Di rumah Edhy ditemukan uang tidak kurang dari Rp4 miliar dan delapan sepeda.
Jakarta (ANTARA) - Rakyat Indonesia di mana pun berada pantas untuk berduka setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meringkus dua bupati dan seorang menteri yang diduga terlibat kasus korupsi yang menghabiskan uang negara miliaran rupiah.

KPK membekuk Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo, sebagaimana keterangan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango kepada wartawan, terkait dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi.

Wenny pada pilkada serentak tahun ini ikut merebut kembali kursi kepala daerah pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Dia disangkakan telah menerima hadiah atau janji dari sejumlah pengusaha dengan janji akan memberikan proyek jika terpilih kembali sebagai bupati.

Wenny yang juga Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan diduga menerima imbalan yang nilainya mencapai Rp1 miliar. Uang ini antara lain akan dipakai“ untuk membiayai kampanye.

Baca juga: KPK menahan Bupati Banggai Laut di Rutan Polda Metro Jaya

Sementara itu, Bupati Cimahi Ajay Muhammad juga telah ditangkap oleh KPK atas dugaan menerima uang suap pada proyek pembangunan sebuah rumah sakit senilai kurang lebih Rp32 miliar.

Sang Bupati ini “ngotot “ minta setoran 10 persen atau Rp3,2 miliar. Ajjay, kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, diduga menerima sekitar Rp1 miliar.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga diringkus penyidik KPK di Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, Banten atas sangkaan menerima sogokan dari sejumlah pengusaha yang mendapat izin ekspor benih atau benur lobster.

Edhy dan istrinya, Iis, baru pulang dari Hawaii, Amerika Serikat. Keluarga ini membawa “oleh- oleh” berupa jam tangan mewah, tas wanita, serta sepeda yang nilainya kurang lebih Rp750 juta.

Edhy gara-gara kepergok ini telah minta mundur kepada Presiden Joko Widodo dari jabatannya. Karena Edhy adalah juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra,  dia telah minta mundur kepada Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang juga merupakan Menteri Pertahanan RI.

Adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, menegaskan bahwa kakaknya sangat kecewa terhadap ulah Edhy. Bahkan, Hashim mengatakan bahwa Prabowo sangat marah kepada Edhy yang telah dibawanya dari “selokan“. Namun, sayang Hashim yang juga pengusaha tidak menguraikan apa yang dimaksud dengan “selokan “ itu.

Kabar terakhir tentang lembaga antirasuah ini adalah KPK telah “menjemput paksa “ mantan Direktur Teknik PT Garuda Indonesia (Persero) Hadinoto yang juga diduga terlibat kasus pembelian sejumlah pesawat udara oleh BUMN ini bersama mantan Direktur Utama PT Garuda Emirsyah Satar. Hadinoto telah ditahan terkait dengan dugaan terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Baca juga: KPK perlu klarifikasi Danny Pomanto soal tudingan JK otak OTT Edhy

Kenapa Masih Korupsi?

Rakyat berhak sedih atas penangkapan dua bupati, satu menteri serta satu mantan direktur BUMN. Akan tetapi, masyarakat juga berhak gembira karena ternyata KPK sekarang tidak sejelek atau seburuk yang dibayangkan sejumlah pakar atau ahli.

Akan tetapi, yang pantas direnungkan seluruh rakyat Indonesia adalah kenapa sampai sekarang masih saja ada pejabat yang tega “berkorupsi ria" sehingga uang rakyat tetap saja “dimakan“.

Kalau aparatur sipil negara (ASN) kelas bawah berkorupsi dengan alasan gajinya sangat kecil, apa alasan bupati, menteri, dan direksi BUMN berkorupsi?

Jadi, pemerintah pun harus terus membersihkan diri agar semua pencoleng itu tersingkir.

Bupati Wenny, misalnya, mencari uang demi kemenangan pada pilkada. Seharusnya pejabat sekelas Wenny menabung jika ingin memenangi pilkada. Yang menjadi masalah adalah biaya pilkada sama sekali tidak murah. Seorang anggota DPR RI pernah mengungkapkan untuk menang memerlukan dana Rp30 miliar hingga Rp40 miliar.

Ketika masih menjadi Kkapolri, Tito Karnavian menyebutkan memang dibutuhkan dana milaran rupiah untuk menjadi bupati, wali kota, hingga gubernur.

Baca juga: Mensos konfirmasi OTT KPK terhadap pejabat eselon III Kemensos

Sementara itu, jika mengkaji dugaan korupsi Bupati Cimahi Ajay dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy, bagaimana jutaan orang Indonesia harus berkomentar?

Juru Bicara KPK Ali Fikri mengungkapkan bahwa di rumah Edhy ditemukan uang tidak kurang dari Rp4 miliar dan delapan sepeda. Masih kurangkah kayakah Edhy walau baru setahun menjadi pejabat negara?

Berbagai contoh di atas menunjukkan bahwa makin tinggi jabatan seseorang maka hampir bisa diduga makin besar godaan untuk korupsi. Sebut saja contoh mantan Ketua DPR RI Setya Novanto yang terlibat korupsi pembuatan KTP elektronik, kemudian mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.

Jadi, semua orang Indonesia yang berminat atau bahkan berambisi menjadi pejabat harus benar-benar menyadari pepatah "kekuasaan cenderung berkorupsi; kekuasaan yang mutlak akan berkorupsi makin besar pula'.

Karena pada tanggal 9 Desember akan berlangsung pemilihan kepala daerah (pilkada ) di 270 daerah yang terdiri atas sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, bersiaplah para pemimpin. Janganlah sekali-sekali melakukan tindak pidana korupsi yang pada akhirnya cuma menjadi incaran Komisi Pemberantasan Korupsi.

Baca juga: Sudah 16.699 karyawan di Jakarta Pusat jadi korban PHK akibat COVID-19

Sebagian besar dari tidak kurang dari penduduk Indonesia masih hidup dalam kesusahan. Tiap hari, di semua kota masih ada orang harus terpaksa mengais-ngais tempat sampah untuk mencari sesuatu yang mungkin masih bisa dimakan.

Belum lagi, gara-gara virus corona, jutaan orang terpaksa harus kehilangan pekerjaan sehingga tidak bisa makan untuk sekeluarga.

Jadi, haruskah bupati, wali kota, dan gubernur melakukan tindak pidana korupsi? Memang ada prinsip asas praduga tak bersalah, yaitu orang tak boleh dianggap bersalah sampai adanya keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Tentu orang atau pejabat tidak perlu diseret ke pengadilan gara-gara dicurigai korupsi.

Jadi, pemenang pilkada, jauhilah tindak pidana korupsi.

*) Arnaz Firman, wartawan Antara pada tahun 19822018; meliput acara kepresidenan sejak 1987 hingga 2009

Copyright © ANTARA 2020