Jakarta (ANTARA News) - April lalu, dalam sebuah acara, Bupati Kudus Musthofa Wardoyo tak henti menebar senyum. Dia menjadi tuan rumah bagi sejumlah pejabat teras yang hadir dalam hajatan "gaul" bagi masyarakat setempat, peresmian Kartu Tanda Penduduk (KTP) online.

Sejumlah pembesar dari berbagai instansi hadir. Bahkan, jajaran pejabat teras dari Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan (Adminduk) Kementerian Dalam Negeri tak mau ketinggalan.

"Semua ini ditempuh sebagai bentuk komitmen Pemkab Kudus untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan masyarakat Kudus yang sejahtera," kata Musthofa bersemangat.

Rangkaian kisah sukses terus meluncur dalam pernyataan Musthofa. Dia menjelaskan, proyek KTP dalam jaringan (KTP online/e-KTP) di Kabupaten Kudus berlangsung sejak 25 Februari 2009. Saat itu, proyek tersebut menyentuh 27 desa/kelurahan.

"Evaluasi terus dilakukan untuk penyempurnaan kuantitas dan kualitas teknis maupun nonteknis, sehingga pada 18 Januari 2010 mulai uji coba memberikan pelayanan KTP gratis `online` tahap kedua di 105 desa/kelurahan, yang diresmikan hari ini," ujarnya bangga.

Hiruk pikuk di Kudus yang dibungkus dalam kisah sukses itu hanyalah kulit luar dari karut marut pelaksanaan proyek besar berskala nasional dan berbiaya mahal, yaitu implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK).

NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat khas, tunggal, dan melakat. Bersifat khas karena setiap penduduk hanya memiliki satu nomor, tidak tergantikan, dan dapat berbeda dengan nomor orang lain. Bersifat melekat karena nomor ini melekat pada seseorang selama dia menjadi warga negara Indonesia.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) Saut Situmorang awal tahun ini menjelaskan, setiap warga negara harus sudah memiliki nomor induk kependudukan paling lambat akhir tahun 2011.

Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan, NIK harus terimplementasi dalam waktu lima tahun sejak Undang-undang Administrasi Kependudukan berlaku.

Saut menjelaskan, NIK tidak hanya bermanfaat bagi pembuatan KTP dalam jaringan (online) yang bersifat nasional, tapi juga bagi penyusunan paspor, NPWP, SIM dan polis asuransi. Dengan demikian, seseorang tidak akan memiliki identitas ganda, dan berbagai polemik terkait data kependudukan akan sirna.

Proyek ini tidak bisa dibilang murah. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi memperkirakan, proyek ini akan menelan biaya Rp6,6 triliun.

Pernyataan Gamawan itu bersesuaian dengan isi surat yang dia tandatangani dan dikirimkan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas.

Surat dengan nomor 471.13/4210.A/SJ tertanggal 30 Novemner 2009 itu secara tegas menguraikan usulan kebutuhan dana implementasi NIK dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional.

"Kami mengusulkan kembali perubahan sumber pembiayaan dan pentahapan anggaran untuk pemenuhan pembiayaan pemberian NIK kepada setiap penduduk dan penerapan e-KTP dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp6,616 triliun," demikian tertulis dalam surat tersebut.

Biaya besar itu rencananya digunakan dalam tiga tahap, yaitu pada 2010 sekitar Rp598 miliar untuk pemutakhiran data dan pemberian NIK kepada penduduk di 497 kabupaten/kota, serta penerapan e-KTP di enam kabupaten/kota yang merupakan lanjutan penerapan e-KTP pada 2009.

Kemudian pada 2011 sebesar Rp2,065 triliun untuk penerapan e-KTP di 191 kabupaten/kota. Terakhir pada 2012 sebesar Rp3,953 triliun untuk penerapan e-KTP di 300 kabupaten/kota.

Kelemahan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus ketidakberesan dalam proyek tersebut. Berbekal kewenangan yang diatur dalam pasal 14 Undang-undang KPK, tim pencegahan KPK melakukan monitoring dan pengkajian.

