Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) diharapkan telah menyusun dan memiliki strategi yang jelas untuk menghadapi berbagai risiko keamanan yang mungkin terjadi di kawasan selama dan setelah masa pandemi COVID-19, demikian isi diskusi yang diadakan oleh lembaga kajian hubungan internasional, The Habibie Center, di Jakarta, Selasa.

COVID-19, menurut para pembicara diskusi, telah mengingatkan warga dunia, termasuk ASEAN, bahwa pandemi turut mempengaruhi kemampuan negara-negara mengantisipasi ancaman keamanan di kawasan, khususnya di wilayah sengketa seperti Laut China Selatan.

"Pandemi COVID-19 memaksa sebagian besar negara di Asia Tenggara untuk mengalihkan anggarannya, termasuk anggaran bidang pertahanan, untuk menanggulangi COVID-19, dan keputusan itu menyebabkan terbatasnya kemampuan negara-negara untuk meningkatkan pengawasan dan pengamanan di Laut China Selatan," kata Ahli Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Aristyo Rizka Darmawan, saat sesi diskusi.

China diyakini meningkatkan aktivitas militernya di Laut China Selatan, perairan yang jadi sumber sengketa beberapa negara anggota ASEAN dan China, selama masa pandemi, khususnya pada medio Juli dan Agustus 2020.

Beberapa media seperti The Diplomat dan The South China Morning Post (SCMP) memberitakan militer China melakukan uji coba peluncuran dua rudal balistiknya, DF-21D dan DF-26B dari dua tempat yang berbeda ke arah Laut China Selatan, tepatnya di perairan dekat Kepulauan Paracel dan Pulai Hainan saat latihan militer pada 26 Agustus. Kepulauan Paracel dan perairan di sekitarnya merupakan wilayah yang saat ini masih diperebutkan oleh Vietnam, China, dan Taiwan.

Menurut pemberitaan The Diplomat dan SCMP minggu lalu beberapa sumber yang mengetahui uji coba itu mengatakan rudal tidak jatuh ke perairan kosong, tetapi menyasar ke kapal bergerak.

Walaupun demikian, informasi itu belum dapat dikonfirmasi langsung ke militer China atau perwakilan Pemerintah China di Indonesia.

Terkait aktivitas militer China yang meningkat selama pandemi, Aristyo berpendapat setelah pandemi COVID-19, ASEAN kemungkinan masih akan kesulitan untuk menghadapi dominasi Beijing di Laut China Selatan.

"Kehadiran China di kawasan kemungkinan akan terus meningkat (setelah masa pandemi), tetapi Amerika Serikat akan memperkuat hubungannya (dengan negara-negara ASEAN, red) demi mengimbangi pengaruh Beijing di kawasan (Asia Tenggara, red)," tambah dia.

Dalam sesi yang sama, Direktur The Yudhoyono Institute, Mira Permatasari, mengatakan ASEAN harus memiliki rencana yang jelas untuk menghadapi berbagai ancaman keamanan, khususnya yang berpotensi terjadi selama dan setelah masa pandemi.

Pasalnya, COVID-19, yang saat ini menyerang lebih dari 200 negara di dunia, telah mengingatkan warga dunia bahwa pandemi turut mempengaruhi dan jadi bagian dalam perbincangan mengenai isu keamanan di kawasan, ujar dia.

"Di tengah krisis kesehatan, pandemi menunjukkan ada masalah keamanan yang jauh lebih kompleks dari terorisme, ancaman nuklir, dan peningkatan aktivitas militer. Bahwa ada ancaman di luar negara seperti virus yang dapat mempengaruhi kemampuan suatu negara menghadapi risiko keamanan," kata Mira dalam paparannya.

Baca juga: Ahli: ASEAN lebih baik bangun persediaan daripada berebut vaksin
Baca juga: COVID-19 dorong ASEAN percepat bangun infrastruktur ekonomi digital
Baca juga: Ekonom: ketersediaan vaksin jalan pemulihan pariwisata, ekonomi ASEAN

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020