Jakarta (ANTARA) - Sebagian orang masih berolahraga di luar ruangan seperti bersepeda dan lari walau di tengah pandemi COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir, demi menjaga kesehatan dan kebugaran tubuhnya.

Namun, selain COVID-19, masyarakat terutama di Jabodetabek juga harus berhadapan dengan paparan polusi udara yang bisa berdampak buruk pada tubuh.

Temuan Nafas, aplikasi kualitas udara yang memantau kualitas udara di 10 kota administratif Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan dan Bekasi (Jabodetabek) menunjukkan, sekitar 40 persen area olahraga di lokasi itu memiliki kualitas udara lebih dari 100ug/m3, yang menurut US Air Quality Index (AQI) atau indeks kualitas udara termasuk dalam kategori berbahaya.

Co-Founder & Chief Growth Officer Nafas (@nafasjkt), Piotr Jakubowski mengungkapkan, temuan ini berdasarkan data yang dikumpulkan pada Agustus 2020 pada pukul 4.00-9.00 (waktu rata-rata orang berolahraga) menggunakan 45 sensor kualitas udara.

"Ada perbedaan signifikan sepanjang bulan di lokasi berbeda. Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, tempat yang palig banyak hari yang tingkatnya di atas 100ug/m3," ujar dia webinar "Mau Olahraga? Pantau Kualitas Udara", Selasa.

Merujuk data, dia dan tim merekomendasikan pengurangan waktu berolahraga pada jam 4.00-9.00 menjadi 90 menit hingga bahkan di bawah 30 menit.

Kemudian, mereka yang tinggal di wilayah Bogor, Tangerang Selatan dan Tangerang sebaiknya mengurangi latihan di bawah 90 menit jika kualitas udara lebih dari 100ug/m3 selama 19 hari, diikuti Bekasi selama 18 hari, lalu Jakarta serta Depok 17 dan 10 hari.

Selain itu, ketimbang pagi hari, mereka menemukan pukul 15.00-19.00 sebagai waktu dengan kualitas udara terbaik.

Baca juga: Pajanan polusi udara jadi salah satu faktor kanker paru

Baca juga: Anak-anak dan ibu hamil rentan terkena penyakit karena polusi udara


Dampak polusi

Ada banyak elemen berbeda dalam polusi udara yang berdampak buruk bagi Anda, tetapi umumnya ozon, berbagai bentuk karbon, nitrogen oksida, sulfur oksida, senyawa organik yang mudah menguap, partikel halus, bahan kimia seperti sulfat, nitrat, karbon, atau debu yang lebih tipis dari rambut manusia yakni PM 2,5.

Pakar pulmonologi di RSUP Persahabatan, Dr. Erlang Samoedro mengatakan, partikel PM 2,5 ini bisa masuk ke saluran napas hingga ke ujung paru-paru yang bisa memicu peradangan lokal di area itu.

"Debu ini ada sistem mekansime untuk mengeluarkannya, tetapi kalau banyak sistem pengeluaran tubuh tidak sebanding dengan udara yang masuk. Akibatnya terjadi penumpukan, bisa terjadi peradangan lokal di paru, asma kambuh, " kata dia.

"PM 2,5 agak sulit dilihat karena kecil sekali. Kadang-kadang PM 2,5 berkorelasi dengan PM 10, kalau PM 10 jelas terlihat, kalau di atas 200-400 (ug/m3) itu sudah berkabut sekali, jarak pandang hanya 5 meter ke depan. Lihat ke arah langit, kalau warna birunya kita masih bisa lihat mungkin masih di bawah 200 ug/m3," sambung Erlang.

Ahli pulmonologi di St. Joseph Hospital, Orange, California, Raymond Casciari sepeprti dilansir Health mengungkapkan, dalam jangka pendek, menghirup udara berkualitas buruk dapat menyebabkan gejala seperti batuk, kesulitan bernapas secara normal, mata perih, pilek, mengi, nyeri dada, dan sesak napas.

Seiring waktu, terkena polusi udara dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius seperti peningkatan risiko penyakit paru-paru, termasuk asma, emfisema, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), bronkitis kronis, fungsi pembuluh darah terganggu, meningkatnya risiko stroke dan peningkatan risiko kanker, termasuk kanker paru-paru dan payudara.

"Setelah masuk ke paru, (partikel) berdifusi langsung ke pembuluh darah, beredar ke seluruh tubuh dan menimbulkan serangan terkait pembuluh darah seperti serangan jantung, stroke, bahkan pada ibu hamil bisa sampai ke janin," tutur Erlang.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan, dampak yang lebih parah bisa mempengaruhi orang yang sudah sakit dan anak-anak serta orang berusia lebih tua lebih rentan.

Baca juga: Kombinasi gizi plus olahraga sama dengan imun

Baca juga: Dokter olahraga ajak masyarakat berolahraga, jaga daya tahan tubuh


Lalu, apakah aman berolahraga di luar saat ini, bagaimana dengan masker?

