Jakarta (ANTARA) - Sembilan bulan setelah pandemi COVID-19 diumumkan mulai masuk ke Indonesia pada sekitar awal Maret 2020, jumlah kasus dari penyakit yang ditularkan oleh virus SARS-CoV-2 itu telah mencapai 569.707 dengan angka penambahan kasus yang terus meningkat mulai dari sekitar 100 kasus, 500, 1.000, 2.000, 3.000, 4.000, 5.000 hingga mencapai 6.000 kasus per hari pada Sabtu (5/12).

Meski angka kesembuhan kumulatif juga terus meningkat hingga total 470.449 orang, namun angka kematian yang rata-rata sudah di atas 100 orang per hari juga perlu menjadi catatan merah yang membutuhkan intervensi penanganan lebih serius dari banyak pihak guna mengendalikan dan bahkan menghentikannya.

Sembilan bulan setelah virus itu masuk ke Indonesia dan mulai mempengaruhi kesehatan masyarakat hingga menyebabkan perekonomian terpuruk. Pemerintah tampaknya belum dapat mengendalikan laju penyebaran dengan baik, sementara masyarakat juga malah tampak enggan untuk belajar dari pengalaman.

Menurut laporan Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan COVID-19, Sonny Harry B Harmadi, mayoritas dari 3,5 juta orang di sekitar 21 provinsi yang telah diedukasi tentang perlunya menerapkan protokol 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak serta menghindari kerumunan sebagai cara pencegahan COVID-19, sekitar 68 persen di antaranya menyatakan mau diedukasi, tetapi hanya 32 persen di antaranya yang benar-benar mau diedukasi dan bersedia menerapkan protokol 3M sebagai satu-satunya cara mencegah penularan COVID-19.

Dan dari 3,5 juta orang tersebut, ternyata masih ada 25 ribu orang lainnya yang menolak untuk diedukasi dan menolak informasi yang disampaikan.

"Jadi masih ada 25 ribu orang yang menolak. Itu jumlah yang menurut kami masih banyak," kata dia dalam sebuah acara konferensi pers di Jakarta.

Sebagian masyarakat bersedia menerapkan protokol 3M, tetapi sebagian lain bahkan masih ada yang beranggapan bahwa pandemi COVID-19 hanyalah rekayasa belaka.

Alih-alih bersatu padu dan bahu membahu mendukung upaya penanganan yang dilakukan pemerintah, sebagian masyarakat ini tampaknya tetap enggan mengikuti arahan. Sedangkan sebagian lainnya bahkan mulai lelah dengan semua dampak yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19.

Baca juga: Penularan COVID-19 di Sulut lebihi angka 7.000 kasus

Baca juga: Potensi penularan COVID-19 di Kotim paling tinggi se-Kalteng


Generasi penularan

Belajar dari awal penyebaran virus SARS-CoV-2 di Indonesia, Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan COVID-19 dr. Dewi Nur Aisyah mengatakan bahwa dari banyak kejadian, semua penyebaran kasus berawal dari adanya aktivitas sosial, terutama aktivitas sosial yang mengumpulkan banyak orang dalam satu waktu dan dalam satu ruangan.

Aktivitas sosial tersebut menimbulkan kerumunan sehingga menyulitkan banyak orang untuk menjaga jarak, terutama ketika penyakit yang mulanya disebut pneumonia Wuhan, China, itu belum terdengar jelas gaungnya di Indonesia, sehingga banyak orang belum menerapkan bahkan mungkin belum mengetahui dan memahami pentingnya protokol 3M.

Di dalam perkumpulan banyak massa itu, orang-orang melakukan interaksi yang secara tidak disadari dapat menyebabkan virus SARS-CoV-2 menular dari satu orang kepada orang lainnya, seperti berjabat tangan, berpelukan hingga berbincang-bincang dalam jarak dekat tanpa memakai masker.

Tanpa disadari orang-orang yang berinteraksi dalam satu perkumpulan itu mungkin telah tertular COVID-19. Tetapi kemudian mereka kembali ke rumah dan berkumpul dengan anggota keluarga di rumah, sehingga anggota keluarga tersebut secara tidak sadar telah menjadi generasi pertama penularan COVID-19.

