Jakarta (ANTARA) - Upaya pencegahan kasus-kasus kekerasan berbasis gender diyakini membutuhkan kebijakan dan legislasi yang jelas dan mendukung, terutama mengingat terjadinya peningkatan dalam angka kasus kekerasan di lingkungan rumah tangga selama masa pandemi COVID-19.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Marina Berg, dalam wawancara dengan ANTARA, Selasa, terkait penyelenggaraan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan/16 Days of Activism Against Gender-Based Violence yang berlangsung secara global mulai 25 November hingga 10 Desember mendatang.

"Kekerasan berbasis gender terjadi di berbagai belahan dunia, di mana 137 perempuan kehilangan nyawa di tangan anggota keluarganya sendiri setiap hari. Ini permasalahan yang kita hadapi di Swedia juga, dan kita ketahui bahwa COVID-19 telah meningkatkan risiko bagi perempuan dan anak-anak perempuan terpapar kekerasan dan eksploitasi seksual," papar Dubes Berg.

Di samping tekanan pada sektor kesehatan, dia mengatakan bahwa COVID-19 juga telah membawa dampak atas situasi kehidupan perempuan dan anak-anak perempuan.

"Kita membutuhkan kebijakan dan legislasi yang jelas untuk mengubah sikap, yang kemudian juga penting untuk mengubah keadaan tersebut," ujarnya.

Swedia sendiri merupakan negara yang meletakkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di tengah agenda pemerintahannya, baik dalam skala nasional maupun internasional. Pemerintahan dan Kebijakan Luar Negeri feminis Swedia dibentuk berdasarkan tujuan utama negara tersebut untuk memberikan representasi dan akses terhadap sumber-sumber yang setara bagi semua.

"Perlu saya tekankan bahwa kesetaraan gender bukan hanya soal perempuan atau laki-laki saja, namun ini terkait hak asasi manusia. Memastikan bahwa semua orang dapat menikmati hak-haknya merupakan kewajiban yang tertuang dalam kerangka komitmen internasional kami, dan syarat untuk dapat mencapai tujuan kebijakan luar negeri Swedia untuk perdamaian dan keamanan," paparnya.

Oleh karena itu, Berg menjelaskan bahwa selama ketimpangan gender masih menjadi permasalahan global, pihaknya akan terus menerapkan kebijakan-kebijakan feminis, baik di dalam negeri maupun di tatanan global.

Selain kebijakan yang mendukung, dia juga menyebut perlunya perhatian terhadap kesetaraan dalam proses-proses pengambilan keputusan serta alokasi sumber-sumber, contohnya dalam konteks anggaran pemerintah, anggaran perusahaan, maupun di sekolah-sekolah.

"Ini artinya kita membutuhkan analisis yang memberikan gambaran akan hubungan kekuasaan (power relation) yang mempengaruhi situasi bagi perempuan dan anak-anak perempuan. Data agregat dengan dasar jenis kelamin dan usia menjadi sangat penting dalam konteks ini," ujarnya.

Baca juga: Peluang kerja sama RI-Swedia soal vaksin COVID terbuka luas
Baca juga: Swedia soroti potensi kerja sama transportasi dan 'smart mobility'
Baca juga: Dubes dorong perusahaan Swedia investasi di sektor kesehatan Indonesia

Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020