Pekanbaru (ANTARA News) - Suasana tenang Senin siang di sebuah rumah makan di Jalan Paus, Pekanbaru, tiba-tiba berubah gaduh oleh datangnya sekelompok petugas berpakaian lengkap.

Mengenakan seragam hijau tua, sepatu lars panjang, ditambah baret yang terpasang di kepala, satu kompi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) masuk rumah makan itu.

Sontak para pengunjung yang sedang santap siang terkejut, termasuk Hamdan, salah seorang pelayan rumah makan tersebut.

Hati Hamdan semakin ciut ketika salah seorang petugas Satpol PP mendekatinya dan menanyakan pajak 10 persen yang belum disetor oleh majikannya

"Saya tidak tahu apa-apa mengenai pajak," kilahnya terbata-bata.

Tak berapa lama kemudian, datang Buyung, pemilik rumah makan menghampiri petugas Satpol PP tersebut. Tanpa basa-basi petugas yang ditemani pegawai Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) langsung mengulang kembali pertanyaan; mengapa tidak membayar pajak rumah makan?.

Buyung menjawab tandas, dia belum sanggup membayar pajak tersebut saat ini, karena rumah makannya sepi pengunjung.

"Saya minta tenggang waktu dulu lah," pintanya setengah memohon kepada petugas.

Akhirnya petugas berlalu dan memberikan waktu sepekan kepada Buyung untuk melunasi pajak rumah makannya.

Kepada ANTARA, Buyung mengaku sudah menerima surat teguran dari Dispenda Pekanbaru sebanyak tiga kali.

Namun ia terpaksa mengacuhkan uangnya tidak cukup untuk membayar pajak.

Pajak rumah makan, berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2006 yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Riau, memang dikenakan pada pengusaha rumah makan seperti Buyung. Jumlahnya cukup besar, 10 persen dari pendapatan.

"Bagaimana saya harus membayarnya? Dari hari ke hari pengunjung tempat saya semakin berkurang. Rumah makan saya kalah bersaing dengan rumah makan lain, yang lebih besar. Belum lagi, gaji karyawan dan pengeluaran rutin lainnya yang harus dibayar setiap bulan," ceritanya.

Ia mencatat, setidaknya setiap bulan, ia harus mengeluarkan dana rutin hingga Rp4 juta, ditambah pungutan lain seperti beban retribusi, pajak reklame, Amdal, parkir, air bawah tanah, SIUP/SITU, PBB, Dinas Kebakaran, Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata, NPWP dan pungutan lainnya.

"Berat dik di Pekanbaru saat ini. Apalagi semenjak banyaknya biaya yang harus dibayarkan setiap bulannya. Kita hidup seperti pada zaman kompeni," ujarnya.

Menurutnya, ketentuan pajak 10 persen yang harus dibayar dari pendapatan usahanya, bukan dari keuntungannya, sangat memberatkan usaha rumah makannya.

Jika pendapatan hari itu Rp500 ribu, maka Buyung harus membayar pajak sebesar Rp50 ribu.

"Memang pihak Dispenda mengatakan diambil saja dari pembeli, namun kita tidak bisa seperti itu. Jika hal itu diberlakukan maka harga makanan di sini akan naik. Sementara yang membeli banyak dari kalangan menengah ke bawah," tambahnya.

Menurut Buyung, mungkin akan ringan jika pajak daerah itu hanya 10 persen dari keuntungannya.

Para pembangkang seperti Buyung tak sendiri. Hani Dwijoko, bendahara Asosiasi Rumah Makan dan Minuman (Asamari) Pekanbaru menyatakan banyak pengusaha rumah makan yang terpaksa mengemplang pajak.

Menurut Hani, mereka umumnya mengeluhkan tingginya pajak daerah untuk rumah makan dan restoran.

Asamari, katanya, juga telah mengadukan hal tersebut ke DPRD Kota Pekanbaru, namun tidak membuahkan hasil."Ini tentu saja memberatkan, apalagi saya berjualan siomay. Berapalah penghasilannya," ungkapnya.

Bahkan, untuk menaikkan harga saja ia tak bisa. "Pelanggan akan pergi jika harga dinaikkan," katanya.

Ia juga sangat berkeberatan dengan cara Dispenda memungut pajak.

"Dispenda memungutnya seperti tukang palak, datang dan meminta pajak 10 persen dari omset. Kalau seperti itu, tak perlu pendidikan tinggi untuk jadi pegawai Dispenda," jelasnya.

Dia mengaku pernah melayangkan protes ke Pemerintah Kota Pekanbaru, namun pemerintah kota malah mengatakan semua restoran menyambut baik pajak tersebut. Terbukti, dengan banyaknya yang mengikuti undian beberapa waktu lalu. Bahkan melemparkan persoalan ke DPRD yang membuat Perda.

"Tapi coba cermati, yang mengikuti undian tersebut hanya restoran besar seperti KFC atau Solaria. Bukan kami pedagang kecil," serunya.

Ia bukannya tak menyetujui pembayaran pajak pada pemerintah kota, tapi dia memerlukan klasifikasi.

"Harus dibedakan antara pengusaha restoran besar dengan rumah makan biasa, yang tak mempunyai AC, pelayanan yang profesional, maupun meja kursi dari kualitas baik," ujar Hani

Asamari meminta Perda tersebut dikaji ulang.

Sementara Kepala Bidang Penetapan dan Pendataan Dinas Pendapatan Daerah Pekanbaru, Musa, mengaku memang mereka gencar menertibkan rumah makan yang tidak membayar pajak yang jumlahnya puluhan di Pekanbaru.

"Kebanyakan rumah makan tersebut berada di jalan protokol seperti Jalan HR Soebrantas, Imam Munandar, Paus, Arifin Achmad dan Jalan Riau. Oleh karena itu, Dispenda melakukan penertiban terhadap rumah makan tersebut. Kita juga bekerja sesuai dengan Perda yang ada," kilahnya.

Dalam melakukan penertiban, pemerintah berkoordinasi dengan Tim Yustisi. Sanksi terberat adalah menyita sejumlah kursi atau pencabutan izin usaha.

Menurut dia, langkah tersebut dilakukan untuk menimbulkan efek jera sehingga kesadaran membayar pajak dapat dipupuk.

Kepala Kantor Satpol PP Pekanbaru Indra Kesuma mengaku hanya menjalankan tugas yang ada, yakni menegakkan Perda yang ada.

Dia mengungkapkan, memang hingga pertengahan Mei, pihaknya sudah menertibkan 15 rumah makan yang enggan membayar pajak.

"Kita sudah memanggil pemilik rumah makan tersebut. Tetapi masih ada yang tidak menanggapinya, tentunya kita akan mengambil tindakan tegas," katanya.

Indra mengakui ada keluhan dari pengusaha rumah makan mengenai penerapan pajak, namun dia berkilah bahwa dia hanya menegakkan Perda.

Ketua Komisi II DPRD Kota Pekanbaru, Nofrizal mengatakan Perda tersebut termasuk 32 Perda yang direvisi. Saat ini Badan Legistasi DPRD Pekanbaru sedang mengkaji Perda itu.

"Kita berharap nantinya Perda tersebut lebih berpihak pada masyarakat banyak," harapnya.

KR-IND/T010/AR09

Oleh Indriani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010