Jakarta (ANTARA News) - Muktamar III Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI) di Asrama Haji Kota Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis berlangsung ricuh setelah tata tertib pemilihan ketua umum bertentangan dengan AD/ART yang baru disahkan oleh muktamirin.

Menurut Ketua PW GMPI Jawa Timur A Sandy di sela-sela muktamar itu, Kamis, kericuhan bermula ketika muktamar memasuki agenda pemilihan ketua umum pada Rabu (5/5) malam.

Empat kandidat yang akan bersaing dalam pemilihan itu, Iqbal Bachtiar Chamsyah (anggota FPPP DPR), Hilman Ismail (Wakil Ketua Umum PP GMPI), Aditya (anggota FPPP DPR) dan Qoyum Abdul Jabar (Staf Khusus Menpera).

Sejak muktamar dimulai, kubu Qayum yang berasal dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU) langsung mendominasi.

Berupaya menghentikan langkah Qayum, ketiga kandidat lainnya yang berasal dari kelompok Muslimin Indonesia (MI) membangun koalisi. Persaingan dua kubu ini kemudian berlanjut dalam sidang-sidang komisi hingga rapat pleno.

Perdebatan sengit terjadi ketika pembahasan memasuki syarat kandidat ketua umum.

Kubu NU menginginkan semua kader GMPI berhak menjadi kandidat ketua umum, sebaliknya kubu MI berusaha mempertahankan rumusan dari Steering Committee (SC) bahwa syarat menjadi kandidat minimal satu periode menjadi pengurus PP GMPI atau pun PW GMPI.

Dalam pembahasan di tingkat komisi dan pleno dimenangkan oleh kelompok NU, yakni semua kader GMPI berhak maju sebagai kandidat ketua umum.

"Hanya saja, ketika memasuki agenda pemilihan, justru mengacu pada tatib muktamar yakni kandidat ketua umum harus pernah menjadi pengurus PP GMPI ataupun pengurus PW GMPI," katanya.

Hal inilah yang memicu protes dari kubu NU, karena dalam AD/ART sudah diputuskan bahwa semua kader GMPI berhak maju sebagai kandidat. Kubu NU berpendapat bahwa AD/ART lebih tinggi ketimbang tatib.

"Karena tak ada jalan keluar, muktamar ricuh. Para pendukung Qayum yang berjumlah 70 persen memilih walk out," katanya.

Namun, kubu MI yang hanya berjumlah 30 persen menyepakati membentuk formatur yang menyalahi AD/ART. Selanjutnya, kubu MI secara aklamasi menetapkan Hilman Ismail sebagai Ketua Umum PP GMPI. Proses tersebut disaksikan langsung oleh Sekjen DPP PPP yang juga Ketua Umum PP GMPI demisioner Irgan Chairul Mahfiz.

Ketua PW GMPI Jawa Timur A Sandy memprotes mekanisme pemilihan tersebut. Sebab, kata dia, dalam AD/ART yang disepakati muktamirin semua persyaratan pernah menjadi pengurus PP dan PW dihapus.

Karena itulah, pihaknya menilai pemilihan ketua umum tersebut cacat hukum. "Dalam konstitusi organisasi, AD/ART berada dalam posisi tertinggi. Ini aneh, justru tatib pemilihan bertentangan dengan AD/ART tetap dipakai," kata Sandy.

Pihaknya menyayangkan sikap Irgan yang membiarkan proses politik berjalan secara inkonstitusional. Padahal, Irgan mengikuti setiap proses politik dalam muktamar.

"Ini ada apa, kok proses yang inkonstitusional dibiarkan," ujarnya.

Hal senada disampaikan, Ketua PW GMPI Jawa Tengah Legiatno. Pihaknya menangkap kesan adanya proses mematikan regenerasi kepemimpinan di tubuh GMPI.

Padahal, Qayum sudah berkomitmen dengan kalangan muda untuk bisa mewarnai muktamar VII PPP mendatang.

"Sekarang ini saya melihat persaingan kembali ke faksi-faksi. Padahal, ke depan pertentangan antar faksi itu dihapus," ujarnya.

Untuk itulah, pihaknya akan membawa persoalan ini ke ranah hukum. Rencananya, kubu NU akan melakukan tuntutan atas hasil muktamar yang cacat hukum. Selain itu, pihaknya juga akan mendirikan organisasi sayap baru yang anggotanya lebih mengedepankan intelektualitas dan kesantunan berpolitik.

"Dengan dukungan 70 persen muktamirin akan kami bentuk presidium agar GMPI berjalan di track yang benar," katanya.

Sementara itu mantan Ketua Umum PP GMPI Irgan Chariul Mahfiz membantah proses muktamar berjalan inkonstitusional. Menurut dia, proses politik sudah berjalan sesuai ketentuan.

"Semua proses muktamar sudah berjalan sesuai ketentuan," ujar Irgan.

Karena itulah, apapun hasil dari muktamar tersebut harus dihormati oleh semua pihak. Pihaknya juga membantah kalau muktamar III GMPI merupakan pemanasan untuk muktamar VII PPP pada 2011 mendatang.

Mengenai ancaman tuntutan hukum, Wakil Ketua Komisi IX DPR ini juga tak mempersoalkannya karena semua warga negara punya hak yang sama di depan hukum.

(T.D011/J006/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010