Jakarta (ANTARA) - Pengelolaan lingkungan masih menjadi persoalan sensitif yang kerap dihadapi perusahaan terutama yang bergerak di bidang pertambangan, energi dan perkebunan.

Kepatuhan terhadap kebijakan sejauh ini masih menjadi tolok ukur keberhasilan pengelolaan lingkungan.

Pertanyaannya apakah pengelolaan lingkungan sejauh ini semata-mata masih berpegang terhadap rambu-rambu berupa peraturan dan perundangan? Kenyataannya tidak demikian, kondisi sekarang telah berubah.

Masyarakat baik di Indonesia maupun luar negeri kian jeli melihat kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Masyarakat saat ini sangat selektif dalam memilih produk.

Apabila produsennya dianggap tidak peduli terhadap lingkungan maka mereka enggan untuk menggunakan produknya. Pertanyaannya lagi bagaimana masyarakat bisa mengetahui soal lingkungan?

Ternyata banyak publikasi mengenai lingkungan yang mudah diakses, bahkan beberapa membuat peringkat dari lembaga yang kredibel.

Hal senada juga disampaikan pakar lingkungan hidup Sonny Keraf yang mengatakan isu lingkungan hidup dan sosial saat ini telah menjadi tuntutan pasar. Hal itu mengharuskan perusahaan secara sukarela untuk melakukan perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup dan sosial secara baik dan proper.

Baca juga: Aktivis lingkungan sarankan pengelolaan berkelanjutan APL Batang Toru
Alam yang terjaga akan membuat biaya produksi bisa lebih efisien. (ANTARA/Ganet Dirgantoro)

Menurut Sonny, pendekatan mandatori melalui undang-undang saat ini malah cenderung berkurang karena kerap menimbulkan konflik. Justru belakangan ini tengah menjadi tren untuk mendorong pelaku bisnis secara sukarela mengelola usahanya secara ramah lingkungan dan sosial.

Sonny mengatakan, pengelolaan usaha secara ramah lingkungan dan sosial, sejatinya jauh lebih menguntungkan dari sisi biaya produksi dan daya saing perusahaan dalam jangka panjang.

Meskipun diakui dalam jangka pendek diperlukan nilai investasi cukup besar, namun sudah terbukti jika perusahaan menggunakan energi ramah lingkungan atau terbarukan justru akan menguntungkan.

Energi ramah
Rencana umum energi nasional menargetkan penggunaan energi ramah lingkungan sebanyak 23 persen dari total kebutuhan nasional pada tahun 2025 dan sekarang baru tercapai sekitar 5 persen.

Dapat dipastikan apabila perusahaan-perusahaan secara sukarela mengarahkan pengelolaan bisnisnya secara ramah lingkungan dan sosial dapat berkontribusi untuk memenuhi target tersebut.

Baca juga: RLU raih penghargaan "Indonesia Green Companies Award"
Harimau sumatra berlari keluar kerangkeng besi saat pelepasliaran di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Provinsi Aceh. (Antara Aceh/Syifa Yulinnas)

Sonny menyampaikan apresiasi terhadap perusahaan-perusahaan yang secara berkelanjutan melakukan pengelolaan usahanya secara ramah lingkungan dan sosial.

Kisah keberhasilan PT Royal Lestari Utama (RLU) sebagai salah satu perusahaan patungan Barito Pacific Group dan Michelin Group yang bergerak di sektor perkebunan karet dengan wilayah operasi di Jambi dan Kalimantan Timur yang berhasil menerapkan pengelolaan perusahaan berbasis lingkungan berkelanjutan mungkin bisa menjadi contoh bagi perusahaan lain.

Perusahaan yang telah mengelola kawasan hutan tanaman industri seluas 88.000 hektar, melalui tiga anak usahanya yaitu PT Lestari Asri Jaya, PT Wanamukti Wisesa dan PT Multi Kusuma Cemerlang menyisihkan 30 persen dari area kerja sebagai kawasan konservasi serta membentuk Wildlife Conservation Area (WCA) seluas 9.700 hektare.

Pekerjaan ini dijalankan melalui anak usaha, PT Lestari Asri Jaya, di selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Jambi. Di dalam area WCA, selain ada hutan yang dijaga, juga terdapat berbagai satwa yang dilindungi seperti gajah dan harimau Sumatera.

RLU juga mendedikasikan tim patroli untuk menjaga dan melakukan kegiatan konservasi tanaman serta satwa di kawasan tersebut.