Pakar perawatan paru yang juga direktur Institute for Translational Medicine and Science di Rutgers University, Reynold Panettieri secara tegas tidak menyarankan Anda berolahraga di luar ruangan saat kondisi udara tak bagus.

"Saat Anda berolahraga, Anda bernapas lebih cepat, dan itu memberi kemungkinan lebih besar untuk mengekspos sebagian besar paru-paru Anda ke polusi udara," tutur dia.

Anda juga bernapas lebih dalam saat berolahraga, dan itu dapat mendorong polutan lebih dalam ke paru-paru Anda.

Erlang mengatakan, ketika menghadapi polusi udara, penggunaan masker memang menjadi suatu yang disarankan untuk mengurangi paparan debu masuk ke dalam paru.

Namun, dia mengingatkan, ketika berolahraga sembari menggunakan masker ada hambatan dalam menarik napas atau udara masuk ke paru karena disaring masker. Kondisi ini akan menurunkan performa maksimal, karena oksigen yang masuk lebih kecil.

Di sisi lain, menurut Casciari, mengenakan masker kain tidak akan cukup melindungi Anda dari bahaya berolahraga dalam kualitas udara yang buruk. Meskipun benda ini dapat membantu menyaring partikel yang lebih besar di udara, tetapi tak cukup mampu menghalangi partikel halus masuk ke paru-paru Anda.

Di sisi lain, jika Anda memaksakan diri berolahraga di luar ruangan, performa Anda akan menurun. Anda tidak akan bisa berolahraga dengan baik dalam kualitas udara yang buruk, kata Panettieri.

Rekomendasi berolahraga aman

Pakar kedokteran olahraga yang juga anggota American College of Sports Medicine, Dr. Edward Laskowski seperti dikutip dari Mayo Clinic mengatakan, olahraga dan polusi udara bisa menjadi kombinasi tak sehat, terutama jika Anda menderita asma, diabetes dan masalah jantung atau paru-paru.

Salah satu yang bisa Anda lakukan untuk membatasi efek buruk polusi udara yakni mengatur waktu berolahraga. Tingkat polusi udara cenderung paling tinggi menjelang tengah hari atau sore hari, jadi cobalah untuk menghindari olahraga di luar ruangan selama waktu-waktu ini.

Berolahraga selama jam sibuk dapat membuat Anda terkena polusi dalam jumlah yang lebih tinggi. Jika bisa, hindari berolahraga di dekat jalan raya yang lalu lintasnya padat.

Selain itu, sebisa mungkin berolahraga di dalam ruangan. Ubah rutinitas Anda dengan aktivitas dalam ruangan sesekali, terutama pada hari-hari dengan kualitas udara yang buruk misalnya dengan mengikuti kelas kebugaran daring, di gym atau lari di trek dalam ruangan.

Pakar pulmonologi di The Ohio State University Wexner Medical Center, Jonathan Parsons mengingatkan Anda untuk memastikan ruangan tempat Anda berolahraga memiliki ventilasi yang baik.

Jika Anda ingin berolahraga di dalam ruangan ketika kualitas udara buruk, Casciari merekomendasikan untuk memastikan semua pintu dan jendela Anda tertutup serta menjaga filter udara di AC (jika ada) bersih.

Selain itu, untuk menghindari polusi dalam ruangan, sebisa mungkin tidak melakukan hal-hal seperti menggoreng makanan dan menyalakan lilin dalam ruangan tertutup.

Membatasi durasi Anda berolahraga juga bisa dilakukan, terutama jika Anda melakukan aerobik. Dengarkan tubuh Anda dan waspadai gejala seperti sesak napas, mengi, batuk, dan nyeri dada yang semua ini tanda Anda benar-benar harus berhenti dan menunggu sampai kondisi tubuh membaik.

Selain itu, Anda juga bisa memeriksa kualitas udara di lingkungan Anda, sebelum memutuskan berlahraga di luar ruangan, salah satunya menggunakan aplikasi Nafas. Piotr mengatakan, pada aplikasi ini terpasang sensor untuk PM 2,5 bekerja sama dengan perusahaan sensor yang sudah pernah menginstalasi lebih dari 5000 sensor di dunia.

"Dari data pengukuran kualitas udara langsung terkirim ke aplikasi. Pengukuran yang dapat dibuka di aplikasi, waktunya setiap 20 menit di refresh. Dari sisi akurasi sensor, hampir 95 persen," kata dia.

Fitur yang dibisa dimanfaatkan dalam aplikasi ini antara lain peta pantauan semua lokasi dengan data AQI, lengkap dengan rekomendasi waktu berolahraga dari riset Cambridge University.

Nantinya, aplikasi ini akan mengembangkan fitur untuk melihat kualitas udara dalam beberapa jam ke depan," demikian tutur Piotr.

Baca juga: Menjaga tubuh tetap sehat di tengah polusi udara

Baca juga: Polusi udara membuat paru-paru menua lebih dini

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020