Jakarta (ANTARA) - Pencoblosan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 tinggal menghitung hari. Sebanyak 22 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, 570 pasangan bupati dan calon bupati, serta 95 pasangan wali kota dan wakil walikota akan bertarung di sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di Indonesia.

Sebanyak 100.359.152 orang terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT), sebagaimana ketetapan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Para pemilih tersebut tentu harus semakin cermat dalam menentukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan dicoblos.

Jangan sampai kandidat yang dipilih justru tidak berintegritas dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Sudah banyak pemberitaan di media nasional mengenai kepala daerah yang tersangkut kasus hukum, utamanya korupsi.

Terbaru, kasus dugaan rasuah yang menjerat Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo. Pria yang mulai menjabat sebagai Bupati Banggai Laut pada 17 Februari 2016 itu dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (3/12), terkait kasus suap pengadaan barang atau jasa di lingkungan Pemkab Banggai Laut Tahun Anggaran 2020

Berdasarkan data KPK, terhitung sejak 2004 hingga Mei 2020 sebanyak 21 gubernur dan 122 bupati/wali kota dan wakil terjerat kasus korupsi yang ditangani KPK. Kasus tersebut tersebar di 27 provinsi di Tanah Air.

Data tersebut tentu memiriskan hati. Namun, keniscayaan untuk memperoleh pemimpin yang berintegritas melalui kontestasi pilkada
tak tertutup sama sekali. Asa tersebut harus tetap hidup, setidaknya dalam gelaran pesta demokrasi pada 9 Desember 2020 mendatang.

Baca juga: KPK indikasikan suap Bupati Banggai Laut untuk kepentingan pilkada

Dimulai dari pilkada
Harapan memperoleh pemimpin berintegritas bisa dimulai dari proses pilkada. Praktik-praktik "haram" seperti politik uang maupun kampanye negatif yang hampir selalu mewarnai di setiap gelaran pilkada harus dihilangkan. Jika tidak, hal tersebut dapat menjadi bibit-bibit pemerintahan yang korup.

Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, Kementerian Dalam Negeri Andi Bataralifu tidak memungkiri mahalnya ongkos pilkada menjadi salah satu hal yang memicu kepala daerah terpilih melakukan tindakan-tindakan melawan hukum, termasuk korupsi.

Mereka membuat kebijakan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri guna mengganti pengeluaran pada pilkada yang diikuti sebelumnya. Akibatnya, urusan perizinan, mutasi jabatan, hingga penyusunan anggaran sering menjadi bancakan.

"Ongkos pilkada yang cukup mahal itu bisa menimbulkan maraknya politik uang yang berimplikasi pada kasus hukum. Rentang waktu 2005 sampai dengan 2020, sebanyak 457 kepala daerah dan wakil kepala daerah terkena kasus hukum dan kasus korupsi adalah yang terbanyak,” ujar Andi dalam webinar Pembekalan Pilkada Berintegritas 2020, beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu, penting untuk menjaga proses pilkada tetap bersih dengan harapan dapat melahirkan pemerintahan yang bermoral.

“Harapannya pilkada semakin baik dan pilkada bisa menghadirkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bermoral, berintegritas, kompeten, dan membawa daerah pada tujuan yang dicita-citakan,” kata dia.

Menurut Andi, terlalu besar harga yang harus dibayar akibat pilkada tidak berintegritas. Bukan sekadar tercipta pemerintahan yang tidak profesional, melainkan juga menimbulkan delegitimasi terhadap pemerintahan itu sendiri. Ujungnya, bisa memicu ketidakstabilan politik.

Baca juga: Kemendagri: Pilkada langsung mahal, pembangunan daerah tidak optimal

Pagar yang disiapkan KPU
Sebagai penyelenggara, sudah sepatutnya KPU RI menyiapkan sejumlah regulasi yang dapat mewujudkan pemimpin berintegritas. Komisioner KPU Ilham Saputra dalam webinar tersebut menjelaskan, sudah ada seperangkat aturan yang dibuat dan dijalankan dalam menyelenggarakan pilkada di Indonesia.

Contohnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pada Pasal 7 ayat 2 huruf g hingga k, terdapat persyaratan yang harus dipatuhi calon kepala daerah.

Mereka tidak boleh berstatus terpidana dan tidak sedang dicabut hak pilihnya. Jika berstatus mantan terpidana, ia harus mengumumkannya kepada publik.

“Kemudian tidak pernah melakukan perbuatan tercela, menyerahkan daftar kekayaan pribadi, tidak sedang memiliki tanggungan utang yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara, tidak sedang dinyatakan pailit, memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan laporan pajak pribadi,” kata Ilham.

Hal ini berfungsi sebagai filter awal yang dilakukan KPU untuk mewujudkan pemimpin yang berintegritas. Upaya ini diperkuat dengan membuat kewajiban bagi calon kepala daerah untuk menandatangani pakta integritas.

“KPU mendorong peserta pilkada berintegritas, tidak melakukan politik uang, berkampanye yang baik, menaati peraturan perundang-undangan yang ada. Kita juga mendorong keterbukaan peserta pilkada terhadap aliran dana kampanye,” kata dia.

Namun, dia menekankan bahwa masyarakat juga harus berperan. Semua upaya yang dilakukan KPU, harus didukung oleh pemilih rasional. Masyarakat diminta menjadi pemilih rasional, bukan transaksional, agar bisa menentukan pemimpin terbaiknya.

Menjadi pemilih cerdas
Pada akhirnya, rasionalitas pemilih memiliki peranan yang sangat penting dalam mewujudkan pemimpin berintegritas. Para pemilih diharapkan mampu memilih calon kepala daerah secara cerdas dan rasional.

Pemilih harus mampu melihat mana calon kepala daerah yang dapat dipercaya dan memiliki visi dan misi yang baik, terutama komitmen terhadap pemberantasan dan pencegahan korupsi.

Hal yang tak kalah pentingnya, para pemilih juga harus berani dan tegas menolak segala bentuk tawaran materi maupun janji yang diberikan oleh pasangan calon kepala daerah dalam rangka "membeli" suara mereka.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyatakan terdapat sembilan kriteria calon kepala daerah berintegritas. Pertama, tidak pernah terlibat dalam tindak pidana korupsi, tidak melakukan politik uang, dan memiliki rekam jejak baik mendukung antikorupsi.

Selanjutnya, calon kepada daerah tersebut patuh melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan menolak grafikasi, mempunyai visi, misi program yang mencerminkan semangat antikorupsi, peduli kepada pemilih, merakyat, dan berpihak kepada keadilan.

Calon kepala daerah itu juga menghindari konflik kepentingan seperti kolusi dan nepotisme, bergaya hidup sederhana, melayani, telah selesai dengan dirinya, serta berani dan bertanggung jawab dalam setiap keputusan demi tegaknya integritas.

"Mudah-mudahan ini menjadi catatan bagi seluruh masyarakat ketika dia berada di bilik suara," kata Lili dalam webinar.

Sembilan kriteria tersebut bisa menjadi acuan bagi para pemilih untuk menentukan pilihan sebelum mencoblos. Tentu akan sulit menemukan calon kepala daerah yang memiliki kriteria demikian, tetapi bukan juga menjadi hal yang mustahil.

Kecerdasan dan rasionalitas pemilih dalam menentukan calon kepala daerah yang akan dicoblos pada Pilkada Serentak 2020 akan menjadi penentu utama lahir atau tidaknya pemimpin berintegritas.

Baca juga: KPU gandeng MUI dorong masyarakat jadi pemilih cerdas di Pilkada 2020

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020