusnahan kapal melalui berita di media telivisi.

"Kapal asing ini kokoh, kenapa tidak dipergunakan nelayan lokal," kata Yani, wisatawan asal Batam.

Zuheimi, warga Pulau Letung, yang berkunjung ke Pelabuhan Antang itu mengatakan, nelayan lokal lebih menyukai perahu kecil, meski berhadapan dengan gelombang tinggi saat musim angin utara.

Nelayan Anambas terkenal tangguh. Mereka sudah terbiasa menghadapi gelombang tinggi seperti itu, meskipun hanya menggunakan perahu kecil.

"Mereka juga tidak bisa mengendalikan kapal asing," ucapnya.


Angin Utara

Bulan November hingga Februari merupakan masa-masa sulit bagi nelayan tradisional untuk menangkap ikan. Hujan deras, angin kencang dan gelombang tinggi kerap menghantui aktivitas mereka.

Antara November hingga Februari adalah musim angin utara, dengan kondisi cuaca dan gelombang tidak selalu baik. Saat gelombang laut mencapai 5-7 meter, nelayan mulai melakukan aktivitas lain, seperti menjadi buruh angkut di pelabuhan.

Mereka juga mengantarkan barang-barang milik pedagang di pulau-pulau. Pendapatan para nelayan ketika menjadi buruh angkut barang itu lebih dari Rp200.000/hari atau dua kali lipat dari penghasilan buruh angkut di Tanjungpinang, Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau.

Abdul Razak (49), Sunadi (26) dan Mochtar (56) adalah buruh angkut barang yang bekerja pada perusahaan jasa pengiriman barang di dekat Pelabuhan Pelni Tarempa.

Abdul Razak dalam sehari minimal membawa pulang uang sebesar Rp300.000, sama seperti Mochtar. Sementara Sunadi mendapat gaji bulanan dari bosnya.

"Sebenarnya saya ini nelayan, tetapi kalau cuaca buruk, saya bekerja sebagai buruh angkut," kata Mochtar.

Razak pun demikian. Ia berhenti sementara sebagai buruh angkut ketika gelombang laut kembali normal untuk kembali menjadi nelayan.

"Kalau di Tarempa ini tidak sulit mencari uang. Asal mau kerja, pasti dibantu dapat uang," ucap Razak, sambil tersenyum.

Pendapatan nelayan yang tinggi itu berdampak tidak baik bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Bawaslu Anambas. Lembaga ini kesulitan merekrut panitia pemungutan suara, KPPS dan pengawas TPS, sebab honor yang diberikan jauh dibanding pendapatan para nelayan.

"Staf kami ada beberapa orang yang berhenti lantaran hanya ingin menjadi nelayan dengan penghasilan yang jauh lebih besar," ucap anggota Bawaslu Anambas Liber Simaremare.

Nelayan Anambas juga terkenal sebagai penjual ikan hidup yang diambil di karang, seperti ikan napoleon, ikan kerapu dan lainnya. Ikan-ikan itu diekspor ke luar negeri, seperti Jepang dan Hong Kong dengan harga tinggi.

"Harga seekor bibit ikan napoleon sebesar mata korek api mencapai Rp300.000," kata Mochtar.

Usaha itu sempat terhenti karena ada larangan menjual ikan napoleon. Namun sejak dua tahun terakhir, nelayan budi daya ikan hidup yang diekspor ke luar negeri kembali berjalan normal.

Pemerintah Kabupaten Anambas diharapkan mampu meningkatkan produktivitas nelayan melalui perlengkapan yang canggih dan ramah lingkungan, selain mendukung budi daya ikan laut hidup untuk diekspor ke Jepang dan Hong Kong.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020