Hasil kajian KPK antara lain dituangkan dalam surat KPK kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Surat dengan nomor B-1604/01-10/11/2009 tertanggal 6 November 2009 itu menjelaskan rentetan kelemahan megaproyek tersebut, antara lain "grand design" proyek yang baru disusun pada akhir 2008 atau dua tahun setelah pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), semacam pusat data untuk implementasi NIK.

Hal ini berakibat pada keterbatasan jaringan, rendahnya kompetensi sumber daya manusia, dan ketidakakuratan pusat data.

Kemudian, KPK berpendapat, pembangunan pusat data tidak selaras dengan pembangunan infrastruktur penunjangnya. Hal itu antara lain terlihat pada pembangunan pusat pemulihan data yang terlambat. Sistem pemulihan data seharusnya sudah siap sebelum Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) beroperasi.

Bukan itu saja. Tim KPK juga menemukan fakta bahwa SIAK belum terintegrasi secara nasional. Hal ini bisa berdampak pada tidak berfungsinya e-KTP di sejumlah daerah karena sistem dalam jaringan (online) belum berfungsi.

Wakil Ketua KPK, M. Jasin menegaskan, proyek NIK dan penerapan e-KTP harus menyertakan data biometrik dan sidik jari.

"Hal ini untuk menghindari adanya data ganda dan menghindari adanya pemborosan anggaran," kata Jasin.

Namun, hasil pantauan tim KPK selama Desember 2009 sampai Januari 2010 menunjukkan hal yang sebaliknya. Pelaksanaan uji petik NIK dan penerapan e-KTP di beberapa wilayah ternyata tidak dilakukan secara terintegrasi.

Di beberapa daerah, perekaman sidik jari dilakukan setelah pengambilan foto dan pencatatan data diri, dengan rentang waktu antara satu bulan sampai dua bulan. Lebih parah lagi, data hasil rekaman tidak terkunci di sistem pusat data nasional. Hal itu bisa menimbulkan kesalahan dan duplikasi pencatatan data.

Untuk itu, KPK kembali mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri yang berisi sejumlah rekomendasi perbaikan implementasi NIK. Surat dengan nomor B-036/01-10/01/2010 tertanggal 8 Januari 2010 itu antara lain berisi usulan finalisasi "grand design" Sistem Administrasi Kependudukan.

KPK juga mengusulkan penerapan uji petik e-KTP dilakukan setelah validasi dan penguncian pusat data kependudukan dengan menggunakan rekaman elektronik berupa sidik jari sebagai alat verifikasi jati diri.

Kemudian, KPK merekomendasikan agar rencana penggunaan anggaran implementasi NIK dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional pada 2010-2012 dikaji ulang karena berpotensi memboroskan keuangan negara.

Sebagai contoh, alokasi RpRp598 miliar pada 2010 untuk pemutakhiran data dan pemberian NIK kepada penduduk di 497 kabupaten/kota, serta penerapan e-KTP di enam kabupaten/kota terancam mubazir. Hal itu disebabkan perekaman data tidak akurat dan pemberian e-KTP tidak disertai dengan kesiapan jaringan yang terintegrasi secara nasional.

Meski dihantui setumpuk permasalahan, proyek implementasi NIK dan e-KTP itu tetap berjalan. Bahkan, Kementerian Dalam Negeri melaporkan kepada Wakil Presiden Boediono bahwa uji petik penerapan e-KTP di beberapa daerah berjalan lancar.

Laporan melalui surat bernomor 471-12/123/83 tertanggal 13 Januari 2010 itu juga menyatakan sistem, perangkat, dan jaringan untuk penerbitan e-KTP di pusat dan daerah berfungsi dengan baik.

Selain itu juga disebutkan biodata, foto, sidik jari, dan tanda tangan penduduk telah terekam dan tersimpan dalam pusat data kependudukan dan "chip", serta terkonsolidasi dari daerah ke pusat sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya data penduduk ganda.

