Kerugian kalau kena PPOK
PPOK merupakan penyakit yang ditandai gejala sesak napas persisten, keterbatasan aliran udara dan batuk berdahak. Pada beberapa kasus, pasien juga mengalami penurunan berat badan, kelelahan, nyeri dada, batuk berdarah yang merupakan tanda kondisi lain seperti infeksi atau kanker paru.

Kondisi ini terjadi ketika paru-paru dan saluran udara menjadi rusak dan meradang. Penyebabnya, bisa berhubungan dengan paparan jangka panjang terhadap zat berbahaya seperti asap rokok (90 persen), paparan jenis debu dan bahan kimia tertentu di tempat kerja dapat merusak paru-paru, polusi udara hingga genetika.

Budhi menuturkan, pada mereka yang merokok penurunan fungsi parunya bisa mencapai 50-80 ml per tahun, jauh lebih tinggi ketimbang orang yang tidak merokok yakni 10-30 ml (seiring usia bertambah). Hal ini bisa berpengaruh pada kondisi tubuhnya yang bisa sangat menurun bahkan mengharuskannya beraktivitas menggunakan kursi roda dan menggunakan tabung oksigen.

PPOK termasuk penyakit kronik sebagai penyebab kesakitan dan kematian di dunia urutan keempat. Penyakit ini membuat penderitanya berisik lebih tinggi terkena stroke dan penyakit kardiovaskular lainnya.

Menurut Budhi, orang dengan PPOK cenderung masih bisa bertahan hingga usia tua namun aktivitas terbatas, sehingga kemungkinannya bekerja atau mencari nafkah sangat sulit.

Di sisi lain, mereka juga harus mengonsumsi obat-obatan untuk mengusahakan fungsi parunya bisa lebih baik, walau angka kesembuhannya tergolong sangat jarang.

"Angka kesembuhan jarang sekali, kita hanya bisa menyetop merokok dan agar penurunan fungsi paru tidak securam kalau dia merokok," kata Budhi.

Obat-obatan ini tak hanya satu dan ada di antaranya bisa menghabiskan biaya Rp600 ribu - 1juta per bulan. Belum lagi bila pasien mengalami serangan sesak di masa pengobatan, biaya yang dikeluarkan juga akan lebih besar.

Di Indonesia, prevalensi PPOK (tanpa menggunakan spirometri) berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan angka di atas 3,7 persen pada sejumlah daerah antara lain Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi.

"Lebih banyak yang laki-laki karena mungkin lebih banyak yang perokok, dahaknya banyak, ada suatu proses pada saluran napas yang
cenderung terjadinya penyempitan saluran napas. Selain merokok, juga polusi meningkatkan terjadinya PPOK," kata Budhi.

Baca juga: Wiku: Artis diharapkan sampaikan berita valid soal COVID-19

Baca juga: Presiden Jokowi undang seniman untuk kampanyekan protokol kesehatan

Baca juga: Kamidia Radisti sempat kesulitan beri pengertian anak soal corona

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020