Pemkab Mimika berencana meminjam dana dari Bank Papua senilai Rp400 miliar.
Timika (ANTARA) - Sekretaris Komisi C DPRD Mimika Saleh Alhamid mempertanyakan kebijakan pemerintah kabupaten setempat yang kini membangun kantor-kantor organisasi perangkat daerah (OPD) di luar pusat pemerintahan yang berlokasi di Kelurahan Karang Senang SP3, Distrik Kuala Kencana, Papua.

"Terus terang saya heran, sekaligus bingung, mengapa kantor-kantor OPD itu dibangun megah-megah dimana-mana. Dulu sentra Pemerintahan Kabupaten Mimika itu dibangun di kawasan SP3 supaya semua OPD terpusat di situ. Kalau terpusat, maka otomatis akan meringankan beban biaya masyarakat yang mengurus segala macam administrasi," kata Saleh, di Timika, Minggu.

Saleh mengatakan kawasan pusat Pemerintahan Kabupaten Mimika di Kelurahan Karang Senang SP3 itu masih cukup luas. Sejumlah instansi di lingkungan Pemkab Mimika yang hingga kini belum memiliki kantor permanen bisa membangun perkantoran mereka di kawasan itu.

"Tanah itu masih sangat luas, anda mau bangun apa saja di situ masih bisa, karena di bagian belakang itu belum dibangun apa-apa," ujar politisi dari Partai Hanura itu pula.

Namun, kata Saleh lagi, justru beberapa OPD yang kini menempati gedung pusat pemerintahan Kabupaten Mimika di SP3 kini berencana membangun kantor baru di luar itu.

"Ini ada permainan apa sebenarnya. Apakah supaya tanah-tanah milik oknum tertentu atau katakanlah pejabat tertentu bisa laku dengan harga tinggi, sehingga kebijakan penganggaran yang tidak prioritas ini bisa lolos begitu saja," ujar Saleh mempertanyakannya.

Saleh yang sejak 2014 terpilih sebagai wakil rakyat di DPRD Mimika mengaku tidak masuk dalam tim Badan Anggaran DPRD Mimika saat ini hanya beranggotakan 14 orang dari 35 anggota DPRD Mimika.

"Saya tidak masuk dalam tim Banggar DPRD Mimika, sehingga saat pembahasan biaya pembebasan tanah-tanah itu saya sama sekali tidak tahu," ujarnya lagi.

Ia mengaku sependapat dengan peringatan yang disampaikan oleh Kejaksaan Negeri Timika, agar berhati-hati dalam hal menganggarkan pembebasan lahan, apalagi dengan nilai yang sangat tinggi.

"Objeknya harus jelas itu tanah milik siapa, berapa harga yang wajar. Jangan karena kongkalikong dengan pejabat lalu menaikkan harga tanah sesuka hati berkali-kali lipat dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Saya lebih mengkritisi soal kebijakan pembangunan kantor OPD di luar pusat pemerintahan yang tidak melalui perencanaan, yaitu masterplan, terkesan semua amburadul dan dipaksakan," katanya pula.

Andaikata diketahui bahwa tanah-tanah yang dibebaskan itu sebagiannya diketahui merupakan milik para pejabat di lingkungan Pemkab Mimika, menurut Saleh, kalangan DPRD setempat yang telah menyetujui dan menetapkan APBD Perubahan 2020 juga harus ikut bertanggung jawab jika nanti ditemukan masalah hukum.

"Yah, eksekutif dan legislatif sama-sama menyetujui anggaran pembebasan tanah-tanah itu. DPRD Mimika tidak bisa lari dari tanggung jawab itu. Seharusnya DPRD Mimika lebih memainkan fungsi kontrol, agar uang negara tidak dipermainkan begitu saja," ujar Saleh.

Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri Timika Mohammad Ridosan mengaku sudah mendengar informasi bahwa Pemkab Mimika menyiapkan anggaran mencapai ratusan miliar rupiah melalui APBD Perubahan 2020 untuk kepentingan pembebasan lahan di beberapa lokasi di Timika.

"Kami memang sudah dengar seperti itu, tapi sampai saat ini belum ada permintaan resmi dari pemda ke kita untuk pendampingan hukum," kata Ridosan.

Kajari menegaskan jajarannya akan mempelajari secara detail asal muasal kepemilikan lahan yang akan dibebaskan oleh Pemkab Mimika jika suatu saat diminta untuk melakukan pendampingan hukum saat pembayaran biaya pembebasan lahan-lahan tersebut.

"Kalau memang kami diminta untuk melakukan pendampingan hukum, kami harus lihat betul surat-surat kepemilikan tanahnya seperti apa. Jangan sampai tanah yang dibebaskan itu milik orang lain tapi dicatut atas nama orang lain lagi. Kami sudah mewanti-wanti Dinas Perumahan dan Pertanahan untuk tertib administrasi. Harus ditelusuri betul, siapa sesungguhnya pemilik tanah itu, bagaimana asal-usulnya. Jangan asal membayar," kata Ridosan.

Menurut Kajari, kasus kesalahan membayar biaya pembebasan tanah oleh Pemkab Mimika sudah pernah terjadi saat pembebasan lahan untuk pembangunan Kantor Kelurahan Otomona.

Kasus serupa juga terjadi saat pembebasan lahan pembangunan Kantor Perpustakaan Daerah di Timika Indah yang berbuntut panjang hingga kini.

Meski Pemkab Mimika telah menggelontorkan dana hampir Rp20 miliar untuk pembangunan gedung Perpustakaan Daerah dengan konstruksi dua lantai, namun gedung tersebut kini sudah rusak dan nyaris tidak pernah digunakan lantaran oknum warga yang mengaku sebagai pemilik sah lahan tersebut menuntut ganti rugi ke Pemkab Mimika.

Dalam APBD Perubahan Mimika 2020 yang disahkan oleh DPRD Mimika baru-baru ini, dianggarkan dana ratusan miliar rupiah untuk pembebasan lahan di sejumlah kawasan di Kota Timika, seperti di Jalan Cenderawasih untuk pembangunan Kantor Badan Keuangan dan Aset Daerah, Jalan Poros SP2-SP5 (dua titik) untuk pembangunan Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Stadion Olahraga.

Selain itu, lahan di kawasan Jalan Agimuga Mile 32 untuk pembangunan Kantor Dinas Perikanan, Dinas Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Pusat Promosi UMKM melalui Dinas Koperasi dan UMKM.

Satu kawasan lainnya yang rencananya akan dibebaskan oleh Pemkab Mimika, yaitu mulai dari Petrosea hingga Jalan C Heatubun Kwamki Baru untuk pembangunan jalan tembus menuju lokasi Bandara baru Mozes Kilangin Timika sisi selatan.

Ironisnya, untuk membebaskan lahan-lahan itu, Pemkab Mimika justru mengalami defisit anggaran. Untuk menutup kekurangan anggaran itu, Pemkab Mimika berencana meminjam dana dari Bank Papua senilai Rp400 miliar.
Baca juga: DPRD jadwalkan kembali paripurna LPj Bupati Mimika

Pewarta: Evarianus Supar
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020