Terbukti

Beberapa waktu kemudian, hasil kajian tim pencegahan KPK ternyata terbukti. Hasil pantauan ANTARA di beberapa daerah menunjukkan adanya keluhan tidak berfungsinya e-KTP. Bahkan, duplikasi data penduduk masih terjadi.

Kepala Bidang Kependudukan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Bogor, Ganjar Gunawan, mengatakan, penggunaan KTP online atau e-KTP di daerahnya belum optimal untuk mencegah penggandaan data diri.

Hal ini disebabkan KTP online nasional belum diaktifkan, sehingga pemerintah daerah hanya bisa memberlakukan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) offline.

"KTP NIK online belum diaktifkan secara nasional, saat ini KTP NIK offline yang kita berlakukan. Upaya penggandaan belum bisa ditanggulangi selama pemberlakukan online nasional belum diaktifkan, sama saja tidak optimal mencegah penggandaan," kata Ganjar.

Penerapan KTP berbasis NIK di sejumlah daerah ternyata juga belum seragam. Ganjar mencontohkan, penerapan NIK di Bengkulu Selatan masih menggunakan kode dan nomor wilayah seperti 474.4/924/CPP/I/2006. Padahal penerapan di daerah lain sudah berupa data angka sebanyak 16 digit.

Sementara itu, hasil pantauan ANTARA di Samarinda juga menunjukkan adanya duplikasi data. Hal itu dibenarkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalimantan Timur yang menemukan 7.357 duplikasi data pemilih pada daftar penduduk potensial pemilih pemilu yang diserahkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Samarinda ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.

Dari hasil penelitian dan penelusuran LBH Kaltim ditemukan fakta adanya peningkatan tidak wajar jumlah pemilih dalam DPT (daftar pemilih tetap) Pilpres 2009 dengan DP4 pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) Samarinda hingga 53.193 pemilih.

Angka itu termasuk duplikasi jumlah data hingga 7.357 pemilih, 233 di antaranya mengalami duplikasi lebih dari tiga kali. Duplikasi itu berupa, kesamaan nama, tempat dan tanggal lahir serta alamat.

Tim verifikasi LBH Kaltim, menemukan sebanyak 189.742 NIK (Nomer Induk Kependudukan) yang terdaftar dalam DPT Pilpres 2009 namun tidak terdaftar pada DP4 Pilkada Samarinda 2010.

"Sebaliknya, tercatat 245.548 NIK yang terdaftar pada DP4 Pilkada Samarinda tetapi tidak ada ada DPT Pilpres 2009," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kaltim, Syamsul Bahri.

Kekisruhan serupa masih mungkin terjadi di daerah lain, mengingat uji petik pelaksanaan proyek telah dilakukan sedikitnya di enam wilayah.

Sebenarnya, Kementerian Dalam Negeri sudah menyadari bahwa sistem dalam jaringan (online) belum bisa terlaksana. Hal itu dijelaskan dalam surat balasan Kementerian Dalam Negeri kepada pimpinan KPK.

Dirjen Administrasi Kependudukan, H. Irman dalam surat dengan nomor 471.12/6548/MD tertanggal 21 Desember 2009 itu menjelaskan, pembangunan pusat data di daerah dan pusat masih menggunakan sistem luar jaringan (offline).

Melalui surat itu juga ada pengakuan perlunya peningkatan kualitas data melalui pemutakhiran dan perbaikan sistem dalam jaringan (online).

Wakil Ketua KPK, M. Jasin menegaskan, KPK akan tetap melakukan pengawasan pelaksanaan proyek tersebut untuk mencegah korupsi dan pemborosan keuangan negara.

"KPK akan memantau terus pelaksanaan rekomendasi tersebut agar Kementerian Dalam Negeri tidak melaksanakan program e-KTP sebagaimana yang direncanakan, dimana program tersebut tidak menjamin bahwa data tersebut bersih atau tidak ganda," kata Jasin menegaskan.

(T.F008/J006/S026)

Oleh Oleh Fx. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010