Direktur Corporate Affairs, Sustainability and Human Resources RLU, Yasmine Sagita mengatakan, kunci keberhasilan dalam mengelola lingkungan dan sosial adalah keberlanjutan. Bahkan tugas perlindungan lingkungan dan sosial itu justru menjadi tujuan utama dalam beroperasi.

Yasmine menjelaskan bahwa dalam menjalankan usaha RLU melibatkan masyarakat lokal dan mengembangkan kemitraan dengan para petani hutan di sekitar perusahaan. Saat ini terdapat lebih dari 20 desa di sekitar area kerja yang telah dilibatkan dalam berbagai program kerjasama dan pemberdayaan masyarakat.

Hingga saat ini, ada sekitar 500 petani karet yang telah mendapatkan pelatihan dan bekerjasama dengan perusahaan. Perusahaan menyadari perlunya transfer pengetahuan agar petani memiliki teknik budidaya karet yang lebih produktif mulai dari proses pembibitan hingga pengelolaan pascapanen.

Untuk itu  RLU melakukan berbagai kegiatan, mulai dari pendampingan teknis, sekolah lapangan (field school), sampai penguatan kelembagaan terkait tentang manajemen bisnis dan juga menampung hasil karet produksi masyarakat dengan harga yang kompetitif.

RLU juga mendorong agar petani sekitar hutan dilindungi secara hukum. Hasilnya, pada Juni 2020, PT Lestari Asri Jaya dan PT Wanamukti Wisesa mendapatkan SK Pengakuan dan Perlindungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk program kemitraan kehutanan. Kedua anak usaha RLU itu merupakan perusahaan pemegang HTI pertama di Jambi yang mendapatkan SK dari Kementerian LHK tersebut.

Perusahaan tengah mengajukan surat keputusan untuk sejumlah kelompok petani hutan lainnya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Diharapkan melalui pengelolaan usaha yang mengedepankan pelestarian lingkungan dan sosial akan membawa perusahaan tumbuh secara berkelanjutan.

Baca juga: Pandemi tak surutkan gaung advokasi menanam pohon
Baca juga: KLHK minta daerah tingkatkan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup


Butuh perhatian
Pakar lingkungan yang juga pendiri Yayasan Kehati, Emil Salim mengingatkan kesadaran soal lingkungan bukan hanya kewajiban perusahaan saja, namun seluruh masyarakat juga memiliki andil.

Emil Salim mengingatkan kesadaran ini harus sudah ada dalam diri masing-masing mengingat perubahan iklim sudah di depan mata. Sudah menjadi kewajiban semua pihak untuk mencegah dampak perubahan iklim apalagi di Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap fenomena tersebut.

Menurut Emil Salim, dampak dari perubahan iklim itu akan merugikan bagi perusahaan dan juga masyarakat. Sehingga sudah menjadi kewajiban bersama untuk mencegah kerusakan alam.

Emil Salim mengingatkan bahwa pada 2019 telah terjadi kenaikan suhu global sebesar 1,1 derajat Celcius akibat melonjaknya emisi gas rumah kaca yang sebagian besar dihasilkan dari bahan bakar fosil.

Apabila gejala ini berlangsung dan bumi semakin panas sehingga es di Kutub Utara dan Selatan mencair yang kena dampak kenaikan laut bukan hanya Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok dan Eropa. Tapi negara kepulauan dan apa negara kepulauan itu? Republik Indonesia.

Melihat hal itu, Indonesia berkepentingan dalam usaha untuk mengekang perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya dengan menjaga ekosistem lingkungan hidup yang ada.

Emil Salim mengatakan sudah menjadi kewajiban semua pihak agar ekosistem alami berjalan normal. Bahkan Emil Salim mencontohkan bagaimana ekosistem yang rusak dapat menghasilkan pandemi seperti yang terjadi saat ini dengan COVID-19.

Emil mengatakan bagaimana kerusakan habitat membuat kelelawar, yang menjadi pembawa virus corona, semakin sering berinteraksi dengan manusia membuat memungkinkan terjadi zoonosis atau penyakit yang disebabkan penularan dari hewan ke manusia.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut sudah sepatutnya semua pihak terlibat untuk menjaga lingkungan. Keterlibatan perusahaan apalagi memiliki kawasan operasi luas membuat kepedulian terhadap lingkungan menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan.

Edukasi merupakan hal yang penting, di antaranya dengan dengan mengajak masyarakat agar ikut terlibat dalam memelihara lingkungan.

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020