Jadi ekonomi akan tumbuh lebih resilient, dan di satu sisi menciptakan tenaga kerja hijau sehingga bisa mengatasi pengangguran
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah Indonesia dapat lebih serius menggarap program energi terbarukan yang dianggap membuka lapangan kerja baru, serta menekan jumlah pengangguran.

Berdasarkan riset dari The International Renewable Energy Agency (IRENA) pada 2017, setidaknya terdapat 10,3 juta pekerjaan di sektor ini atau naik 1,5 kali dibanding 2012. Pada 2019, lapangan kerja dari sektor energi terbarukan mencapai 11,5 juta.

Panel surya menjadi sektor energi terbarukan yang paling banyak membuka lapangan kerja,yakni sekitar 3,8 juta. Masih dari hasil riset IRENA, pada 2050 diprediksi ada potensi 100 bidang lapangan kerja baru yang bisa tercipta di sektor energi terbarukan.

"Jadi ekonomi akan tumbuh lebih resilient, dan di satu sisi menciptakan tenaga kerja hijau sehingga bisa mengatasi pengangguran," kata Fabby di Jakarta, Selasa.

Fabby memaparkan bahwa penambahan satu gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bisa menciptakan lapangan kerja sampai dengan 30.000 orang. Jika pembangunan PLTS semakin massif, industri lain seperti modul surya juga diyakini akan tumbuh.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran periode Agustus 2020 bertambah 2,67 juta orang. Dengan begitu, angkatan kerja di Indonesia yang belum bekerja menjadi sebesar 9,77 juta orang.

Pandemi COVID-19 juga menjadi salah satu penyebab tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mengalami kenaikan dari 5,23 persen menjadi 7,07 persen.

Karena energi terbarukan diyakini bisa menjadi salah satu strategi pemulihan ekonomi, pengembangannya perlu mendapat insentif dan stimulus.

Menurut Fabby, negara-negara seperti China, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Uni Eropa sudah membuktikan pengembangan ekonomi berbasis lingkungan bisa mengatasi krisis.

China, misalnya, memberikan insentif untuk pengembangan angkutan umum massal. Selain memangkas waktu perjalanan, konsumsi bahan bakar minyak bisa ditekan serendah mungkin. Padahal selama ini, China diketahui memang menjadi salah satu negara pengimpor bahan bakar minya terbesar.

"Kita lihat juga Uni Eropa memberikan stimulus berupa 'feed in tarif' untuk pengembangan solar. Saat ini sejumlah negara di UE cukup berhasil mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya," kata dia.

Oleh karena itu, Fabby menilai pemberian insentif pada sektor energi terbarukan sangat penting bagi kondisi di Indonesia saat ini. Apalagi, Indonesia menargetkan pada 2025 bisa mencapai 23 persen energi terbarukan, serta berkomitmen mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030.

Senada dengan itu, Koaksi Indonesia berpendapat bahwa transisi energi dari fosil ke terbarukan bisa menjadi solusi mengatasi krisis ekonomi.

Direktur Program Koaksi Indonesia Verena Puspawardani mengatakan pemanfaatan energi terbarukan yang masih terbatas perlu didorong lebih agresif dengan berbagai terobosan, seperti kebijakan, pendanaan, teknologi, dan sumber daya manusia.

"Energi terbarukan akan membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh kebutuhan esensial, seperti air bersih dan sanitasi, akses informasi dan pendidikan, peningkatan ekonomi lokal, literasi keuangan, hingga ketahanan pangan, dan mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih bersih," kata Verena.

Baca juga: Anggota DPR: RUU EBT harus mampu jawab keinginan investor

Baca juga: Ini upaya pemerintah dorong pengembangan EBT pada industri

Baca juga: Di depan regulator, Dirjen EBTKE paparkan strategi akselerasi pengembangan EBT

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020