Bengkulu (ANTARA) - Jarum jam menunjukkan pukul 00.59 WIB ketika satu per satu kepala tukik menerobos dari balik pasir. Warnanya abu-abu kelam.

Dua pemuda tampak menyorotkan senter kepala ke arah permukaan pasir yang dikelilingi bata. Terlihatlah dengan jelas tukik jenis lekang menggerakkan siripnya kiri dan kanan.

Tukik (sebutan untuk penyu yang yang baru menetas) terus merayap naik hingga seluruh tubuhnya terbebas dari belenggu pasir, kadang saling bertindihan. Kurun setengah jam, permukaan satu sarang telur penyu semi alami sudah dipenuhi 60 tukik.

Tukik yang menetas dari sarang buatan lantas dipindahkan ke ember-ember yang sudah disediakan. Setelah dinilai kuat, tukik-tukik ini siap dilepasliarkan.

Sarang telur penyu alami berada di kawasan Tapak Paderi, Kota Bengkulu. Sejak tahun 2017, sekelompok pemuda mendirikan komunitas Lestari Alam Laut untuk Negeri (Latun) di tempat wisata yang sempat terbengkalai. Kurun tiga tahun, tempat itu sekarang lebih dikenal sebagai kawasan penangkaran penyu Tapak Paderi.

Telur-telur yang dientaskan berasal dari beberapa titik habitat penyu bertelur. Ada yang sengaja direlokasi dari Pantai Teluk Sepang, Pulau Tikus dan beberapa lokasi lainnya sepanjang pesisir pantai. Relokasi dilakukan untuk menghindari perburuan baik sengaja maupun tidak sengaja.

Di beberapa kawasan tempat penyu mendarat berada dekat dengan pemukiman warga. “Seperti di Teluk Sepang sekarang juga ada PLTU. Ada aktivitas manusia di sekitar habitat penyu mendarat. Sementara tidak ada pagar pembatas kawasan yang dilindungi,” kata Ketua Komunitas Latun Ari Anggara.



Baca juga: Warga serahkan 44 telur penyu lekang ke Jambak Sea Turtle Camp
 

Seekor anak penyu atau yang disebut tukik, berjalan menuju laut lepas. Siklus hidup penyu terbilang cukup panjang karena memerlukan waktu 20 tahun ini kembali lagi ke daratan dan bertelur. (KOMI KENDY)
 

Tebus telur

Selain dari upaya relokasi, tebus telur penyu menjadi salah satu langkah menyelamatkan populasi penyu di perairan Kota Bengkulu. Latun yang memiliki jaringan ke nelayan-nelayan, biasa menebus telur Rp 5.000-Rp 6.000 per butir. Di pasar, telur penyu dijual Rp 8.000-Rp 10.000.

Sepanjang akhir 2017 hingga sekarang, sudah 3.000 telur penyu ditampung.

“Kami bisa membeli di bawah harga standar pasar karena sudah membentuk jaringan ke nelayan-nelayan dengan pendekatan persuasif. Bagi penemu telur, lebih aman menjual ke penangkaran ketimbang di pasar. Menjual telur penyu ada pidananya,” jelas Ari Anggara.

Meski demikian, Ari tidak menampik adanya oknum yang masih bandel menjual telur penyu di pasar. Pantauannya ada tiga pasar yang masih menjual telur penyu secara kucing-kucingan, yaitu Pasar Pondok Besi, Pasar Baru Koto II dan Pasar Pulau Baai.

Untuk menebus telur, dananya bersumber dari swadaya anggota Latun sendiri. Selain itu ada donasi relawan dari beragam latar belakang. Terbentuk pula jaringan yang disebut Kawan Latun untuk mengajak pemuda yang sama-sama peduli terhadap pelestarian penyu.

Konsentrasi Latun pada penyu, bukan tanpa sebab. Menurut Ari, penyu merupakan satwa langka yang masuk ke dalam appendix 1 berdasarkan ketentuan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Artinya, perdagangan internasional penyu untuk tujuan komersial juga dilarang.


Baca juga: Mencegah penyu dari ancaman kepunahan
 

Selain itu, Badan Konservasi Dunia International Union for Concervation of Nature (IUCN) memasukkan penyu sisik ke dalam daftar spesies yang sangat terancam punah. Sedangkan penyu hijau , penyu lekang, dan penyu tempayan digolongkan sebagai terancam punah.

Ari mengungkapkan, dari empat jenis penyu yang terancam punah, tiga jenis di antaranya berada di Bengkulu. Yakni penyu sisik, penyu hijau dan penyu lekang. “Bengkulu juga menjadi habitat penyu belimbing,” jelas dosen Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu itu.

Di Latun ada beberapa program yang melibatkan kepemudaan. Seperti di Bencoolen Sea Turtle, anak-anak muda dilibatkan merawat tukik, memberi makan, membersihkan parasit yang menempel di tubuh penyu, memasang tagging untuk memantau populasi dan daya jelajah penyu.

Selain itu, mahasiswa Ilmu Kelautan diberdayakan untuk memonitor penyu dan telur. Lalu ada giat relokasi telur, penetasan telur semi alami, hingga mengedukasi nelayan untuk sama-sama menjadi penyelamat penyu.

Latun juga bersinergi dengan pemangku kepentingan terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota dan Dinas Pariwisata Kota. Utamanya terkait pemberian izin penggunaan kawasan wisata sebagai sekretariat, sekaligus penangkaran penyu.

