risikonya sangat besar jika tertular COVID-19
Jakarta (ANTARA) - Pasien konfirmasi positif COVID-19 dengan komorbid atau penyakit bawaan menjadi kelompok yang rentan, bahkan komorbid menjadi penyebab terbanyak kematian pasien COVID-19 di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.

"Memang komorbid diabetes merupakan faktor risiko yang dominan untuk berbagai penyakit, apalagi saat pandemi COVID-19 ini, risikonya sangat besar jika tertular COVID-19," kata seorang ahli kesehatan dr Andreas Harry, Sp.S (K).

Salah satu ahli penyakit saraf Indonesia itu, selama aktif terlibat bersama sukarelawan dalam penggalangan bantuan untuk perbaikan gizi bagi tenaga kesehatan, di antaranya yang bertugas di Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 di Wisma Atlet, Jakarta.

"Saat ini masih pandemi, masih wabah, semua wilayah, semua orang harus sangat waspada di manapun, dan terbukti protokol kesehatan sangat melindungi dari tertular COVID-19," tambahnya.

Menurut neurolog yang menyelesaikan pendidikan ahli saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan
anggota International Society to Advance Alzheimer Research and Treatment (ISTART) itu dunia kaget dengan munculnya COVID-19 dengan daya tular yang masif ini.

"Dan bisa fatal, terbukti banyak dokter dan tenaga kesehatan juga meninggal".

Di lain pihak, ternyata efektif dicegah dengan protokol 3M, yakni memakai masker, menjaga jarak aman, dan mencuci tangan," kata Andreas Harry.

Dengan rujukan tersebut, khususnya mesti disiplin dalam 3m, bagi komorbid, di masa pandemi ini risiko penularan bisa diminimalisasi.

Presiden Joko Widodo saat meninjau simulasi vaksinasi COVID-19 di Puskesmas Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/11) 2020, didampingi Menkes Terawan Agus Putranto berkesempatan melihat bagaimana protokol kesehatan dilakukan.

Saat itu, Presiden melihat para peserta yang berasal dari berbagai kalangan seperti pedagang, ibu rumah tangga, pegawai pemerintah kota hingga pengemudi ojek daring duduk di kursi dengan menjaga jarak dan menunggu nomor antrean.

Lalu, peserta mendatangi beberapa meja untuk dicek identitas dan kondisi kesehatan apakah memiliki komorbid atau tidak.

Kondisi komorbid itu menjadi urgen sehingga memudahkan penanganan bagi calon peserta yang nantinya akan mendapat vaksinasi.

Baca juga: Orang dengan komorbid harus tingkatkan 3W cegah tertular COVID-19

Baca juga: Pasien dengan komorbid penyebab terbanyak kematian COVID-19

 
Ilustrasi pengukuran tekanan darah. (ANTARA/HO)


Penyebab terbanyak

Komorbid, yang maknanya adalah penyakit bawaan atau penyakit penyerta, disebut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) jadi penyebab terbanyak kematian pasien COVID-19.

Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes dalam laporan publikasi pada Rabu (21/10) 2020 menyatakan pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dengan komorbid bawaan menjadi kelompok yang rentan.

"Bahkan komorbid menjadi penyebab terbanyak kematian pasien COVID-19 di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan," sebut laporan itu.

Laporan itu mengutip keterangan Kepala Dinkes Jatim dr Herlin Ferliana, M.Kes yang menyatakan berdasarkan analisa di Provinsi Jatim sebanyak 95 persen pasien positif COVID-19 meninggal karena komorbid, dan jenis penyakit bawaan itu di antaranya penyakit paru-paru dan jantung.

Ia memberi contoh "agent" dalam kasus ini adalah virus SARS-CoV-2. Pasien positif COVID-19 yang diakibatkan oleh virus dapat dilakukan tata laksana isolasi mandiri. Menurut dia hampir 100 persen pasien sembuh.

Sedangkan faktor lain berupa "host" atau penderita COVID-19 yang sudah lansia dengan komorbid. Ini sangat mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap kematian.

