Jakarta (ANTARA News) – Jika ditanya siapakah mantan Gubernur DKI Jakarta yang paling anda kenal? mungkin jawabannya adalah Ali Sadikin, Sutiyoso atau Fauzi Bowo yang sekarang sedang menjabat. Tapi, bagaimana dengan sosok Henk Ngantung, seorang Seniman Sketsa yang juga pernah menjadi menjadi Guburnur DKI Jakarta.

Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau lebih dikenal dengan sebutan Henk Ngantung, menjabat  Gubernur DKI di era pemerintahan Presiden Soekarno periode 1964 – 1965. Sebelum diangkat menjadi Gubernur Henk mengawali karirnya sebagai seniman Sketsa otodidak yang kerap turut serta meliput beberapa peristiwa penting dan bersejarah di Indonesia dalam bentuk sketsa antara lain : Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville,dan Perundingan Kaliurang.

“Lukisan perjanjian Renville dan karya lain Pak Henk semuanya ada di museum, semua peristiwa demi peristiwa pak Henk gambar,” kata Janda Henk Ngantung,Evie Ngantung (71).

Pada tahun 1957 dia  diangkat menjadi ketua seksi dekorasi dalam panitia Negara Penerimaan Kepala –kepala Negara asing, Selanjutnya di tahun 1959-1966, menjadi anggota Pertimbangan Agung mewakili golongan Karya Seniman, 1959-1964 menjabat sebagai wakil Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota di bawah Soemarno. Pada saat itu banyak kalangan yang protes atas pengangkatannya.

Puncaknya ketika Presiden Soekarno ingin menjadikan Jakarta sebagai kota budaya, dia  mengangkat Henk Ngantung menjadi Gubernur DKI Jakarta karena satu alasan : Henk memiliki jiwa Artistik yang tinggi.

Karya Henk Ngantung sebagai seorang seniman yang monumental antara lain adalah Sketsa Tugu Selamat Datang,Lambang DKI,dan Lambang Kostrad, selain itu ada juga lukisan seperti “memanah”,”Gadjah mada” dan peninggalan terakhirnya yang kini berada di pelelangan London Inggris bertajuk “Ibu & Anak di Kalimantan”.

Henk yang wafat di bulan Desember 1991 di kediaman terakhirnya  di sebuah gang sempit perkampungan kawasan Cawang Jakarta timur meninggalkan seorang istri dan empat orang anak yaitu Evie Ngantung, dan  4 orang anak yaitu Maya Ngantung, Genie Ngantung, Kamang Ngantung dan Karno Ngantung yang meninggal pada usia 71 tahun karena sakit jantung.

Pecahnya peristiwa G30S PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1965, membuat karir Henk Ngantung sebagai Gubernur DKI Jakarta Berakhir.

Henk tiba-tiba diberhentikan bersamaan dengan pemberantasan G30S/PKI. Henk terlibat organisasi Lekra yang berafiliasi dengan PKI.

Sejak itu, kehidupan Henk dan Keluarga mulai mengalami kesulitan dengan dicap sebagai PKI yang membuat ruang geraknya baik secara sosial,politik dan ekonomi menjadi terpasung.

"Yang saya tahu persis waktu itu PKI sedang merancang sesuatu, mungkin mau bikin G30S, jadi mereka mau pak Henk Ngantung itu bekerjasama. Tapi, pak Henk pernah bilang saya kan bukan gubernur Lekra tapi gubernur Jakarta Raya DKI," Kenang Evie.

Setelah Berakhirnya Karir Henk Ngantung di Lingkungan Pemda DKI, dian melanjutkan hidup dengan tetap membuat sketsa dan lukisan yang dijual untuk menghidupi keluarga. Henk  menempati rumah di kawasan Tanah Abang.

"Pak Henk pernah membuat lambang Kostrad dan lambang DKI, dari Kostrad saya dihargai oleh Kostrad sebagai anggota kehormatan Kostrad tapi kenapa kalian mau gubris - gubris saya sebagai PKI,” Kenang Evie.

Evie mengaku masa-masa yang paling sulit adalah ketika ia akan menyekolahkan anak-anak dan selalu diminta menunjukkan surat bersih dari PKI.

