"biaya" (fee) hanya sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket bansos
Jakarta (ANTARA) - Hari-hari pada kurun waktu 27-29 Juni 2020, sejumlah media memberitakan sekitar tiga kuintal atau 300 kilogram telur membusuk di Balai Rakyat, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat.

Telur busuk itu kemudian dimusnahkan oleh petugas dengan cara dikubur agar bau yang mulai mengganggu lingkungan hilang. Pemusnahan dilakukan pada 27 Juni oleh petugas dari Kantor Pos.

Sebagai orang yang berpengalaman menelusuri dan menemukan alamat untuk mengantarkan barang kiriman baik surat maupun paket, saat itu petugas pos tidak berhasil menemukan alamat yang dituju.

Padahal yang tidak bisa diantarkan itu jumlahnya banyak sekali, sekitar 4.000. Barang harus segera sampai tetapi alamat tidak ketemu juga.

Akhirnya barang kiriman yang disimpan di gudang Kantor Pos dan di Balai Rakyat itu akhirnya busuk. Padahal petugas pos itu dikenal masyarakat sebagai orang yang tahu detil-detil sebuah wilayah.

Jangankan jalan besar, gang dan jalan buntu pun mereka tahu karena tugasnya sehari-hari menelusuri alamat. Tapi justru saat itu gagal mengantarkan sekitar 4.000 paket, walaupun puluhan ribu paket lainnya sudah diantarkan.

Paket berisi sembako itu harus sesegera mungkin diantarkan sampai alamat karena berisi barang yang memiliki masa pakai tidak lama. Kalau telat, barang kedaluwarsa dan akhirnya busuk.
Warga menurunkan paket bantuan sembako Presiden saat didistribusikan di kawasan permukiman Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (14/10/2020). Pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp203,9 triliun untuk perlindungan sosial, klaster perlindungan sosial, yang direalisasikan melalui berbagai program dengan tujuan meringankan beban ekonomi masyarakat akibat pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Jurang kesulitan
Paket itu adalah bantuan Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Sosial (Kemensos) bagi warga terkena dampak wabah virus corona (COVID-19). Ini sebagai wujud perhatian pemerintah bagi warga agar tidak terjerembab pada jurang kesulitan yang semakin dalam.

Pemerintah ingin hadir di masyarakat dalam situasi apapun, terutama saat warga sedang susah akibat wabah dengan memberi bantuan sosial (bansos) berupa sembako. Namun kadang tidak mudah mewujudkan niat mulia pemerintah itu.

Baca juga: Presiden tak akan lindungi pejabat terlibat korupsi

Birokrasi yang berbelit dan koordinasi antarpihak terkait sering menjadi kendala. Kendala besar lainnya adalah mentalitas dan moralitas orang-orang pada jalur kebijakan yang ingin diimplementasikan.

Pada kondisi itulah niat mulia Pak Jokowi untuk bersama rakyat yang sedang susah tidak mudah diwujudkan. Persoalan data warga yang berhak menerima bantuan merupakan persoalan lama yang tak pernah tuntas.

Tidak pernah tuntas karena sengaja agar tidak tuntas atau tidak pernah dituntaskan supaya ada yang bisa diutak-atik?

Data bansos ini sejak dulu memang kadang tidak jelas dan sering menggelincirkan pejabat di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah memproses seorang menteri sosial karena kasus bansos berupa sapi dan sarung.

Pada bansos untuk warga terkena dampak COVID-19 ini juga terjadi prahara. Entah kata-kata apalagi yang pantas diungkapkan ketika bansos kemanusiaan bagi warga terkena dampak virus corona pun jadi "bancaan?".

Karena itu, publik tentu geram terhadap pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) yang menyelewengkan bantuan kemanusiaan untuk warga terkena dampak COVID-19. Mereka pun harus berurusan dengan KPK, setelah ditangkap pada Jumat (4/12) sekitar pukul 23.00 WIB sampai Sabtu (5/12) sekitar pukul 02.00 WIB.

Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilakukan terhadap beberapa pejabat di lingkungan Kemensos terkait dugaan korupsi bansos penanganan pandemi COVID-19 di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
 
Menteri Sosial Juliari P Batubara tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Minggu (6/12/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.