Setelah Latun aktif beraktivitas, dua kelompok pelestari penyu di Kota Bengkulu mulai berdiri dan menjadi mitra sekaligus binaan Latun. Dua kelompok itu adalah Kelompok Masyarakat Wisata (Pokmaswa) Pondok Besi dan Penggiat Penyu Pondok Berkas.

Menurut Ari, kesadaran akan pentingnya melestarikan penyu di kalangan pemuda mulai menguat setelah maraknya pemberitaan kematian 28 penyu mati pada periode Desember 2019-Februari 2020.

Bergelut dengan gerakan pelestarian penyu bukan tanpa tantangan. Utamanya terkait adanya beberapa kawasan konservasi yang belum dijadikan kawasan terbatas oleh pihak berwenang, sehingga manusia bisa beraktivitas dengan bebas di habitat penyu bertelur.

Padahal untuk melestarikan penyu yang paling penting adalah habitat. “Bagaimana penyu akan mendarat jika tidak ada lagi tempat untuk bertelur?” ungkap Ari.

Selain itu masih ditemukan adanya perburuan penyu untuk diambil daging, cangkak dan telurnya.

Ke depan, Ari berkeinginan agar Latun bisa mewujudkan Tapak Paderi sebagai kawasan eduekowisata, sehingga pengunjung tidak hanya melihat penyu secara langsung dan melepas tukik-tukik di pantai. Namun, mereka mendapatkan pula pengetahuan sebagai cara untuk menanamkan kecintaan terhadap laut dan ekosistemnya.

Bak penampungan sementara menjadi tempat tukik beradaptasi sebelum dilepasliarkan ke lautan. (KOMI KENDY)

Libatkan nelayan

Upaya pelestarian penyu oleh Latun juga melibatkan nelayan sekitar Tapak Paderi. Latun giat mengajak nelayan melepas penyu yang tidak sengaja terjerat jaring. Bila ada penyu yang kondisinya lemas atau sakit, dibawa ke tempat penampungan sementara di Tapak Paderi untuk dirawat hingga kuat.

Hal ini diakui pembina kelompok nelayan Camar Laut Bagindo Berni. Pria berusia 70 tahun ini sangat mendukung adanya gerakan pemuda di Latun, sebab nelayan di sekitarnya ikut dilibatkan dan mendapatkan manfaat dari aktivitas Latun.

Bagindo Berni menuturkan, kegiatan nelayan untuk berkelompok semakin terarah. Di Pondok Singgah Nelayan yakni Latun Camp, setiap Jumat pagi rutin diadakan pertemuan untuk membahas berbagai tema sebagai modal sosial. Tidak soal tangkapan ikan saja, mereka juga difasilitasi dalam peningkatan kapasitas nelayan.

Dalam soal pariwisata, nelayan diberikan pengetahuan bagaimana bisa memberdayakan perahu yang dimilikinya untuk menjadi sarana transportasi wisata ke Pulau Tikus yang aman dan nyaman. Dalam pengelolaan modal usaha, nelayan diberi pengetahuan tentang koperasi dan pengelolaan keuangan.


Baca juga: Penyelamat telur penyu di Pantai Padang Pariaman
 

Lalu juga ada pengetahuan seputar Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Nelayan yang sebagian besar merupakan nelayan kecil diajari untuk mengolah hasil tangkapan, sehingga berdaya jual tinggi.

Terkait pelestarian penyu, Bagindo Berni yang berasal dari Pariaman Sumatera Barat itu sendiri berharap ke depannya penyu-penyu bisa kembali mendarat di kawasan Tapak Paderi secara alami. Pada dekade 70-an dan 80-an, setiap orang bisa dengan mudah melihat penyu mendarat di pantai.

“Bahkan di siang hari katung (penyu) itu naik ke pantai untuk berjemur. Sekarang yang ada terlihat tinggal sampah saja lagi. Habitat di sini sudah berubah dengan semakin banyaknya bangunan yang didirikan,” ujar Bagindo Berni.

Dukungan nelayan untuk Latun juga disampaikan Ardinal (50), anggota kelompok nelayan Tapak Paderi. Menurutnya, pelestarian penyu membuat kawasan wisata yang sempat ditinggalkan pengunjung itu kembali ramai dengan aktivitas yang positif dan prolingkungan.

Hal yang paling Ardinal rasakan adalah terbangunnya kesadaran dan keinginan untuk serta berkontribusi membersihkan pantai yang dilakukan nelayan dengan memungut sampah yang menepi ke pantai setiap pagi.

Inspirasi yang muncul dari gerakan menampung telur penyu, ternyata dapat mengakar dengan kuat dan berbuah menjadi beragam kegiatan positif lainya yang tidak hanya menguntungkan penyu itu sendiri, tetapi juga kondisi ekosistem kawasan pesisir secara keseluruhan.


Baca juga: Konservasi penyu Kulon Progo tetaskan telur penyu

Baca juga: Puluhan telur penyu sisik menetas di penangkaran


Tukik-tukik yang baru menetas siap dipindahkan ke bak penampungan yang ada di Penangkaran Penyu Alun Utara, Desa Pekik Nyaring, Kabupaten Bengkulu Tengah. (KOMI KENDY)


*) Komi Kendy adalah salah satu pemenang Journalist FELLOWSEA (Kerja sama Lembaga Pendidikan ANTARA-Yayasan ECONUSA) untuk isu laut

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020