Padang (ANTARA) - Sejak 30 menit terakhir mata Firdaus (32) terus mengamati pergerakan angka berwarna hijau, kuning dan merah di layar telepon pintarnya.

Ia sibuk memelototi transaksi perdagangan saham di bursa lewat aplikasi yang sudah diunduh. Sesekali ia tersenyum karena angka berwarna hijau kian dominan yang artinya nilai valuasi portofolio miliknya terus bertambah.

Sejak dua tahun terakhir karyawan swasta itu menyisihkan gajinya Rp100 ribu per bulan untuk nabung saham.

Awal ketertarikannya memilih berinvestasi lewat saham setelah mendapatkan cerita teman kantor bahwa biaya kuliah anaknya dari hasil penjualan sahan yang dibelikan sang bapak sejak si anak bayi.

Ia pun mulai mempelajari bagaimana cara bertransaksi saham, kiat dan tips memilih emiten, kapan harus membeli dan menjual.

Baca juga: Presdir CSA Institute beberkan strategi investasi saham di 2021

Firdaus pun mengikuti Sekolah Pasar Modal yang diselenggarakan Bursa Efek Indonesia cabang Padang.

Setelah itu ia pun mulai bertransaksi dan memilih saham blue chip dengan harapan nilainya akan meningkat dan bisa menjadi sumber pendanaan di masa depan.

Memasuki 2020 nilai portofolio Firdaus terus bertambah, namun memasuki Maret 2020 nilai transaksi di bursa anjlok sebagai imbas pandemi.

Ia mulai sedikit khawatir karena sejumlah saham miliknya mulai mengalami penurunan harga. Namun saat berkonsultasi dengan pihak sekuritas ia dapat saran sebaliknya saat saham anjlok waktu yang tepat untuk membeli karena harga akan kembali naik.

Pada 24 Maret 2020 ia pun memilih membeli saham Garuda Indonesia yang pada hari itu berada pada posisi terendah selama pandemi, hanya Rp150 per lembar.

Ia juga membeli saham BRI Syariah yang nilainya malah Rp135 per lembar. Sebuah keputusan berani di saat yang lain menjual ia malah membeli dengan sisa tabungan yang dimiliki.

Waktu terus bergulir firasatnya tak meleset. Saham BRI Syariah yang ia beli hanya Rp135 per lembar pada 20 Oktober 2020 harganya sudah menjadi Rp1.500 per lembar atau lebih dari 1.000 persen kenaikannya.

Demikian juga dengan saham Garuda Indonesia dari Rp150 per lembar menjadi Rp290 per lembar.

Awalnya ia sempat ragu saat semua orang melakukan aksi jual ia membeli mumpung harga murah, ia pun menjual kembali saat harga sudah tinggi.

Lain lagi kisah Rahman seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri yang sejak setahun terakhir juga sudah mulai mengenal dunia saham karena di kampusnya ada galeri bursa efek Indonesia.

Baca juga: Analis sarankan investor pemula koleksi saham diskonan

Kendati masih dibiayai orang tua ia sudah menyisihkan uang untuk bertransaksi saham sebagai sarana belajar mengelola uang dan berinvestasi.

Saat pandemi tepatnya pekan ke tiga Maret tiba sejumlah saham miliknya terpuruk dan sangat ingin menjual.

Namun sahabatnya melarang dengan alasan nanti akan naik lagi nilainya. Berada di tengah ketidakpastian saat itu membuat ia gamang, namun ia berprinsip jika rugi akan menjadi pembelajaran berharga.

Ternyata sahabatnya benar, terus bertahan tidak menjual saham enam bulan kemudian nilai sahamnya terus naik.

Rahman pun tersenyum bahagia resesi dan pandemi membawa berkah karena kini nilai portofolionya melambung berlipat.
Grafik perkembangan investasi saham warga Sumbar hingga Agustus 2020. (Antara/OJK Sumbar)

Nilai tertinggi

Di tengah pandemi nilai transaksi saham warga Sumatera Barat di Bursa Efek Indonesia pada September 2020 mencapai Rp815 miliar atau merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai sejak awal tahun ini.

"Hingga akhir September 2020 jumlah Single Investor Identification (SID) warga Sumbar te;ah mencapai 20.451," kata Kepala perwakilan Bursa Efek Indonesia Sumbar Early Saputra.

Menurut dia tingginya nilai transaksi saham menunjukan minat masyarakat untuk menanamkan uang di pasar modal terus meningkat.

"Untuk penambahan jumlah investor baru mencapai 2.949 orang hingga September," kata dia.

Baca juga: Future Financial Festival sasar milenial melek ekonomi dan investasi

Ia menenggarai dengan semakin banyaknya generasi muda yang melek investasi membuat nilai transaksi terus meningkat.

Early menyebutkan dilihat dari aspek demografi para investor pasar modal di Sumbar didominasi oleh pelajar dan mahasiswa dengan jumlah mencapai 7.100 orang dengan rentang usia 18-25 tahun.

"Artinya 80 persen investor di Sumbar usianya berada di bawah 40 tahun," katanya.

Sementara dari sisi gender investor di Sumbar mayoritas pria dengan perbandingan 10.400 dan perempuan 9.200.

Untuk jumlah aset saham berdasarkan usia 18-25 tahun telah mencapai Rp15 miliar.

Sedangkan untuk aset nonsaham telah mencapai Rp18 miliar, ujarnya.

Ia menyampaikan salah satu yang diminati untuk berinvestasi berupa sukuk wakaf yang jika dibeli maka keuntungannya dalam bentuk wakaf.

Terkait dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang tumbuh minus dalam dua triwulan terakhir ia menilai tidak berpengaruh terhadap minat orang menanamkan uang di pasar modal.

Ketika pasar semakin baik, pengawasan ketat maka orang akan semakin percaya bursa akan semakin antusias, katanya.

Ia menilai ini tidak lepas dari edukasi dan pengawasan yang dilakukan OJK hingga dukungan dari pemerintah yang membuat produk investasi yang sesuai dengan kebutuhan anak muda.

Selain itu selama pandemi pihaknya tetap menyelenggarakan Sekolah Pasar Modal yang digelar secara daring sebagai upaya pencegahan COVID-19.

Ia menyebutkan pada tahun ini telah menggelar 39 kali Sekolah Pasar Modal dengan total peserta mencapai 880 orang.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Otoritas Jasa Keuangan perwakilan Sumatera Barat kinerja industri pasar modal di Sumbar relatif baik di tengah pandemi.

Sepanjang tahun 2020 jumlah Single Investor Identification mencapai 19.600 dengan transaksi kumulatif hingga Agustus 2020 mencapai Rp4,75 triliun, volume transaksi 9.232,14 juta saham dengan frekuensi transaksi 1,1 juta kali.

 

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020