ada protein yang terkait sapi yang fertil dan tidak fertil
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan teknologi Omics dukung peningkatan kualitas dan produksi peternakan khususnya sapi untuk mendukung swasembada daging nasional.

"Dengan penemuan perkembangan peralatan lab yang semakin canggih memungkinkan untuk mempelajari dari tahapan protein sampai metabolome," kata peneliti dari Pusat Bioteknologi LIPI Syahruddin Said dalam seminar virtual (webinar) Riset Bioteknologi untuk Peternakan Berkelanjutan, Jakarta, Selasa.

Omics mencakup berbagai disiplin ilmu dalam biologi yakni genomik (genomics), transkriptomika (transcriptomics), proteomik (transcriptomics), dan metabolomik (metabolomics).

Dengan memanfaatkan teknologi Omics, maka dapat menghasilkan bibit unggul sapi atau kerbau ternak, memahami perkembangan mulai dari pemilihan gen, pembentukan embrio hingga menghasilkan individu yang berkualitas dengan sasaran keunggulan individu yang diinginkan.

"Kita bisa mengidentifikasi bahwa ada protein yang terkait sapi yang fertil dan tidak fertil," tuturnya.

Syahruddin menuturkan fertilitas pejantan berperan sangat penting untuk efisiensi dan keberlanjutan usaha peternakan.

Syahruddin mengatakan Omics kemungkinan menjadi generasi kelima dari perkembangan bioteknologi reproduksi hewan.

Dalam seminar virtual itu, dia mengelompokkan generasi perkembangan bioteknologi reproduksi hewan ke dalam lima generasi yang dimulai dari generasi pertama hingga kelima yaitu inseminasi buatan yang muncul pada tahun 1819, transfer embrio pada 1951, in vitro fertilisasi pada 1981, kloning/transgenesis pada 1996, dan saat ini Omics.

Teknologi inseminasi buatan (IB) bermanfaat untuk menghindari penyebaran penyakit reproduksi, efisiensi penggunaan pejantan, dan perbaikan mutu genetik ternak.

Kemudian pada 1989, muncul teknologi baru yakni sperm sexing. Pemanfaatan teknologi itu memberikan keunggulan yakni dapat memproduksi anak sesuai jenis kelamin yang diinginkan, strategis untuk pembibitan sapi perah (pilih betina) dan sapi potong (pilih jantan), menentukan komposisi jantan dan betina dalam suatu populasi.

Pada 2002, LIPI mencoba mendiseminasikan teknologi IB Sexing di Indonesia dengan implementasi di Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

Hasilnya adalah tingkat kelahiran anak dengan jenis kelamin sesuai harapan sekitar 80-94 persen.

Generasi kedua adalah transfer embrio (multiple ovulation and embryo transfer). Keunggulan teknologi tersebut yaitu meningkatkan mutu genetik secara cepat berupa pemanfaatan bibit unggul dari kedua tetuanya, meningkatkan perolehan sel telur selama estrus dan difertilisasi dengan bantuan IB, peningkatan nilai genetik untuk produksi susu, daging, wool, bulu dan sebagainya.

Transfer embrio diperkenalkan di Indonesia sejak awal dasawarsa 1980-an.

Generasi ketiga adalah in vitro fertilisasi (IVF). Generasi ketiga itu ditandai dengan pembuahan di luar tubuh ternak.

IVF digunakan untuk mengatasi masalah tidak respon terhadap superovulasi pada ternak betina, masalah infertilisasi pada ternak jantan dan atau betina.

Teknologi IVF mampu menghasilkan embrio dalam jumlah massal dengan memanfaatkan sel telur dari ovarium ternak hidup atau dari rumah potong hewan.

Generasi keempat adalah kloning/transgenesis. Dengan teknologi kloning sel somatik, dapat menghasilkan ternak unggul dengan cepat, dan menyelamatkan hewan punah.

"Manfaat dari kloning sel somatik adalah kita bisa memproduksi ternak unggul secara cepat 100 persen bahkan genetiknya, kita bisa melakukan ternak transgenik, dan juga bisa membuat xeno-transplantasi, membuat organ, jaringan, sel yang tujuannya ditransplantasikan ke pasien," ujarnya.

 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020