Dari generasi pertama itu, virus SARS-COV-2 terus disebarkan dari satu orang ke orang lain sehingga muncul generasi kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.

Wabah COVID-19 terus menyebar. Untuk itulah, penyelidikan epidemiologi atau penelusuran kontak dinilai sangat penting dilakukan untuk melihat pola penyebaran kasus dari kluster-kluster baru yang muncul.

Dengan mengetahui kluster penyebaran itu, petugas dapat menjaring orang-orang yang diduga memiliki kontak erat dengan penderita dan menindaklanjutinya dengan isolasi sehingga penyebaran COVID-19 dapat dikendalikan.

Baca juga: Ada vaksin, Erick ajak generasi muda tetap lakukan protokol COVID

Baca juga: Generasi Z terdampak paling besar kehilangan pekerjaan akibat PSBB
Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan COVID-19 dr. Dewi Nur Aisyah berbicara dalam sebuah konferensi pers, Jakarta, Rabu (25/11/2020). (ANTARA/Katriana)


Kluster penyebaran

Penyebaran COVID-19 dari perkumpulan massa dalam sebuah aktivitas sosial tidak hanya sebuah dugaan. Tetapi Satgas Penanganan COVID-19 membuktikannya dengan sejumlah temuan kasus yang diperoleh dari penelusuran terhadap beberapa kegiatan keagamaan yang dilakukan pada beberapa bulan pertama virus corona diduga masuk ke Indonesia.

Salah satunya adalah kegiatan keagamaan Majelis Sinode Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) pada akhir Februari 2020 di Bogor yang dihadiri oleh sekitar 685 peserta.

Acara tersebut digelar di tengah ketidaktahuan banyak orang tentang kemungkinan telah masuknya virus COVID-19 ke Indonesia.

Setelah dilakukan penelusuran, Satgas COVID-19 menemukan total 24 kasus di lima provinsi setelah melakukan penelusuran hingga generasi ketiga dari orang-orang yang kembali dari acara GPIB di Bogor.

Dari total 24 kasus itu, 60 persen di antaranya justru merupakan kerabat dekat yang tidak mengikuti acara, tetapi kemudian mereka tertular dari anggota keluarga yang mengikuti acara keagamaan tersebut.

Selanjutnya, ada juga penemuan 24 kasus dari acara seminar bisnis tanpa riba pada akhir Februari di Bogor yang dihadiri oleh sekitar 200 peserta.

Setelah melakukan penelusuran kontak hingga generasi ketiga dari orang-orang yang kembali dari acara itu, Satgas COVID-19 menemukan beberapa pasien positif di daerah lain seperti di Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), Lampung, Yogyakarta, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur (Kaltim) hingga Papua.

Jika pada kluster penularan di acara GPIB tidak ada kasus meninggal, maka pada penelusuran kasus dari kluster seminar Satgas COVID-19 menemukan tiga kasus kematian dari 24 orang yang terinfeksi, atau dengan tingkat kasus kematian sebesar 12,5 persen.

Dari 24 orang yang teridentifikasi terinfeksi COVID-19 tersebut, 40 persen di antaranya adalah anggota keluarga atau kerabat dekat dari orang-orang yang kembali dari acara seminar bisnis tanpa riba di Bogor.

Berikutnya, aktivitas sosial yang menyebabkan tingkat infektivitas COVID-19 cukup tinggi juga ditemukan dari sebuah pertemuan di Lembang pada awal Maret yang dihadiri oleh sekitar 637 peserta.

Setelah melakukan penelusuran kontak dari total 637 peserta yang mengikuti acara itu, Satgas COVID-19 menemukan 226 kasus dari kluster baru tersebut.

Satgas COVID-19 mengidentifikasi bahwa penularan terjadi ketika ada kegiatan berjabat tangan antara para peserta dengan salah satu pendeta.

Adapun dari penelusuran kasus terhadap kegiatan keagamaan yang tidak jadi digelar di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tetapi sudah dihadiri oleh sekitar 8.761 peserta pada awal Maret, Satgas COVID-19 juga menemukan hingga total 1.248 kasus di 20 provinsi di Indonesia. Penyebaran kasus dari kluster tersebut bahkan terjadi hingga ke luar negara.

