Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD mempersilakan pemohon uji materi UU Penodaan Agama mengadu ke DPR jika tak puas dengan putusan lembaganya.

"Silakan saja kalau mau mengadu ke DPR. Saya senang kalau DPR mengeksaminasi putusan-putusan MK," kata Mahfud melalui pesan singkat (SMS) yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis malam.

Mahfud sendiri saat ini sedang berada di Turki memberi ceramah tentang MK RI pada acara ulang tahun ke-48 MK Turki.

Ia mengaku membaca berita di internet tentang langkah pemohon uji materi UU Penodaan Agama yang gugatannya ditolak MK yang akan meminta DPR menguji putusan MK tersebut.

"Selama ini saya juga sering mensponsori LSM atau kampus untuk mengeksaminasi vonis MK. Perbanyaklah lembaga yang diminta melakukan eksaminasi, jangan hanya DPR. Bisa ke LSM, ke kampus, dan lebih afdhol minta eksaminasi ke Komisi Yudisial. Kalau mau ke Komisi HAM PBB juga bagus," katanya.

Terkait pernyataan pemohon bahwa hakim MK tak independen, bahkan ada yang bilang ahli yang hadir di sidang lebih banyak yang minta UU tersebut dicabut, Mahfud menanggapi dingin.

"Selama ini semua orang yang kalah di MK selalu bilang hakim MK tidak independen dan diintervensi oleh kekuatan luar. Itu rumusnya orang kalah," katanya.

Dikatakannya, sudah biasa pihak yang kalah, karena guncangan psikologis, selalu memakai rumus emosi, mengatakan MK tak obyektif.

Sementara yang menang, lanjutnya, sering sama "gombalnya" dengan menyanjung hakim MK sebagai negarawan yang paham konstitusi.

"Selalu saja begitu sejak dulu. Tapi saya sayangkan jika anak-anak muda yang tampak pintar ikut-ikuan pakai rumus begitu," katanya.

Terkait pernyataan bahwa ahli yang hadir lebih banyak yang meminta UU Penodaan Agama dicabut, Mahfud dengan tegas menyatakan hal itu sebagai kebohongan.

"Itu bohong. Lihatlah fakta, hanya segelintir yang minta dicabut. Sebagian besar minta dipertahankan, ada beberapa yang minta diperbaiki. Tapi memperbaiki itu bukan urusan MK, melainkan urusan legislatif. MK hanya menilai konstitusional atau inkonstitusional," katanya.
(S024/Z002/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010