Serahkan diri
Menteri Sosial Juliari Peter Batubara pada Sabtu siang (5/12)  mengonfirmasi penangkapan terhadap pejabat Eselon III Kemensos oleh KPK. Saat itu Juliari sedang berada di luar kota.

Namun dia mengikuti proses hukum yang dijalani anak buahnya di KPK. Prinsipnya, dia menghormati dan mendukung proses yang sedang berlangsung di KPK.

Baca juga: Pakar hukum minta pelaku korupsi bansos dijerat hukuman mati

Pada Ahad dinihari, Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan perihal penangkapan terhadap sejumlah pejabat Kemensos. KPK kemudian menahan tiga tersangka kasus korupsi bansos yang sebelumnya terkena OTT.

Tiga tersangka, yakni Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos Matheus Joko Santoso (MJS) serta dari pihak swasta Ardian I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS).

Setelah menjelaskan konstruksi kasus itu, Ketua KPK minta Juliari Peter Batubara (JPB) dan PPK di Kemensos bernama Adi Wahyono (AW) segera menyerahkan diri.

Juliari pun menyerahkan diri dan tiba di gedung KPK pada Ahad sekitar pukul 02.45 WIB. Juliari mengenakan jaket hitam, celana cokelat, topi hitam dan masker masuk ke gedung KPK didampingi oleh sejumlah petugas KPK.

Saat awak media mencoba untuk meminta pernyataannya, Juliari hanya melambaikan tangan dan melanjutkan langkah menaiki tangga gedung KPK.

Jabodetabek
KPK menetapkan Juliari sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya di Kementerian Sosial RI terkait bansos untuk warga di wilayah Jabodetabek 2020.

Juliari diduga menerima suap senilai sekitar Rp17 miliar dari rekanan pengadaan bansos COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek.

Baca juga: Pakar Hukum dukung wacana koruptor bansos COVID-19 dihukum mati

Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga ada "biaya" (fee) Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui AW dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar.

Uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan orang kepercayaan Juliari bernama Shelvy untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.

Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang "biaya" dari Oktober 2020 sampai Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.

Perkara tersebut diawali adanya pengadaan bansos penanganan COVID-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020. Nilai proyeknya sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak pengadaan dan dilaksanakan dengan dua periode.

Juliari selaku Menteri Sosial menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai PPK dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan.

Diduga disepakati adanya "biaya" dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada pejabat di Kementerian Sosial melalui MJS.

Untuk "biaya" tiap paket bansos disepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket bansos.

Selanjutnya, Matheus dan Adi pada Mei sampai November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa pemasok (suplier) sebagai rekanan, di antaranya Ardian IM, Harry Sidabuke dan PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.

Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW.
 
Penyidik KPK menunjukan barang bukti uang tunai saat konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) tindak pidana korupsi pada program bantuan sosial di Kementerian Sosial untuk penanganan COVID-19 di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020) . ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.

Pasal korupsi
Dari OTT pada Sabtu (5/12) di beberapa tempat di Jakarta, petugas KPK mengamankan uang dengan jumlah sekitar Rp14,5 miliar. Uang itu dalam berbagai pecahan mata uang, yaitu sekitar Rp11, 9 miliar, sekitar 171,085 dolar AS (setara Rp2,420 miliar) dan sekitar 23.000 dolar Singapura (setara Rp243 juta).

Tersangka penerima Matheus dan Adi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Baca juga: Menangguk untung dari bansos COVID-19

Kepada Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sementara kepada tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pengungkapan kasus ini tampaknya akan membuka gambaran secara lengkap konstruksi masalah dan karut-marutnya paket kemanusiaan bernilai empati bernama bansos.

Dengan harapan agar bansos yang selalu menimbulkan persoalan dan sering menggelincirkan pejabat dapat tuntaskan, baik data, mekanisme pengadaan hingga distribusinya.

Kalau masalah kronis terkait bansos bisa dituntaskan, maka 300 kilogram telur tidak akan busuk di balai rakyat.

Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020