Komoditas (nikel) ini dapat menjadi primadona dan pusat gravitasi pertumbuhan ekonomi dunia ke depanJakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menginginkan pemerintah jangan berhenti sampai tahap pembangunan smelter, tetapi betul-betul mengoptimalkan pengolahan nikel sebelum diekspor ke berbagai negara.
"Jika pengolahannya hanya sampai tahap proses smelter dan menghasilkan bahan baku setengah jadi, maka nilai tambah yang dihasilkan sedikit," kata Mulyanto dalam rilis di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Erick Thohir: Kebijakan hilirisasi minerba tepat, investor siap masuk
Untuk itu, ujar dia, pemerintah perlu memiliki peta jalan yang terarah terkait pengembangan pengolahan nikel di Tanah Air sehingga tidak diekspor dalam kondisi hanya setengah jadi.
Ia juga berpendapat bahwa ke depannya harus dikembangkan hilirisasi penuh yaitu industrialisasi yang memproduksi barang jadi dengan nilai tambah tinggi dari produk berbasis nikel, semacam baterai listrik dan mobil listrik.
"Kalau model seperti sekarang ini, sebagaimana disinyalir para pengamat ekonomi, secara jangka pendek pemerintah banyak ruginya," katanya.
Mulyanto memaparkan bahwa kerugian itu dapat timbul di antaranya dari pelarangan ekspor nikel mentah yang berarti penerimaan negara dari biaya ekspor hilang, keringanan pajak dan berbagai kemudahan lain bagi pengusaha smelter, serta ekspor barang setengah jadi dengan nilai tambah sedikit.
Terkait hal tersebut, Mulyanto mengingatkan peran penting lembaga riset dan inovasi, serta Kementerian ESDM untuk memikirkan beragam kreativitas pengolahan nikel.
Dengan demikian, lanjutnya, pengolahan nikel bukan sekedar hilirisasi setengah hati tapi penuh dengan menghasilkan barang jadi dengan nilai tambah tinggi dan efek berganda yang luas.
"Indonesia perlu fokus untuk mengelola komoditas tambang nikel dari hulu hingga hilir secara maksimal. Karena komoditas ini dapat menjadi primadona dan pusat gravitasi pertumbuhan ekonomi dunia ke depan," ujar Mulyanto.
Indonesia merupakan negara dengan cadangan bijih nikel terbesar di dunia dengan 32,7 persen cadangan nikel dunia ada di Tanah Air.
Setelah Indonesia, Australia berada di urutan kedua dengan memiliki 21,5 persen cadangan nikel dunia. Kemudian Brazil dengan cadangan bijih nikel 12,4 persen.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel dengan kadar 1,7 persen. Kebijakan ini mulai diberlakukan per Januari 2019.
Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai produsen nikel terbesar dunia. Pada tahun lalu, produksi nikel dunia mencapai 2,6 juta ton, sementara produksi nikel Indonesia mencapai sebesar 800 ribu ton. Sementara di posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Filipina dan Rusia dengan produksi masing-masing 420 ribu ton dan 270 ribu ton.
Baca juga: Kementerian ESDM: Hilirisasi nikel berdampak positif bagi perekonomian
Baca juga: MIND ID segera bentuk sub holding industri baterai
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020