Baca juga: 12.000 pekerja pabrik di Bekasi segera tes usap COVID-19 massal

Baca juga: Wali Kota sebut ada klaster pilkada penyebaran COVID-19 di Tarakan


Antisipasi kluster baru

Belajar dari banyak kejadian yang akhirnya memunculkan kluster-kluster penularan COVID-19 di Indonesia, masyarakat Indonesia semestinya menyadari bahwa kegiatan apapun yang melibatkan banyak orang di suatu tempat dan waktu tertentu di masa pandemi ini berpotensi menciptakan kluster baru penularan penyakit berbahaya itu.

Untuk itulah pemerintah melakukan berbagai upaya antisipasi untuk terus mencoba mengendalikan penyebaran COVID-19 yang sampai saat ini masih terus terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Belajar dari lonjakan kasus yang biasanya terjadi setelah ada hari libur nasional, pemerintah meyakini bahwa hari libur tersebut kerap kali mendorong orang-orang untuk bepergian ke tempat-tempat rekreasi untuk melepas penat atau bertemu sanak saudara untuk bersilaturahmi.

Aktivitas-aktivitas tersebut kerap menimbulkan kerumunan di beberapa tempat, sehingga penyebaran penyakit COVID-19 juga menjadi tak terelakkan.

Untuk itulah, menjelang libur akhir tahun nanti, pemerintah menetapkan untuk memangkas hari cuti bersama yang menyambungkan hari libur Natal dengan hari libur Tahun Baru 2021.

Pemerintah menetapkan untuk memangkas hari cuti bersama pada 28, 29 dan 30 Desember 2020, dan hanya menyisakan hari libur pada 24 dan 25 Desember untuk perayaan Natal, sedangkan hari libur pada 31 dan 1 Januari 2021 untuk perayaan Tahun Baru 2021.

Langkah tersebut diambil berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama Nomor 744/2020, Menteri Ketenagakerjaan Nomor 05/2020 dan Menteri PANRB Nomor 06/2020.

Keputusan pemangkasan cuti bersama itu juga ditempuh sesuai dengan pesan dan arahan dari Presiden Joko Widodo untuk mengupayakan segala cara guna mencegah terjadinya kerumunan.

Keputusan itu, menurut pakar kesehatan Prof. Hasbullah Thabrany akan sangat efektif untuk mengurangi potensi lonjakan kasus COVID-19.

"Tentunya akan sangat bagus dan efektif untuk mengurangi jumlah kasus. Paling tidak, tidak akan setinggi yang kalau tidak dikurangi," kata dia.

Menurutnya, cuti bersama akan memberikan peluang bagi orang-orang untuk bepergian, berekreasi dan berkumpul. Oleh karena itu, cuti bersama di tengah pandemi sudah seharusnya ditiadakan karena dapat meningkatkan potensi penularan.

Cuti bersama yang bisa mendorong masyarakat untuk bepergian dan berekreasi memang baik dampaknya terhadap perekonomian. Tetapi potensi kerumunan yang dapat ditimbulkan bisa berdampak buruk terhadap kesehatan hingga membahayakan nyawa.

Oleh karena itu, ia mengingatkan kepada semua pihak, terutama masyarakat, untuk tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi atau golongan saja tanpa memikirkan kemungkinan dampak yang dapat ditimbulkan.

Penanganan pandemi COVID-19 memang sejatinya membutuhkan keterlibatan banyak pihak, tidak terkecuali partisipasi seluruh elemen masyarakat.

Untuk itu, dengan terus berupaya menahan diri dari aktivitas di luar rumah dan tetap disiplin menerapkan protokol 3M, masyarakat pada dasarnya sudah sangat membantu pemerintah dalam upaya penanggulangan wabah COVID-19.

Dengan dukungan dari semua pihak itu, pandemi COVID-19 harapannya dapat segera diakhiri, sehingga segala sesuatunya dapat berjalan seperti sedia kala.*

Baca juga: KPU Gresik tidak ingin Pilkada jadi klaster penyebaran COVID-19

Baca juga: Pemprov Jatim minta kepala daerah waspadai klaster penyebaran COVID-19

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020