Karena itu di Jateng dilakukan skrining kelompok rentan seperti ibu hamil, dan lansia dengan komorbid di mana mereka yang menjadi prioritas tes.
 
Pelajar penemu beras ramah "diabetes" Alfi Fatimatuz Zahro(kiri), Indra Faizatun Nisa (tengah) dan Novilla Dwi Candra (kanan) menunjukkan beras hasil temuannya di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) 1, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (11/2/2020). Inovasi yang diberi nama "ARASS" (Agroforestry Analogue Rice Combined with Seagrass Seeds) atau Beras Analog Kaya Antioksidan dan Rendah Glukosa sebagai Inovasi Beras Sehat itu meraih medali perunggu pada ajang International Intellectual Property, Innovation and Technology Exposition (IPITEx 2020) di Bangkok, Thailand. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/hp.


Baca juga: Satgas: 80-85 persen kematian akibat COVID-19 pada lansia dan komorbid

Baca juga: Satgas: Penanganan sedini mungkin bagi pasien COVID-19 dengan komorbid


Diabetes dan hipertensi

Pada diskusi virtual bertema "Arah Kebijakan Penanganan Pandemi COVID-19" di Jakarta, Rabu (16/9), Ketua Satgas Penanganan COVIDd-19 Doni Monardo mengemukakan bahwa pentakit diabetes mellitus (DM) komorbid yang paling banyak diidap oleh pasien Covid-19.

Ia menyebut pihaknya punya data cukup banyak selama enam bulan terakhir, yakni ada beberapa daerah yang diamati komorbidnya itu mencapai 92 persen dan peringkat pertama adalah DM atau dikenal umum sebagai penyakit kencing manis.

Jatim, disebut sebagai provinsi yang paling banyak mengidap komorbid diabetes.

Kemudian, komorbid kedua yang paling banyak diidap oleh pasien COVID-19 adalah hipertensi, disusul gangguan jantung, paru-paru, gangguan pernapasan, ginjal, asma dan kanker.

Namun, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyaktit Tidak Menular Kemenkes dr Cut Putri Arianie, MD, M.H.Kes, merujuk data yang dihimpun oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19 per tanggal 13 Oktober 2020, yakni dari total kasus yang terkonfirmasi positif COVID-19, sebanyak 1.488 pasien tercatat memiliki penyakit penyerta.

Persentase terbanyak adalah penyakit hipertensi sebesar 50,5 persen, kemudian diikuti DM 34,5 persen dan penyakit jantung 19,6 persen.
Sementara dari jumlah 1.488 kasus pasien yang meninggal diketahui 13,2 persen dengan hipertensi, 11,6 persen dengan DM serta 7,7 persen dengan penyakit jantung.

Menurut Cut Putri Arianie penyakit hipertensi merupakan penyakit katastropik yang tidak dapat disembuhkan melainkan dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko.

Apabila tidak dicegah dan dikendalikan akan menjadi bom waktu yang dapat menyebabkan terjadinya kasus hipertensi baru.

"Hipertensi sangat mungkin dicegah dengan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, terutama di masa pandemi ini kita harus berhati-hati dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat," katanya.

"Untuk itu pandemi COVID-19 ini bisa kita jadikan sebagai momentum untuk membudayakan gaya hidup sehat," tambahnya pada Temu Media Hari Hipertensi Sedunia Tahun 2020 yang digelar daring, Selasa (13/10).

Catatan dan data yang tersaji dari otoritas berwenang terkait COVID-19, khususnya berkenaan dengan komorbid, telah tersaji dengan jelas.

Karena itu, agaknya bagi masyarakat dengan komorbid, khususnya hipertensi dan DM, atau penyakit penyerta lainnya, harus benar-benar memerhatikan dengan saksama kondisinya, sehingga risiko tertular COVID-19 yang bisa lebih memperberat penyakit, dan risiko fatalnya adalah kematian, setidaknya bisa diminimalisasi.

Baca juga: Anggota DPR: BNPB dorong RS beri atensi khusus pada 'komorbiditas'

Baca juga: PB IDI: Kebanyakan kasus meninggal COVID-19 karena komorbid

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020