Ekspresi kecewa manajer Schalke David Wagner setelah timnya ditundukkan Bayern Munich di Alianz Arena, Munich, pada 18 September 2020. (Photo by Christof STACHE / AFP)


Situasi tim berantakan

Situasi internal di kubu Schalke juga berantakan. Pertama, direktur teknik Michael Reschke dibebas tugaskan dari tugas-tugasnya setelah mengabdi selama 18 bulan dan menangani tiga bursa transfer.

Tidak lama kemudian, Schalke mengumumkan bahwa Amine Harit dan Nabil Bentaleb akan berlatih terpisah dari rekan-rekan setimnya sampai terdapat pemberitahuan lebih lanjut. Bentaleb sendiri dipastikan akan meninggalkan klub selambat-lambatnya pada musim panas 2021.

Baca juga: Schalke menang atas Mainz berkat gol menit akhir Amine Harit
Baca juga: Newcastle pinjam Nabil Bentaleb dari Schalke


Pemain lain, Vedad Ibisevic, akan mendapat pemutusan kontrak pada 31 Desember dan saat ini telah kembali ke Berlin untuk tinggal bersama keluarganya. Penyerang veteran asal Bosnia itu terlibat dalam perselisihan di lapangan latihan dengan asisten pelatih Naldo.

Dilepasnya sejumlah pemain di atas membuat Schalke akan kesulitan untuk mendapatkan pemain-pemain pengganti pada bursa transfer mendatang. Ketua Schalke Jochen Schneider bahkan mengakui bahwa klubnya akan kesulitan mempertahankan pemain-pemain bagus mereka seandainya muncul tawaran dari klub-klub besar yang lebih mapan.

Baca juga: Liverpool siapkan Rp128 miliar untuk rekrut bek belia dari Schalke
Baca juga: Schalke kehilangan pemain tersuburnya Serdar sampai akhir musim


Masalah uang

Masalah uang juga membelit Schalke. Klub itu mengakhiri tahun finansial 2018/2019 dengan lilitan hutang hampir mencapai 200 juta euro, angka yang dapat melonjak sampai 250 juta euro pada akhir tahun kalender.

Hubungan pihak klub dengan para penggemar memburuk. Para pemegang tiket terusan ditanyai mengapa mereka meminta pengembalian dana tiket (refund), sedangkan pihak klub mempekerjakan banyak pegawai dengan gaji minim. Dua hal itu semakin memicu ketegangan di kedua belah pihak.

Dalam satu kesempatan, kelompok penggemar Schalke yang paling vokal Ultras Gelsenkirchen, mengkritik dewan pengawas klub, dewan kehormatan, manajemen keuangan, dan mengeluhkan terdapat pengabaian terhadap nilai-nilai klub.

Baca juga: Schalke didenda 50 ribu euro akibat sorakan rasial suporter

"Musim ini secara keseluruhan merupakan keruntuhan moral. Klub dengan cepat kehilangan kepercayaan dan identifikasi mereka. Kami tidak akan membiarkan klub diambil dari kami dan dihancurkan," demikian pernyataan tertulis mereka pada akhir musim 2019/2020.

Di sisi manajemen klub, mereka sedang mengupayakan perubahan struktur fundamental di Schalke. Dengan dipimpin oleh direktur pemasaran Alexander Jobst, manajemen diketahui sedang berusaha mengubah klub dari klub yang 100 persen dikendalikan oleh anggota, menjadi kemitraan korporasi.

Masalah di luar lapangan

Tidak berhenti sampai di sana, Schalke juga memiliki masalah di luar lapangan terkait mantan ketua mereka Clemens Toennies.

Pada Juni, kelompok penggemar Schalke mengadakan demonstrasi dengan slogan "Schalke bukan rumah jagal! Menentang perusakan klub kami!"

Kalimat-kalimat itu mengacu pada merebaknya wabah COVID-19 di pabrik pemrosesan daging milik Toennis di Rheda-Wiedenbruck.

Itu bukan pertama kalinya Toennis terbelit masalah di luar urusan sepak bola. Pada Agustus 2019, ia diwajibkan untuk mundur selama tiga bulan setelah melontarkan komentar mengenai Afrika yang bertendensi rasis.

Baca juga: Presiden Schalke mengundurkan diri karena terbelit kasus rasialisme

Dengan pemain-pemain kunci yang dilepas dan mereka akan kesulitan mendapatkan penggantinya, ditambah deretan nir-kemenangan yang mengancam mereka terdegradasi untuk pertama kalinya sejak 1988, masalah-masalah Schalke di luar lapangan terefleksi dengan jelas pada penampilan mereka di atas lapangan.

Penampilan yang menyedihkan tentunya.

Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2020