Jakarta (ANTARA) -
Terpidana kasus korupsi "cessie" Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra menyebut "action plan" atau proposal untuk pengurusan masalah hukumnya tidak masuk akal.

"Saya katakan 'action plan' yang diajukan Andi Irfan tidak masuk akal karena tercantum ada PNS di situ, oleh karena itu saya tidak bersedia!" kata Djoko Tjandra dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Djoko Tjandra menjadi saksi untuk terdakwa mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung Pinangki Sirna Malasari.

Dalam dakwaan disebutkan Djoko Tjandra meminta jaksa Pinangki untuk membuat "action plan" dan membuat surat ke Kejaksaang Agung untuk menanyakan status hukum Djoko Tjandra dengan biaya 100 juta dolar AS.

Baca juga: Djoko Tjandra menangis saat jadi saksi di sidang jaksa Pinangki
Baca juga: Jaksa Pinangki akui penasaran kedekatan Rahmat dengan Djoko Tjandra
Baca juga: Saksi sidang Pinangki sebut kedekatan dengan Ma'ruf Amin-Anwar Ibrahim


"Action Plan" tersebut dalam dakwaan disebut diserahkan Pinangki pada 25 November 2019 bersama-sama advokat Anita Kolopaking dan pihak swasta Andi Irfan Jaya di kantor Joko Tjandra di Malaysia. "Action plan" tersebut terdiri dari 10 tahap pelaksanaan dan mencantumkan inisial "BR" yaitu Jaksa Agung ST Burhanuddin dan "HA" selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali.

"Dari atas sampai bawah lalu saya tuliskan 'no' dalam 'action plan' karena adanya Pinangki di situ jadi saya tidak bersedia," ungkap Djoko Tjandra.

"Karena saudara tidak mau berurusan dengan PNS?" tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung KMS Roni.

"Iya," jawab Djoko.

"'Action plan' itu terkait pemberian uang 10 juta dolar AS?" tanya jaksa Roni.

"Itu proposal saja," jawab Djoko.

"Apakah 'action plan' itu terlaksana atau saudara merasa terbantu atau tertipu?" tanya Jaksa Roni.

"Saya rasa saat Desember saya kirim 'whatsapp' ke Anita soal 'action plan' sama sekali tidak bisa diterima dan tidak bersedia untuk melanjutkan," jawab Djoko.

"Tapi kan saudara sudah bayar 500 ribu dolar AS?" tanya Jaksa Roni.

Dalam dakwaan disebutkan pada 26 November 2019, adik ipar DJoko Tjandra, Herriyadi Angga Kusuma (almarhum) memberikan uang 500 ribu dolar AS kepada Andi Irfan Jaya di sekitar mall Senayan City.

"Uang itu sebelum saya terima 'action plan', tapi 'action plan' diberikan setelah mereka (Pinangki, Anita, Andi Irfan) kembali dari Kuala Lumpur 26 November 2019," ungkap Djoko.

Namun Djoko mengatakan ia menerima "action plan" pada 28-29 November 2019.

"Seketika itu saya bilang tidak terima 'action plan' karena ada unsur Pinangki makanya saya taruh 'no' di situ, yang memberikan 'action plan' itu Andi Irfan melalui 'whatsapp' ke saya," tambah Djoko.

"Apakah saudara pernah mengatakan ke Rahmat kok biayanya mahal sekali Mat? Mereka minta 100 juta dolar AS lalu Rahmat menjawab 'waduh saya tidak tahu Pak, terserah bapak saja', apakah jawab seperti itu?" tanya jaksa Roni.

"Tidak ada diskusi itu, proposal 100 juta dolar AS itu tidak lazim dibicarakan seperti itu," jawab Djoko.

Dalam perkara ini Jaksa Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan yaitu pertama dakwaan penerimaan suap sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra.

Dakwaan kedua adalah dugaan pencucian uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar 444.900 dolar atau sekitar Rp 6.219.380.900 sebagai uang pemberian Djoko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA.

Ketiga, Pinangki didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai 10 juta dolar AS.
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020