“Saya pernah datang menghadap pak Sudomo yang pada waktu itu menjabat sebagai Komkabtib dan menjelaskan bahwa kami sekeluarga di cap sebagai PKI dan harus ada surat bebas G30S jika ingin pergi kemanapun, dan pak Domo menjelaskan kalau pak Henk kan tidak pernah ditahan jadi untuk apa surat itu? tidak perlu kan, berarti memang tidak terlibat G30S tapi kenyataannya sudah terlanjur dicap,” ujar Evie.

Akibat adanya cap PKI, Henk dan Keluarga menjual rumah di Tanah Abang dan  pindah ke perkampungan yang melewati gang sempit di kawasan Cawang Jakarta Timur.

“Kami menjual rumah di Tanah Abang karena sering dicap PKI yang membuat hidup kami susah, nggak enak seolah-olah mereka itu takut kepada kami dan lagipula kami tidak punya uang, tapi sekarang kami akrab sekali dengan tetangga-tetangga kami di sini,” Tutur Evie.

Setelah Henk wafat tahun  1991 Evie mengaku berjuang menghidupi keluarganya dengan jalan menjual lukisan karya Henk.

Evie tidak menerima uang pensiun suaminya hingga pada dasawarsa 80-an Pemda DKI memberi rapelan dana pensiun.

"Yang saya terima hanya uang pensiun saja sebagai penghargaan sebesar Rp830 ribu perbulan hingga sekarang. Kami tidak pernah dapat apa-apa dari pemda DKI dan dari pemerintah pun tidak ada," tutur Evie.

Henk Dan Tugu Selamat Datang
Tak banyak orang tahu kalau Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia itu lahir dari guratan tangan Henk Ngantung.

Tugu Selamat Datang yang menjadi Landmark Ibu Kota Jakarta itu memang dibuat oleh pematung Edhie Sunarso namun  adalah Henk yang membuat sketsanya. Sepasang pemuda –pemudi melambaikan tangan seakan-akan menyambut orang datang.

Karya seni itulah yang kemudian menjadi dasar pembuatan Tugu Selamat Datang seperti diabadikan dalam buku “Sketsa-sketsa Henk Ngantung dari masa ke masa” yang disusun oleh Baharudin M.S dan diterbitkan Sinar Harapan di tahun 1981.

Sejak satu tahun yang lalu bergulir kasus mengenai penggunaan logo yang identik dengan sketsa Tugu Selamat datang karya Henk Ngantung dan digunakan oleh PT Grand Indonesia (GI). Perusahaan tersebut tidak mengakui bahwa logo tersebut dibuat terinspirasi berdasarkan karya seni hasil karya Henk Ngantung.

"Kalau seandainya Grand Indonesia itu membuat logo patung (Selamat Datang), urusannya adalah dengan Edhie Sunarso (seniman pembuat patung tersebut). Tapi ketika logonya adalah gambar dua dimensi maka ada sejarah yang menyatakan bahwa tugu itu dibuat dari suatu sketsa, "Kata Pengacara Keluarga Ngantung Andy I Nababan S.H.

Keluarga Ngantung sudah melakukan somasi terhadap GI namun belum ada titik temu. "Dulu kami sudah bicara persuasif baik baik tapi tidak ada tanggapan, , ya sudah kami akan tempuh upaya hukum ,itu fakta sejarah oleh karena itu kita perlu diakui, bahwa Tugu Selamat Datang dibuat berdasarkan sketsa hasil karya Henk Ngantung," tutur Andy.

Keluarga Ngantung mengaku tidak keberatan jika hasil karya Henk dikomersilkan tapi mereka meminta ada pengakuan bahwa logo tersebut dibuat berdasarkan sketsa karya Henk Ngantung.

Sementara itu, pihak GI mengemukakan logo Grand Indonesia hanya terinspirasi oleh tugu yang lokasinya di bundaran Jalan MH Thamrin.

"Logo Grand Indonesia adalah gambar yang menyerupai siluet dari patung itu (Tugu Selamat Datang), tetapi tidak persis dengan gambar aslinya. Kalau aslinya kan ada bunga-bunganya. Kami memang terinspirasi dengan patung itu karena hotel ini memiliki hubungan historis dengan patung tersebut. Jadi dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan seniman pembuat patung tersebut," kata  Government and Corporate Affairs, PT Grand Indonesia, Koentjoro Noerwibowo kepada pers.

Logo Grand Indonesia itu, kata Koentjoro, telah dibuat oleh para tim kreatif pada tahun 2004, bahkan logo itu telah memiliki nilai legalitas dengan terdaftar pada Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian HAM RI.(YUD/A038)

Oleh
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010